Menuju konten utama

Nostalgia Malioboro: Kawah Candradimuka Para Sastrawan dan Seniman

Ada semacam kerinduan dari para seniman dan sastrawan untuk merebut jantung Malioboro agar kembali menjadi pusat sastra dan seni.

Nostalgia Malioboro: Kawah Candradimuka Para Sastrawan dan Seniman
Warga berfoto saat Uji Coba Semi Pedestrian Jalan Malioboro di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Selasa (18/6/2019). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pd.

tirto.id - Malioboro tidak hanya dikenal sebagai area niaga yang ada di jantung Kota Yogyakarta. Namun juga sempat dikenal sebagai kawah candradimuka, tempat para sastrawan dan seniman dari penjuru wilayah Indonesia menempa diri dengan berbagai keilmuan.

Salah satu nama populer yang ikut membesarkan Malioboro sebagai tempat belajar sastra dan seni adalah Umbu Landu Paranggi, seorang seniman asal Sumba yang sempat menghabiskan waktu mengajar sastra di Malioboro. Ia menghembuskan napas terakhirnya di Bali pada 6 April 2021.

Karena peranan dia dalam menghidupkan seni dan sastra Malioboro, Umbu diberi julukan sebagai Sang Presiden Malioboro.

Dalam catatan jurnalis senior, Ashadi Siregar di blognya ashadisiregar.com (Tirto diizinkan mengutipnya), Malioboro memiliki murid-murid pada medio 1960-1970-an. Meski para murid tersebut tidak mendapat ijazah lembar sertifikat tanda belajar lainnya, tapi mereka setia dalam melakukan pembelajaran sastra hingga terbentuklah ruang belajar yang bernama Persada Studi Klub.

Ashadi menyebut Persada Studi Klub atau yang sering disebut PSK memberikan konsep pembelajaran sebebas-bebasnya bagi para murid yang datang.

“Tetapi belakangan prinsip manajemen mempersyaratkan pendidikan formal, dimulai dari sarjana muda, dan kemudian sarjana, dan ketika sarjana (S1) sudah melimpah sejumlah media pers mengutamakan lulusan S2. Kalau anak muda masa sekarang mau menuruti tapak kaki PSK ’60 – ’70, tidak pelak akan terpental dari kehidupan sosial," katanya.

Pada saat itu 'orang-orang Malioboro' dididik oleh Umbu dengan menulis. Umbu yang menjabat sebagai redaktur warta mingguan Pelopor Yogya menjadikan kantornya yang beralamatkan di Jalan Malioboro 175 A, sebagai sanggar. Dari sanggar itulah berbagai macam tulisan sastra terbit. Ada semacam persaingan antar murid agar bisa dinaikkan ke warta mingguan Pelopor Yogya.

“Pada malam hari Umbu yang mengasuh rubrik sastra di surat kabar Pelopor Yogya yang berkantor di lantai dua pertokoan Malioboro, sering singgah, nyanggong di kios itu. Dan pula, karena menggunakan percetakan yang sama, kami sering bertemu saat menunggui koran masing-masing diset dan naik cetak pada malam hari," ungkapnya.

Ashadi mengaku dirinya bukan termasuk murid atau sosok yang bisa dibilang sebagai 'orang-orang Malioboro'. Namun dirinya memiliki kedekatan dan sering menyaksikan bagaimana Malioboro sebagai lokasi ruang niaga berubah menjadi arena pembelajaran bagi sastrawan dan seniman dari berbagai kalangan.

“Begitu masuk jam 9 malam, toko-toko menutup pintu dan etalase, kaki lima menjadi labirin yang suram. Hanya satu dua penjual makanan buka lesehan. Dan labirin inilah sebenarnya sebagai habitat mereka yang menyebut diri ‘orang-orang Malioboro’," kisahnya.

Ashadi mengungkap ada banyak 'orang-orang Malioboro' yang rela melepas pendidikan formalnya demi bisa fokus berkecimpung dengan dunia pembelajaran sastra jalanan Malioboro. Ia menyebut Umbu Landu Paranggi yang tak selesai dengan pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dan juga Emha Ainun Nadjib yang tak selesai di Fakultas Ekonomi. Namun, Ashadi masih menyebut ada sejumlah orang yang juga menyelesaikan bangku pendidikan formalnya dan tetap mengunjungi serta ikut belajar di Malioboro.

“Saya tidak berniat memperbandingkan hasil kedua macam proses pembelajaran itu. Yang dapat dicatat adalah pergaulan yang berlangsung di Malioboro tidak sampai menumbuhkan penafian yang ekstrem sehingga menolak sekolah formal. Dengan kata lain, banyak di antara anak-anak muda sebenarnya hanya sesekali singgah di Malioboro, sementara kegiatan utamanya tetaplah di ruang kelas sekolah formal," ujarnya.

Dalam pengamatan Ashadi, seseorang lulus dari sanggar PSK saat ilmu kesusastraan yang dipelajari telah mumpuni. Tolak ukur mumpuni dilihat dari bentuk karya akhir yang diciptakan. Para murid didorong melahirkan karya sastra atau seni yang sudah bisa dinikmati masyarakat.

"Yang penting di sini adalah proses, yang berakhir dengan hasil karya. Jadi ujian akhir yang paling utama adalah hasil karya yang dianggap ‘mumpuni’, yaitu mampu hadir sehingga diperhitungkan di tengah lingkungannya," terangnya.

Dalam tulisannya, Ashadi juga mengungkapkan kehilangan akan PSK yang harus berakhir pada 1977. Saat itu Umbu pindah ke Bali dan membuka sanggar sastra di Pulau Dewata.

“Sanggar Persada Studi Klub/Umbu Landu Paranggi telah menyumbangkan sejumlah orang yang tetap bersetia dalam kehadiran diri dan karya di jagat sastra. Tetapi sanggar telah lenyap, tidak mungkin dan tidak perlu memutar jarum waktu ke belakang,” kenangnya.

Dari Kantor Pelopor Yogya ke Taman Budaya Yogyakarta

Romantisme Malioboro sebagai arena seni dan sastra harus diakhiri oleh waktu. Malioboro yang sempat menampung para seniman dan sastrawan harus mengalah dengan perkembangannya yang menuju sebagai area transaksi.

Di tahun 1980-an lorong Malioboro yang sering menjadi panggung adu penampilan, mulai tergeser oleh pedagang kaki lima yang mulai ramai dan mengisi lapak-lapak yang kemudian diatur oleh pihak Pemkot Yogyakarta dan Pemprov DIY.

Pegiat sastra, Latief S Nugraha, menggambarkan meski para seniman masih bertahan di Malioboro, namun mereka sudah tidak lagi terwadahi dalam satu sanggar. Selain itu mereka sudah lebih mengarah ke komersial dengan mengamen.

“Semenjak kepergian Umbu nuansa akademik di Malioboro sudah mulai tercerabut. Tidak bisa dipungkiri keberadaan PSK menjadi titik temu para seniman dan akademisi dari UGM, dan ASRI (saat ini berubah menjadi ISI Yogyakarta)" kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/3/2022).

Setelah itu, kegiatan seni dan sastra mulai berpencar ke kampus-kampus. Hal itu diikuti dengan kembalinya para seniman dan mantan murid PSK menjadi pengajar di universitas dan institusi formal, seperti UGM, IAIN, UII dan sejumlah kampus lainnya. Lomba-lomba kesenian dan kesusastraan seperti deklamasi puisi, monolog pada 1980-1990-an mulai berada di kampus dengan melibatkan para aktor dari mahasiswa.

Semasa kepemimpinan Gubernur Sri Sultan HB IX, para seniman di dekade 1980-an sempat diwadahi dengan Gedung Seni Sono yang berada di dalam komplek Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.

Gedung yang sebelumnya bekas museum itu sempat difungsikan sebagai panggung bagi para seniman untuk tampil. Ruh seni Malioboro kala itu sempat hidup setelah sempat meredup.

Namun era Gedung Senisono juga tak lama, para seniman harus kembali mengalah karena di tahun 1995, gedung itu diambil alih menjadi bagian dari Istana Kepresidenan.

Di era yang sama pemerintah juga menggeser Gedung Purna Budaya yang ada dalam komplek Universitas Gadjah Mada menuju Taman Budaya Yogyakarta yang eksis hingga kini.

Ada semacam kerinduan dari para seniman dan sastrawan untuk merebut jantung Malioboro agar kembali menjadi pusat sastra dan seni. Usaha itu berusaha dikabulkan dengan meletakkan mereka di Taman Budaya Yogyakarta yang berada di salah bagian Benteng Vredeburg dan dulunya merupakan salah satu instalasi militer.

Latief mengungkapkan berbagai usaha yang dilakukan seperti menggelar diskusi dan penampilan sastra yang bertajuk "Laboratorium Sastra".

"Kami mengakui bahwa keberadaan Taman Budaya Yogyakarta atau TBY menjadi panggung dan area bercengkerama kami para seniman dan sastrawan Yogyakarta," kata Latief.

Namun, Latief tidak bisa memungkiri bahwa saat ini di Malioboro sudah tidak bisa menjadi area pembelajaran bagi sastrawan dan seniman baru lagi.

"Saat ini pembentukan jati diri seniman dan sastrawan sudah ada di kampus atau sanggar seni. Malioboro terutama TBY hanya sebagai panggung tempat kami meluncurkan karya atau buku terbaru," ujarnya.

Meski saat ini sudah tidak ada lagi sosok Umbu Landu Paranggi yang bisa membuka area pembelajaran sastra dan seni di Malioboro, namun dirinya bersyukur kawasan 'Sumbu Filosofis' itu masih bisa menyatukan kawan sejawatnya untuk bercengkrama dan bertukar pikiran.

"Setidaknya kami cukup aktif berkumpul hingga 2020 beberapa saat menjelang pandemi COVID-19," terangnya.

Reuni Alumni PSK

40 tahun semenjak PSK bubar, atau tepatnya ditinggal sang pendiri, Umbu Landu Paranggi ke Bali. Para murid berusaha mengembalikan khittah pembelajaran gurunya dengan mendirikan Perkumpulan Sastrawan Malioboro Yogyakarta (PSMY) pada 3 April 2013.

PSMY digawangi oleh 9 orang yaitu 1) Emha Ainun Najib, 2) Teguh Ranusastra Asmara, 3) Mustofa W Hasyim, 4) Suminto A Sayuti, 5) Soeparno S Adhy, 6) Sutirman Eka Ardhana 7) Budi Sardjono, 8) Slamet Riyadi Sabrawi, 9) Iman Budhi Santosa.

Latief menjelaskan keberadaan PSMY sebagai bentuk silaturahmi, persahabatan, serta proses “asah-asih-asuh” eks komunitas PSK era 70-an; membangun komunikasi sastra dan kreativitas lintas generasi maupun antar komunitas sastra di seluruh Indonesia.

"Komunitas alumni ini membuat sebuah penerbitan Majalah Sastra Sabana berskala nasional yang hingga saat ini telah mencapai 10 edisi," jelasnya.

Salah satu karya yang monumental dari PSMY adalah terbitnya buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019) yang berisi puisi Umbu Landu Paranggi dan catatan sejumlah sastrawan mengenai sosok dan karya Sang Presiden Malioboro.

Relokasi PKL dan Malioboro Menuju Area Kapujanggan

Di tengah relokasi PKL dari lorong Malioboro dan proses pengajuan warisan dunia tak benda ke UNESCO, ada harapan dan semangat untuk mengembalikan gairah seni dan kesusastraan ke 'sumbu filosofi' Yogyakarta tersebut.

Hal itu disampaikan Ketua Program Studi Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Aprinus Salam saat dihubungi Tirto. Ia menyebut ada semangat dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengembalikan semangat ekspresi berkesenian dan berbudaya di lorong yang dulu pernah dipakai berdagang PKL.

“Ada semangat kapujanggan yang berusaha ditelurkan oleh Ngarso Dalem di lorong Malioboro. Ada upaya untuk mengembalikan nilai budaya Jogja agar bisa dinikmati di Malioboro," katanya.

Aprinus menuturkan Malioboro memiliki role model dalam pengembangan sastra dan budaya yaitu PSK yang melahirkan para seniman dan sastrawan besar tanah air.

“Sebut saja ada Emha Ainun Najib yang waktu itu murid paling junior di PSK, lalu ada Iman Budhi Santoso dan juga Umbu Landu Paranggi sebagai presiden dan juga senior," jelasnya.

Ia menuturkan Malioboro bisa kembali hadir sebagai arena budaya, seni dan kesusastraan apabila disiapkan infrastruktur yang mumpuni dari para pemangku kebijakan.

“Sejatinya para seniman atau sastrawan selalu lahir dari rahim komunitas. Oleh karenanya pemerintah atau penguasa harus menyiapkan infrastruktur bagi komunitas, semacam panggung atau kafe yang bisa nongkrong dan nyeni," ujarnya.

Aprinus melihat Malioboro saat ini masih kurang untuk dijadikan sebagai area berkomunitas, karena kepadatan wisatawan dan infrastruktur yang kurang.

“Sebelumnya sempat ada kawan kami yang membuat semacam agenda teater dan sastra di dekat Titik Nol, namun karena menimbulkan kemacetan dan kerumunan akhirnya harus bergeser. Harusnya kegiatan semacam itu diberikan fasilitas dan dengan adanya relokasi sepertinya akan menuju ke arah sana," terangnya.

Aprinus percaya para penguasa kraton saat ini memiliki kesamaan ide dengan para sastrawan karena sudah melihat adanya gejala menuju pengembangan panggung seni dan sastra di Malioboro.

“Ngarso Dalem butuh 18 tahun untuk merelokasi PKL, tentunya demi mengembangkan seni dan budaya agar memiliki lokasi di Malioboro. Selain itu para putri Sultan juga akrab dengan banyak komunitas dan bisa menjadi perwakilan untuk setiap kebijakan yang dikehendaki," terangnya.

Baca juga artikel terkait MALIOBORO atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz