Menuju konten utama

Belajar dari Kasus Nurhayati: Penyidik Tak Cermat Bisa Disanksi?

Penetapan status tersangka pada seseorang yang tidak bersalah dapat secara langsung melanggar hak-haknya sebagai manusia.

Belajar dari Kasus Nurhayati: Penyidik Tak Cermat Bisa Disanksi?
Nurhayati (tengah) saat menunjukkan surat SKP2 dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (2/3/2022). (ANTARA/Khaerul Izan)

tirto.id - Selasa, 1 Maret 2022, Polri menghentikan kasus Nurhayati. Nurhayati adalah bendahara keuangan di Desa Citemu, Kabupaten Cirebon yang jadi tersangka dugaan korupsi. Padahal ia adalah pelapor dugaan rasuah yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu, Supriyadi.

Nurhayati mengaku meluangkan waktu dua tahun untuk pengusutan kasus ini, tapi akhir Desember 2021, polisi menetapkannya sebagai tersangka berdasar petunjuk Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon. Berkas perkara Supriyadi dan Nurhayati dalam dugaan korupsi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa di Desa Citemu pun dinyatakan P21 alias lengkap.

Kasus ini menggugah nalar publik. Pihak kepolisian dan kejaksaan bertemu untuk membahas perkara tersebut. Hasilnya, mereka sepakat menyetop kasus Nurhayati. Kemarin malam, di Polres Cirebon, berlangsung pertemuan antara Kepala Kejaksaan Negeri Cirebon dan Kapolres Cirebon.

Pertemuan tersebut dalam rangka tahap II (penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti agar dapat dilanjutkan proses persidangan), namun Nurhayati tidak menghadiri kegiatan itu lantaran tengah isolasi mandiri. Maka tahap II dilakukan secara daring bagi si tersangka.

Pertemuan itu juga sebagai tindak lanjut Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri usai melakukan gelar perkara pada 25 Februari 2022. “Kesimpulan gelar menyatakan Nurhayati ada perbuatan melawan hukum, tapi tidak ada niat jahat,” kata Dirtipidkor Bareskrim Brigjen Pol Cahyono Wibowo, di Mabes Polri, Selasa (1/3/2022).

Bahkan Kejaksaan Agung juga melaksanakan gelar perkara serupa, hasilnya ‘ada ketidakcermatan penyidik’, maka Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melakukan eksaminasi.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo merespons perihal ketidakcermatan itu. Ia berpendapat, selain hukum acara pidana, Korps Bhayangkara memiliki Undang-Undang Polri, begitu juga Korps Adhyaksa yang dinaungi oleh Undang-Undang Kejaksaan.

“Masalah penafsiran terhadap peristiwa hukum itu tidak mungkin sama,” ucap Dedi, Selasa. Penafsiran penyidik Polres Cirebon dalam kasus ini ialah Nurhayati bertindak melawan hukum, tapi tidak ada niat jahat. Alias si tersangka hanya melanggar administratif, tapi tidak ditemukan mens rea (sikap batin pelaku saat melakukan perbuatan).

“Apa yang dilanggar? (Yaitu) peraturan Kementerian Dalam Negeri terkait tata kelola penggunaan APBD Desa. Ketika bicara kasus ini, kami bicara hukum. Tidak hanya bicara keadilan umum, tapi juga bicara tentang keadilan sosial. Kami tidak hanya mengejar kepastian hukum, tapi keadilan dan kemanfaatan hukum juga diperhitungkan,” terang Dedi.

Dedi menambahkan, “Tidak ada yang salah, dalam hal ini kecermatan penafsiran terhadap suatu perkara pidana tidak mungkin sama.” Tindak lanjut berikutnya, kejaksaan akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Kelemahan KUHAP, Kerugian Rakyat

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berpendapat, kasus ini adalah bukti lemahnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membedakan proses penyidikan dan penuntutan secara terpisah. Selama ini, istilah ‘polisi masak, jaksa tinggal makan’ tercermin dalam penerapannya.

“Artinya selama ini proses pengumpulan bukti, penetapan tersangka, murni ditentukan oleh penyidik secara vertikal (dari bawahan ke atasan). Padahal penetapan tersangka, pengumpulan alat bukti akan dibawa ke persidangan,” terang Fachrizal kepada Tirto, Rabu (2/3/2022).

“Apakah bukti itu bisa meyakinkan hakim? Bukan bukti dan penetapan tersangka untuk meyakinkan atasan,” sambung Fachrizal. Semestinya, bila penyidik yakin ada seseorang yang jadi tersangka berdasar bukti, maka penyidik berkonsultasi dengan kejaksaan, sejak awal.

Pastinya jaksa itu yang kerap menangani perkara di persidangan, kira-kira dengan kecukupan bukti tersebut apakah tuntutan dan dakwaan bisa diterima oleh hakim? Bila kemungkinannya rendah, maka tak perlu ada penuntutan, tak perlu ada penetapan tersangka, bahkan setop saja perkaranya. Penetapan tersangka cum upaya paksa selalu berkaitan dengan pembuktian di meja hijau, bukan diskresi pimpinan kepolisian.

Bagaimana pemahaman hukum yang berbeda dari tingkat polsek hingga Mabes Polri? Fachrizal menilai pikiran polisi ialah ‘penyidikan untuk penyidikan’, seharusnya ‘penyidikan untuk persidangan’. Karena tugas polisi adalah mengumpulkan bukti-bukti.

Dalam KUHAP terdapat prinsip diferensiasi fungsional (penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional) didesain untuk memperkuat peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia –sebelum Korps Tribrata memisahkan diri. Lantaran ingin diperkuat, maka intervensi dari lembaga non-ABRI diminimalisasikan.

Namun KUHAP saat ini menampilkan supervisi jaksa cenderung lemah, yang kerap terjadi ialah usai berita acara pemeriksaan dikirim oleh polisi ke kejaksaan, jaksa baru berkomentar. Mesti sejak awal pengusutan perkara, jaksa ikut turun tangan.

“Ketika Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim ke kejaksaan, jaksa pasif. Polisi, dalam banyak kasus, enggan konsultasi ke jaksa, (tapi) diselesaikan sendiri,” tutur Fachrizal.

Pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia, lanjut dia, memang tak ada pelibatan jaksa dalam pengusutan perkara, tapi mengikutsertakan atasan di kepolisian. Selain itu, pengawasan praperadilan lemah, jarang sekali hakim mengabulkan gugatan praperadilan lantaran desain uji praperadilan itu pasif dan terbatas waktu.

“Akhirnya (dalam persidangan), percaya saja dengan polisi. Padahal praperadilan atau hakim komisaris itu aktif, kalau misalnya ada kasus seperti ini. Kalau salah penetapan tersangka, hakim yang menguji itu salah atau tidak, karena dia akan mengadili,” jelas Fachrizal.

Pada penetapan tersangka pun terdapat hak-hak warga negara. “Apakah perlu dikasih ganti rugi atau tidak? Apakah perlu ditahan? Itu hakim yang memutuskan.”

Bisakah Si ‘Tidak Cermat’ Dihukum?

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez berkata, merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka kekeliruan dalam penetapan tersangka dapat dijatuhi sanksi.

“Sanksi etik dan hukuman disipliner seperti teguran tertulis, mutasi yang bersifat demosi, ataupun pembebasan dari jabatan,” ucap Hemi kepada reporter Tirto, Rabu (2/3/2022).

Munculnya koreksi dalam penetapan tersangka sebenarnya memang ada dalam KUHAP, namun sifatnya bukanlah koreksi. Status tersangka dapat dicabut apabila telah dilakukan penghentian penyidikan.

Penetapan status tersangka pada seseorang yang tidak bersalah dapat secara langsung melanggar hak-haknya sebagai manusia. Ketika menyandang status tersangka, seseorang dapat dikenakan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan. Terhadap kasus Nurhayati, Divisi Profesi dan Pengamanan harus terlibat secara aktif untuk memeriksa penyidik Polres Cirebon yang memberikan status tersangka kepada Nurhayati.

“Karena kesalahan fatal dalam penetapan tersangka ini berpotensi terjadinya obstruction of justice atas kasus korupsi yang dilaporkan oleh Nurhayati. Polri harus mampu memberikan sanksi tegas atas kekeliruan ini, bukan hanya atas nama menjaga nama baik institusi, namun juga memperkuat komitmen perlindungan hak masyarakat dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” tutur Hemi.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto pun buka suara. Ia bilang, jika betul ada ketidakcermatan, maka telah terjadi degradasi profesionalisme penyidik. Sebuah proses penyidikan hukum tentu dilakukan secara sadar berdasar aturan dan fakta hukum, serta dan asas kehati-hatian untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia.

“Petunjuk jaksa bisa dibaca dari beberapa sudut pandang, untuk melengkapi berkas bila kasus tersebut memiliki bukti-bukti permulaan yang cukup. Kedua, adalah membatalkan penyidikan,” imbuh Bambang.

Bambang menambahkan, “Sebelum memutuskan seseorang menjadi tersangka, ada SPDP, ini yang harus diusut tuntas. Siapa yang mengeluarkan dan bukti permulaan apa saja yang membuat dasar dimulainya penyidikan?”

Apabila bukti-bukti permulaan tidak cukup, memang sejak awal tidak diperlukan SPDP, apalagi meneruskan kasus yang ujungnya adalah penerbitan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Di situlah letak profesionalisme dan independensi penyidik.

“Bila penyidik tidak memiliki integritas, independensi, dan profesionalitas sebaiknya dicopot saja, karena akan mengganggu rasa keadilan publik,” jelas Bambang.

Baca juga artikel terkait KASUS NURHAYATI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz