Menuju konten utama

Dua Tahun COVID: Siapkah RI Berubah dari Pandemi Menjadi Endemi?

Hari ini, dua tahun lalu, Jokowi umumkan kasus pertama COVID di Indonesia. Saat ini total ada 5.589.176 pasien positif, 148.660 di antaranya meninggal.

Dua Tahun COVID: Siapkah RI Berubah dari Pandemi Menjadi Endemi?
Petugas kesehatan menunjukkan sampel tes Swab PCR COVID -19 untuk guru dan siswa saat pelacakan kluster sekolah di SMA N 1 Bantul, D.I Yogyakarta, Sabtu (5/2/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/rwa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo pertama lali mengumumkan kasus positif COVID-19 pada 2 Maret 2020 atau tepat hari ini dua tahun lalu. Saat itu, ada dua orang yang terkonfirmasi positif Corona, yaitu Sita Tyasutami (pasien 1) dan ibunya Maria Darmaningsih (pasien 2).

Semenjak pengumuman dua kasus pertama itu, pemerintah Indonesia di semua lini kementerian dan lembaga resmi melakukan perlawanan terhadap COVID-19. Selama dua tahun ini, Indonesia mencatat total 5.589.176 pasien COVID-19 dan 148.660 orang di antaranya meninggal dunia.

Selama dua tahun pula, Indonesia melewati sejumlah “badai” pandemi. Setelah varian Delta pada Juli 2021, saat ini Indonesia harus berjibaku melawan varian baru Omicron yang ditengarai gejalanya lebih ringan dari Delta, namun penularannya lebih masif. Bahkan wujudnya serupa dengan flu biasa.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah pun mulai mencari berbagai alternatif solusi. Salah satunya adalah mulai “berdamai” dengan COVID-19. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengaku mendapat perintah dari Presiden Jokowi untuk mulai membuat strategi dari pandemi menjadi endemi.

“Kita sudah siapkan protokolnya, dan memang beberapa arahan dari Bapak Presiden agar dipersiapkan secara hati-hati dan agar perkembangan saintifiknya berimbang dengan situasi sosial dan budaya,” kata Budi saat memberikan keterangan pers hasil rapat terbatas PPKM, Minggu (27/2/2022).

Menkes Budi juga mengungkapkan pertimbangan tersebut mulai diambil setelah melihat hasil evaluasi beberapa provinsi yang terus menunjukkan penurunan kasus.

“Selama seminggu ini kami amati beberapa provinsi terus menunjukkan angka penurunan kasus dan melandai seperti DKI Jakarta, Banten, Bali, Maluku, Papua dan NTB," kata Menkes Budi.

Budi menduga saat ini angka puncak COVID-19 sedang bergeser menuju luar Pulau Jawa-Bali, dan menurutnya masih menjadi tren kasus yang wajar.

“Kalau saat ini semoga kita masih bisa mengendalikan, terlihat dari BOR rumah sakit yang masih relatif stabil di angka 40-50 persen ketersediaannya, dan angka kematian masih 15 persen dari Delta yang bisa mencapai 2.000 pasien meninggal dalam sehari," jelasnya.

Selain pertimbangan varian Omicron memiliki gejala lebih ringan dari Delta, pemerintah juga mendorong angka vaksinasi terutama bagi lansia untuk mendapat dosis lengkap dari satu, dua hingga booster.

Berdasarkan data Satgas COVID-19 per 1 Maret 2022, terdapat 190.976.834 orang yang sudah mendapatkan vaksin COVID pertama dan jumlah tersebut adalah sekitar 70 persen dari total target vaksinasi.

Sementara 144.505.806 warga sudah mendapat vaksin dosis kedua, serta 10.214.605 orang mendapatkan sutinkan ketiga atau vaksin booster. Adapun total vaksinasi yang dicanangkan pemerintah mencapai 208.265.720.

Menkes Budi pun mengimbau kepada masyarakat yang belum vaksinasi untuk segera mendapat vaksin COVID-19 serta tidak pilih-pilih jenis vaksin yang diberikan. Hal ini sebagai upaya terciptanya kekebalan komunal hingga Indonesia terlepas dari pandemi COVID-19 yang sudah dua tahun berjalan.

Pintu Karantina Mulai Dibuka

Saat ini, dua tahun kasus COVID-19 berjalan ada beberapa kebijakan yang baru diterapkan, terutama berkaitan dengan wisatawan mancanegara. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengumumkan kebijakan mengurangi durasi karantina bagi para Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) dari yang sebelumnya 7 hari menjadi 3 hari.

“Mulai 1 Maret pemerintah akan memberlakukan karantina 3 hari bagi PPLN yang sudah vaksinasi lengkap dan booster," kata Luhut.

Pemerintah juga akan membuka pintu karantina pada 14 Maret mendatang bagi PPLN yang sudah mendapat vaksin booster dan kebijakan tersebut akan diujicobakan di Bali. Hal itu mengingat provinsi tersebut telah memiliki angka vaksinasi yang cukup tinggi.

“PPLN yang masuk harus sudah booster, dan nanti akan mendapat entry PCR, dan baru boleh keluar setelah mendapat hasil negatif," kata Luhut.

Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 1.600 wisatawan mancanegara yang tiba di Pulau Dewata dan lebih dari 50 persen di antaranya memilih untuk melakukan karantina bubble.

“Sebagian besar wisman memilih hotel bubble dengan rata-rata kamar per malamnya mencapai Rp3 juta. Rusia, Australia, Prancis, Amerika, serta Belanda mendominasi wisatawan yang datang ke Bali,” ungkapnya.

Indonesia Belum Siap Membuka Protokol Kesehatan

Namun, kebijakan Indonesia yang mulai melonggarkan protokol kesehatan, menuai kritik dari Ketua Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono. Ia menyebut Indonesia masih belum siap melakukan pelonggaran.

Miko melihat banyaknya aturan PPKM di berbagai level yang belum ditaati oleh masyarakat sehingga rawan menimbulkan lonjakan kasus baru.

“Saat ini kita lihat di setiap ada libur panjang akan selalu ada penambahan kasus yang cukup signifikan, dan ditambah lagi kesadaran masyarakat untuk tracing juga masih rendah sehingga berbahaya karena bisa menularkan kepada warga sekitar,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/3/2022).

Adapun perubahan dari pandemi menjadi endemi, Miko juga menyebut harus dilakukan secara hati-hati. Pihak pemerintah pusat harus melihat benar-benar kondisi di daerah, karena jumlah dan keadaan kasus di setiap kota, kabupaten hingga provinsi sangat bervariasi.

“Bahkan status pandemi ke endemi seharusnya dideklarasikan pertama dari pemerintah setingkat kabupaten dan kota, lalu mulai bergeser ke provinsi hingga berakhir di kepala negara. Selain itu kebijakan dan masukkan dari WHO juga teramat penting karena pandemi memiliki hubungan dengan negara lainnya,” kata Miko.

Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Riris Andono menyampaikan, kebijakan pemerintah untuk mengubah pola pengendalian COVID-19 dari sebelumnya pandemi menjadi endemi adalah suatu hal yang politis dan memiliki keterkaitan pada aspek sosial dan budaya.

Menurut Riris, saat COVID-19 dianggap menjadi endemi, maka riwayat penyakit itu dianggap menjadi suatu hal yang biasa dan tidak membutuhkan tenaga ekstra yang bersifat Ad Hoc.

"Kalau pemerintah mengubah persepsi kebijakan dari pandemi ke endemi tentu sudah melalui perhitungan yang matang. Kita bisa lihat saat ini kesigapan pemerintah dalam menyiapkan rumah sakit, pelayanan obat, hingga angka vaksinasi yang semakin merata di setiap daerah," ujarnya.

Riris juga beranggapan dengan menjadikan COVID-19 sebagai endemi, maka membuat situasi kehidupan menjadi normal meski tidak sama seperti dahulu.

“Saat ini kondisi fasilitas pelayanan kesehatan sudah merata, dan kehidupannya sudah bisa kembali normal namun tidak bisa sama seperti dahulu, karena ada COVID-19 yang masih ada," terangnya.

Baca juga artikel terkait KASUS COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz