tirto.id - Rusia resmi menyerang Ukraina pada Kamis (24/2/2022). Aksi Rusia langsung menyasar kota besar Ukraina seperti Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Sejumlah negara mengkritik keras tindakan Rusia tersebut, termasuk Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menilai aksi Rusia meningkatkan eskalasi konflik senjata dan membahayakan keselamatan masyarakat serta berdampak bagi keamanan kawasan. Indonesia mendesak agar negara-negara terkait menghormati aturan hukum yang berlaku.
“[..] mengecam setiap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara,” kata Faiza dalam keterangan secara daring, Kamis (24/2/2022).
Indonesia menegaskan kembali agar semua pihak mengedepankan perundingan dan diplomasi untuk menghentikan konflik dan mengutamakan penyelesaian damai. Apalagi, Indonesia berhubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina.
Sementara ini, kata dia, Indonesia belum mengambil langkah spesifik baik pemberian sanksi atau pun sikap lain terhadap Rusia. Pemerintah akan melihat dinamika hubungan internasional akibat serangan Rusia ke Ukraina. Indonesia akan berupaya ikut membantu penyelesaian.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri juga akan mulai mengambil langkah-langkah kontijensi dalam menyikapi konflik Rusia-Ukraina yang semakin memanas. Pemerintah memprioritaskan agar keselamatan WNI menjadi poin utama.
“Jika memang dipandang perlu untuk melakukan evakuasi [WNI] ke Indonesia, kami akan lakukan,” kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Joedha Nugraha dalam keterangan, Kamis.
Presiden Joko Widodo pun turut buka suara melalui lewat twitnya di media sosial. “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.”
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai langkah Indonesia dalam konflik Rusia-Ukraina tepat.
“Presiden Jokowi telah tepat menyatakan sikap Indonesia terkait situasi di Ukraina dengan mengatakan ‘penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan.’ Hal ini karena konsisten dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif,” kata Hikmahanto kepada reporter Tirto, Jumat (25/2/2022).
Hikmahanto mengingatkan, konflik Rusia-Ukraina memunculkan dua narasi. Pertama, Rusia mengirim pasukan dalam rangka mengakui kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk dari Ukraina. Aksi mereka sebagai upaya membantu kedua negara dalam menghadapi Ukraina. Putin pun mengklaim aksi Rusia sesuai Pasal 51 piagam PBB.
Narasi kedua, Ukraina tidak tinggal diam karena kedua republik yang berdiri merupakan kelompok separatis. Mereka pun mengklaim akan membalas juga sesuai Pasal 51 Piagam PBB. “Dalam konteks demikian hukum internasional hanya digunakan sebagai legitimasi baik Rusia maupun Ukraina untuk menggunakan kekerasan (use of force)," kata Hikmahanto.
Hikmahanto menilai wajar bila militer Ukraina berhadapan Rusia akan penuh tantangan. Oleh karena itu, mereka ingin bergabung ke NATO. Aksi tersebut justru memicu emosi Putin, apalagi Presiden Ukraina saat ini lebih pro-barat daripada Rusia.
Indonesia, kata Hikmahanto, harus menghindari sikap keberpihakan kepada Rusia maupun Ukraina. Namun tidak berpihak bukan berarti Indonesia cari aman, tetapi harus berupaya menyelesaikan masalah.
“Sikap tidak memihak ini bukan berarti Indonesia hendak mencari selamat, tetapi ini dilakukan agar Indonesia dapat secara aktif berupaya agar perang tidak bereskalasi menjadi besar," kata Hikmahanto.
Hikmahanto mengatakan, Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktif tidak boleh sekadar menjadi penonton, tetapi harus mengambil berbagai inisiatif agar perdamaian tercipta.
Aksi inisiatif penting dilakukan karena Indonesia menjadi Ketua G20. Eskalasi perang, kata Hikmahanto, bisa membawa dampak buruk bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dunia internasional. Indonesia harus bertindak sebagaimana pesan Jokowi bahwa “bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan.”
“Saatnya sekarang bagi Indonesia untuk tampil dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia," kata Hikmahanto.
Di sisi lain, Indonesia juga harus turun menyelesaikan lewat Majelis Umum PBB. Menurut Hikmahanto, sanksi negara-negara tidak akan efektif karena sejumlah alasan. Pertama, sanksi baru dirasakan warga Rusia dalam kurun waktu 6 bulan. Kedua, Rusia masih punya hubungan dengan Iran maupun Korea Utara. Ketiga, Rusia bisa saja dibantu sekutu mereka, salah satunya Cina untuk mengambil potensi keuntungan finansial.
“Penyelesaian melalui Dewan Keamanan PBB pun akan tidak membuahkan hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan Anggota Tetap yang memiliki hak veto. Apa pun draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia,” tutur Hikmahanto.
Hikmahanto memandang Indonesia harus turut serta mendorong sidang majelis umum PBB untuk menyelesaikan masalah Ukraina, apalagi sejalan dengan misi G20 yang digagas Jokowi.
“Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, menlu negara-negara Eropa Barat dan AS. Menlu juga perlu melakukan pembicaraan dengan menlu berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa Timur hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal PD III,” kata Hikmahanto.
Tak Berdampak Langsung bagi Indonesia
Dosen hubungan internasional dan komunikasi politik Universitas Jember, M. Iqbal menilai konflik Rusia-Ukraina tidak akan berdampak langsung bagi Indonesia. Namun ia sebut ada dampak tidak langsung yang akan dirasakan.
“Memang tidak ada dampak secara langsungnya, tapi yang jelas kaitannya secara ekonomi dan politik internasional itu ada beberapa hal,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat (25/2/2022). “Jadi kalau secara ekonomi perdagangan Indonesia ke Rusia maupun Ukraina pasti terganggu meskipun jumlah volume perdagangan itu tidak terlalu signifikan.”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke Rusia mencapai 176,5 juta dolar AS atau setara Rp2,52 triliun (kurs Rp14.300 per dolar AS) pada Januari 2022. Angka ini tumbuh hingga 58,69 persen dibandingkan nilai ekspor per Desember 2021 yang hanya 111,2 juta dolar AS.
Namun, kata Iqbal, hal tersebut tidak akan mengganggu signifikan bila tidak memengaruhi negara lain. “Terhadap Ukraina malah cenderung defisit neraka perdagangan kita sehingga dalam konteks perdagangan internasional pada Rusia maupun Ukraina secara tidak langsung cukup mengganggu,” kata dia.
Iqbal justru lebih khawatir pada efek domino di dunia internasional. Perang sudah terbukti memengaruhi harga saham. Kemudian, perang akan memicu inflasi global akibat harga minyak dan gas dunia naik signifikan.
Kenaikan tersebut terjadi karena Rusia memegang peran penting dalam ekspor minyak dunia sekitar 10 persen, kata Iqbal. Rusia punya pengaruh distribusi gas ke negara barat, terutama negara Eropa lewat jalur Nox Stream 1 dan 2.
Iqbal menduga, situasi negara barat, kecuali Amerika dan beberapa negara lain, termasuk Indonesia yang hanya mengecam tanpa tindakan jelas karena berhitung langkah. Masing-masing negara berupaya memahami langkah Putin karena sikap internal Ukraina yang mulai mendekat ke NATO plus aksi Turki yang memberikan bantuan alutsista.
Selain itu, kata Iqbal, Rusia juga masih belum lupa dengan insiden Crimea 2014. Kemarahan Putin memuncak dengan mengancam untuk menyerang Ukraina, tetapi justru direspons sinis dunia barat.
Eskalasi bertahap itu membuat Putin gusar sehingga Rusia menyerang Ukraina dengan alasan membela dua negara yang merdeka dari Ukraina, kata Iqbal.
“Putin ingin menunjukkan bahwa silakan Ukraina katakan pro barat, tapi kemudian sampai pada bergabung dengan NATO ini soal lain, menurut Putin. Di sinilah kemudian dunia memahami itu secara psikologi politik," kata Iqbal.
Iqbal khawatir, eskalasi perang Ukraina tidak akan mudah selesai. Ia yakin Rusia akan melakukan penyerangan hingga niatnya terpenuhi. Hal itu tentu akan membawa dampak buruk bagi Indonesia.
"Kalau saja perang ini entah sampai kapan ini gak jelas, ini cukup akan mengganggu apalagi kalau sampai bulanan, menjelang bulan puasa misalnya, tentu ini akan memukul perekonomian dalam negeri ketika inflasi naik," kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, “Jadi perang ini punya dampak pada perekonomian terutama dalam hal perdagangan dan tingkat harga akibat terkoreksi harga-harga saham dan melambungnya harga minyak.”
Menurut Iqbal, Indonesia punya peran signifikan di G20 karena Turki dan Rusia masuk dalam anggota G20. Posisi tersebut menjadi peluang atau momentum besar Indonesia untuk memainkan politik tersebut.
Indonesia harus mengedepankan pesan perdamaian daripada berpihak pada salah satu sisi. Ia mengingatkan, penyelesaian kasus Ukraina tidak serta-merta bisa diselesaikan di PBB karena Rusia punya hak veto sebagai bagian bidang keamanan PBB.
“Peran G20 dalam presidensi Indonesia itu sangat menentukan kalau cantik memainkannya dan butuh kejelian untuk melihat mana peran yang tidak dinilai oleh Putin sebagai cenderung pro-barat," kata Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz