Menuju konten utama

Mencari Solusi Polemik Aturan Larangan Truk ODOL & Potensi Pungli

Pemerintah selama ini dinilai baru mengajak pemilik barang dan pengusaha angkutan barang soal penyelesaian truk ODOL.

Mencari Solusi Polemik Aturan Larangan Truk ODOL & Potensi Pungli
Sejumlah truk berhenti di jalan saat aksi demo menutup jalan Pantura di Jalan Pantura Banyuputih hingga Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (22/2/2022). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp.

tirto.id - Ratusan sopir truk yang menolak kebijakan pemerintah soal pelarangan truk over dimension and overloading (ODOL) melakukan unjuk rasa dengan menutup akses Jalan Lingkar Selatan Kudus, Jawa Tengah pada 22 Februari 2022. Mereka meminta aturan ODOL direvisi.

“Tuntuan kami, aturan soal ODOL harus direvisi dan jangan buat aturan yang merugikan masyarakat kecil,” kata sopir truk yang peserta aksi, Muh Ali Ikhsan seperti dikutip Antara.

Menurut dia, hampir semua truk ketika mengangkut barang mengalami kelebihan karena selama ini tarifnya tergolong murah. Untuk biaya operasional, kapasitas muatannya juga harus disesuaikan.

Jika pemerintah memberlakukan normalisasi ODOL sehingga harus ada perbaikan dimensi kendaraannya agar sesuai dengan ketentuan, kata dia, maka akan terjadi lonjakan kenaikan harga berbagai kebutuhan masyarakat karena mahalnya tarif jasa angkutan barang.

Aturan soal ODOL ini bergulir seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Rencana amandemen ini sejatinya termasuk dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019, namun belum ada pembahasan.

Pembahasan RUU LLAJ kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2022 dan diharapkan rampung tahun ini. Ketika isu ini bergulir lagi, sejak pekan lalu, sopir-sopir truk di sejumlah daerah berdemonstrasi. Mereka berharap regulasi itu direvisi lantaran dianggap memberatkan sopir, berpotensi merugikan masyarakat, dan bakal menghilangkan mata pencarian sopir.

Hal tersebut menyusul program “Indonesia Zero ODOL 2023. Ditjen Kementerian Perhubungan pun telah berkoordinasi dengan semua pihak, termasuk Komisi V DPR RI agar bisa merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menyatakan penerapan aturan tersebut perlu kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk pihak kepolisian dan pemerintah daerah yang bersama Kementerian Perhubungan akan mengawasi di lapangan.

“Kami fokus pada sosialisasi dan penyamaan persepsi terhadap aturan ODOL yang tujuan utamanya adalah untuk keselamatan jalan bagi semua pengguna,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/2/2022).

Implementasi pun telah berjalan dan penindakan juga dilakukan bersama Polri. Bagaimana dengan suara sopir yang ingin regulasi truk berdimensi dan bermuatan berlebih diubah?

Adita menuturkan pihaknya akan mendengarkan aspirasi masyarakat termasuk para pengemudi dan pemilik kendaraan barang, serta para pelaku usaha. “Yang penting kami harus mencari solusi terbaik agar keselamatan di jalan dapat terwujud.”

Perlu Solusi Konkret

Ketua Umum Asosiasi Keamanan dan Keselamatan Indonesia untuk perusahaan truk dan logistik, Kyatmaja Lookman menyatakan, UU LLAJ adalah peraturan yang gemuk karena ada beberapa pemangku kepentingan di regulasi itu. Peraturan itu pun mengandung hukuman pidana, khususnya bagi tindak pidana ringan.

Misalnya, pengendara motor tak berhelm maka dapat dipidana dengan kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp250.000. Tapi khusus soal truk berdimensi dan bermuatan berlebih, terancam pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000 menurut Pasal 277 UU LLAJ.

“Tujuan Pasal 277 itu ditujukan kepada karoseri. Tapi dalam penerapannya, unsurnya bisa ditarik ke aktor intelektual atau perusahaan angkutan sebagai pemesan. Ini yang membuat keresahan sehingga (sopir) berdemonstrasi,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (23/2/2022).

Soal dimensi dan muatan berlebih, termasuk tindak pidana ringan dan ditujukan kepada sopir truk. “Substansi ODOL hanya menjerat pengemudi dan karoseri, kepada pengusaha truk tidak (terdampak) langsung,” imbuh Kyatmaja.

Kyatmaja mengatakan, jika si sopir dijatuhi hukuman karena truknya berlebihan dan kendaraannya terlalu lama tak ditindak, maka barang bukti pun bakal sulit dicari. “Ini masalah dalam penindakan ODOL.”

Sopir truk biasanya tak berkemampuan untuk menormalkan dimensi truknya, biasanya diserahkan kepada karoseri. Itu pun tak semua karoseri resmi yang turun tangan, ada saja UMKM karoseri yang mengerjakan perubahan dimensi, umpamanya untuk memotong panjang dimensi kendaraan. ‘Karoseri pinggir jalan’ itu, kata Kyatmaja, tak memiliki Sertifikasi Uji Tipe Kendaraan Bermotor (SRUT) dan Surat Keputusan Rancang Bangun (SKRB) legal.

Hubungan kedua dokumen ini adalah karoseri harus punya syarat SKRB untuk membuat bodi truk supaya bisa mendapatkan SRUT. Kemudian SRUT berguna untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor atau uji KIR secara berkala, bahkan saat ini juga diperlukan untuk pengurusan perpanjangan STNK.

Pemerintah ia nilai masih kurang menyosialisasikan SRUT dan SKRB. “Maksud dan tujuan undang-undang dengan pengetahuan masyarakat (sopir), ini masih jauh,” terang dia.

Solusi yang bisa dilakukan pemerintah ialah tidak memidanakan sopir truk ODOL, tapi menyuruh si sopir mengubah ukuran kendaraannya ke karoseri resmi. Kelar ubah dimensi, terbitkan SRUT. Bahkan pemerintah bisa menyediakan lembaga pembiayaan untuk membantu sopir mengubah dimensi truk.

Bila fenomena ‘ODOL-tangkap-sanksi’ terus meroda, maka ada yang salah dalam peraturan tersebut, kata dia. Bayangkan jika seorang sopir berkali-kali dipenjara satu tahun atau bayar denda Rp24.000.000 karena Pasal 277. Kyatmaja mengingatkan agar pemerintah menganalisis dan menerapkan peraturan dari akar hingga pucuk, tak hanya sopir truk yang dirugikan regulasi negara. Harus ada jalan keluar konkret.

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan pernah bercuit di Twitter “Pasti semua udah tau kan kalo Truk ODOL mengakibatkan banyak kerugian bagi negara dan tentunya bagi nyawa kita.”

Kyatmaja berpendapat keresahan pemerintah, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, adalah kerusakan jalan karena muatan truk melebihi kapasitas. Hukumannya pun menyasar sopir, tapi tidak menargetkan pemilik barang. Sehingga sulit mengembangkan perkara untuk menyasar perusahaannya.

Akar Masalah Truk ODOL

Dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, berujar akar masalah truk ODOL adalah tarif angkut barang semakin rendah, karena pemilik barang tidak mau keuntungan selama ini berkurang, padahal biaya produksi dan lainnya meningkat. Selain itu, pemilik armada truk (pengusaha angkutan barang) juga tidak mau berkurang keuntungannya. Hal yang sama, pengemudi truk tidak mau berkurang pendapatannya.

“Kelebihan muatan dengan menggunakan kendaraan berdimensi lebih untuk menutupi biaya tidak terduga yang dibebani ke pengemudi truk. Sejumlah uang yang dibawa pengemudi truk untuk menanggung beban selama perjalanan, seperti tarif tol, pungutan liar yang dilakukan petugas berseragam dan tidak seragam, parkir, urusan ban pecah, dan sebagainya. Uang dapat dibawa pulang buat keperluan keluarga tidak setara dengan lama waktu bekerja meninggalkan keluarga,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (22/2/2022).

Penetapan tarif angkut barang dapat dikendalikan pemerintah dengan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Supaya pemilik barang tidak seenaknya menentukan tarif yang berujung pengemudi truk harus mengangkut muatan yang berlebihan dengan kendaraan berdimensi lebih.

“Jika terjadi kecelakaan lalu lintas, tidak hanya pengemudi yang dijadikan tersangka, namun pemilik barang dan pemilik angkutan juga harus dimintakan pertanggungjawaban,” sambung Djoko.

Pemerintah selama ini baru mengajak pemilik barang dan pengusaha angkutan barang untuk berdiskusi menyelesaikan masalah truk ODOL. Tidak ada salahnya, lanjut dia, untuk mendengar keluhan pengemudi truk, karena mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari proses mata rantai penyaluran logistik dari hulu hingga hilir.

Ancaman Pungli

Truk dengan dimensi dan kapasitas berlebih merupakan kenyataan di Indonesia. Belum lagi jika para sopir harus menghadapi pungutan liar atau pungli. Artinya mereka harus menyediakan duit lebih banyak dalam perjalanannya. Fenomena pungutan liar ini masih terjadi, terduga pelaku bisa saja preman atau petugas pemerintahan seperti anggota Dinas Perhubungan atau kepolisian.

Perihal pungli, Kyatmaja menuturkan pungutan yang tak berdasar kepada undang-undang adalah perampokan. “Mereka minta tanpa adanya aturan, berarti merampok,” kata dia.

Ada dua hal terkait pungli. Pertama, ada pungutan tanpa regulasi resmi yang masih terjadi, contohnya izin bongkar muat, buka portal, atau ketika melewati daerah tertentu. Kedua, pungli yang diketahui sopir dan petugas, namun keduanya tutup mata.

“Sebenarnya itu bukan pungli, tapi banyak orang bilang itu pungli. Sebab ada dua orang yang terlibat. Sudah tahu muatan (truk) berlebih, akhirnya memberi (uang kepada petugas). Itu termasuk pungutan, tapi diketahui karena dia melanggar (beban muatan),” lanjut Kyatmaja.

Petugas-petugas saat ini pun paham soal pelanggaran ini. Namun poin kedua ini merugikan sopir, sedangkan perusahaan truk tak dimintai uang.

Direktur Penegakan Hukum Korps Lalu Lintas Polri Brigjen Pol Aan Suhanan buka suara ihwal truk ODOL. “Masalah kelebihan muatan dan dimensi sudah diatur dalam UU LLAJ Pasal 307 untuk pelanggaran over muatan dan Pasal 277 untuk pelanggaran over dimensi,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (23/2/2022).

Soal pungutan liar, kini Polri tengah meminimalisasikan interaksi anggota polisi dengan pelanggar, kata Aan.

Saat ini kepolisian sedang mengintegrasikan kamera dan timbangan Weight in Motion (WIM) dengan aplikasi pencatatan pelanggaran elektronik alias Electronic Traffic Law Enforcement. Jika ada personel Korps Bhayangkara yang terlibat pungutan liar, maka akan dihukum.

“Bagi anggota Polri (yang melanggar aturan) bisa hukuman disiplin, etika profesi, pidana, hingga pemberhentian dengan tidak hormat,” ucap Aan.

Baca juga artikel terkait TRUK ODOL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz