tirto.id - Pemerintah resmi mengunggah dokumen Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Sejumlah aturan menjadi sorotan, salah satunya soal bentuk otorita sebagaimana Pasal 4 ayat 1 huruf b. Otorita sebut sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Poin lain yang menjadi sorotan, yaitu: kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Pasal 12; serta pemilihan umum di ibu kota hanya melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, serta DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 13.
Guru Besar Fakultas Ilmu Administasi Universitas Indonesia (UI) Irfan Ridwan Maksum menilai UU IKN berpotensi kuat bermasalah. Sebab, Indonesia tidak bisa lagi menerapkan konsep otorita karena pemerintah sudah mengamandemen UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan otorita sesuai UU No. 3 tahun 2022.
“Itu boleh, di Undang-Undang Dasar lama. Undang-Undang Dasar baru yang Pasal 18A atau 18 itu tidak diakui bahwa ada sejengkal tanah tanpa otonomi,” kata Irfan kepada reporter Tirto, Senin (21/2/2022).
Irfan menambahkan, “Di UUD baru penjelasannya enggak ada, Undang-Undang Dasar kita, kan, tidak mengakui ada penjelasan kembali dan jelas clear cut bahwa seluruh jengkal wilayah RI dari Sabang sampai Merauke harus ada otonomi," kata Irfan.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, IKN sudah berpotensi melanggar undang-undang yang ada. Hal ini berbeda dengan Amerika, Australia maupun Malaysia yang bisa memindahkan ibu kota karena UUD mereka membolehkan pemindahan ibu kota dengan konsep tersebut.
Menurut Irfan, masalah dari UU IKN tersebut bukan berarti membuat IKN akan menjadi kota yang tidak sehat. Akan tetapi, UU IKN sudah memastikan bahwa pemerintahan yang berjalan tidak mempunyai partisipasi masyarakat lokal.
Di sisi lain, konsep otorita sendiri tidak masalah sentralistik atau tidak. Namun ia mengingatkan bahwa UU IKN menyalahi UUD. Ia juga mengingatkan ada dampak lain dengan pembentukan IKN karena kota-kota lain akan terdampak.
“Itu nanti Kota Nusantara pasti akan menyedot perhatian kota-kota secara sistemik, kota yang sudah ada dan ini bisa ada penyesuaian yang cukup berarti, bisa memakan waktu lama. Pembangunan Indonesia akan sedikit terkonsentrasi ke kota baru itu supaya dia bisa paling tidak nyaman seperti kota menengah," kata Irfan.
Sementara itu, kata dia, Indonesia belum mempunyai payung hukum undang-undang kota untuk pengembangan perkotaan. Hal ini memicu ada masalah perkembangan hingga ke desa. Oleh karena itu, ia memandang ada masalah krusial dalam pembentukan UU IKN.
“Memang kalau pakai partisipasi lokal pasti akan lebih sistemik dan kalau lebih indahnya siapkan dulu undang-undang kota, jadi nanti pas itu jalannya IKN dari itu dengan partisipasi lokal yang diperbaiki, sistem tata kelolanya dan juga undang-undang kota," tutur Irfan.
Ifran menegaskan, hal tersebut tidak sesuai UUD yang membuka partisipasi lokal. “Maka akan ada judicial review, kelihatannya kalau yang cerdas mestinya siap-siap untuk judicial review karena ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.”
Sementara itu, eks Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengingatkan bahwa suatu daerah adalah kesatuan masyarakat hukum. Hal itu menandakan bahwa mereka bisa mengelola daerah mereka sendiri. Kesatuan ini menjadi sebuah daerah otonom.
“Lazimnya format daerah di Indonesia ini kesatuan masyarakat hukum yang mengurus kepentingan masyarakat sendiri berbentuk daerah otonom, dengan demikian harus ada pemimpin yang dipilih, harus ada wakil rakyat di tingkat lokal itu yang mengurus kepentingan masyarakat tadi,” kata pria yang karib disapa Prof Djo saat dihubungi reporter Tirto, Senin (21/2/2022).
Djo menuturkan, situasi ini berbeda dengan otorita Nusantara. Ia paham regulasi dalam UU IKN mengatur 4 aspek yakni persiapan, pembangunan, kewenangan pemindahan, dan penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi ketentuan penyelenggaraan pemerintahan bermasalah karena tidak memenuhi syarat kesatuan hukum.
“Ketika dia (otorita) menyelenggarakan pemerintah daerah, oh lo otorita, lo siapa? Apakah Anda satu kesatuan masyarakat hukum? Bukan, apalagi dia diangkat oleh presiden. Kepala otoritanya, wakilnya, tidak ada DPRD, lalu boleh mungut-mungut pajak segala macam. Yang benar saja. Itu ngarangnya terlalu berilusi, ngarang banget. Ngarang bebas," kata Djo.
Djo menilai dasar hukum untuk pembentukan otonomi daerah di badan otorita tidak tepat. Sebab, kata dia, Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 yang jadi acuan tidak bisa diterapkan pada IKN. Ia berpendapat Pasal 18B ayat 1 hanya bisa digunakan untuk daerah yang sudah ada kesatuan hukum masyarakat seperti Jakarta, Yogyakarta, Aceh maupun Papua.
“Kalau jatuhnya kita mau menyertai, emang format ideal itu provinsi otonom. Format ideal. Nah, itulah yang harus dibangun karena Undang-Undang Dasar 1945 mengenal istilah Indonesia dibagi atas provinsi, provinsi dibagi kab/kota merupakan daerah otonom. Itu format konstitusi Pasal 18, tapi dia pakai Pasal 18B ayat 1," kata Djo.
Oleh karena itu, Djo menekankan otorita harus menggunakan Pasal 18 UUD 1945. Ia mengingatkan bahwa pendiri bangsa sudah mengatur ada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan pemerintahan pun harus berdemokrasi dari pusat hingga daerah sesuai sendi demokrasi.
“Sendi demokrasi itu harus apa? Pemimpin di tingkat daerah dipilih, kemudian ada dewan perwakilan. Itu sendi demokrasinya dan itu sudah dijamin di UUD 1945 Pasal 18 ayat 3 dan 4. Ayat 3 DPRD dipilih oleh rakyat, anggota DPRD dipilih oleh rakyat. Kemudian Pasal 18 ayat 4 gubernur, wakil, wali kota dipilih secara demokratis. Di mana slot pengangkatan itu untuk diangkat kepala badan otorita?" kata Djo mempertanyakan.
“Jadi itu semua anomali-anomali dengan berdalihkan Pasal 18B ayat 1 yang tidak cocok dengan ibu kota baru ini. Kenapa? Karena dia bukan barang recognition, barang recognition itu harus ada dulu, baru negara mengakui keberadaannya," tegas Djo.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu Beni Kurnia Illahi sepakat bahwa pengaturan otorita tidak tepat dalam segi konstitusi dan pemda. Ia mengacu ke Pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan jenis pemda dalam sistem pemerintahan, meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh gubernur, bupati/wali kota.
“Pengaturan pasal-pasal tersebut secara kontekstual tidak ada pemda selain provinsi dan kabupaten/kota. Itu sebabnya, badan otoritas itu tidak dikenal dalam sistem pwnyelenggaraan pemda,” kata Beni kepada reporter Tirto, Senin (21/2/2022).
Kedua, Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui adanya pemda yang bersifat khusus, tetapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota, seperti DKI, Yogyakarta, Papua, Aceh. Oleh karena itu, Beni menilai IKN bisa saja menjadi daerah khusus, tapi harus ada dalam satu UU Otonomi Khusus.
Ketiga, Beni berpendapat sistem otorita memang dikenal sebagai kawasan khusus dalam sistem pemerintahan daerah. Namun, bentuk otorita sebagai kawasan khusus tidak menyelenggarakan urusan pemda. Kewenangannya sebatas pada keterkaitan kepentingan kawasan khusus yang dikelola seperti badan otorita Batam, badan otorita kawasan hutan lindung dan lain-lain.
“Keempat, secara konsep sebetulnya pengaturan sistem otorita dalam UU IKN juga tidak sesuai dengan konsep sistem ketatanegaraan. Sebab, kedudukan kepala otorita yang menjalankan penyelenggara pemda yang setingkat menteri di UU IKN tersebut juga dinilai keliru dan seakan campur aduk sehingga mengacaukan sistem penyelenggaraan desentralisasi baik yang bersifat simetris maupun asimetris," kata Beni.
Oleh karena itu, Beni menyarankan agar negara menggunakan standar baku pemerintahan daerah dalam konsep otonomi khusus dengan tugas dan pelimpahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khusus terkait urusan penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak bisa sembarangan karena ada UUD yang dilanggar.
“Nggak bisa kita menggunakan konsep otorita itu dalam pasal 18 UUD 1945 tersebut,”
Penjelasan KSP
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Wandy Tutoroong menjelaskan, badan otorita ibu kota baru berbeda dengan kabupaten kota maupun provinsi dari segi pemerintahan. Ia juga mengakui IKN Nusantara dipimpin badan otorita yang dipilih Presiden Jokowi dengan pertimbangan DPR.
Hal tersebut berbeda dengan kabupaten kota maupun provinsi yang pemilihan kepala daerahnya harus melewati pilkada. Ia mengatakan warga yang tinggal di otorita hanya menggunakan hak pilih DPR dan DPD, sementara hak DPRD ada di kewenangan Kalimantan Timur.
Wandy mengingatkan bahwa UU No. 3 tahun 2022 sudah menyatakan bahwa status Nusantara adalah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, penyelenggara otorita IKN. Konsep tersebut, kata Wandy, diakomodir dalam undang-undang.
“Meski di Pasal 18 konstitusi negara disebutkan 'Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang', namun Pasal 18B ayat 1 UUD meneyatakan 'negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang," kata Wandy.
Ia juga mengutip putusan MK Nomor 11 tahun 2008 pada halaman 93 yang menyatakan hubungan kedua daerah setara dan tidak saling membawahi.
Wandy menerangkan, konsep pemerintahan berbasis otorita sudah ditinjau dengan pendekatan multi-perspektif. Bappenas, kata Wandy, sudah menyampaikan pentingnya konsep city management dalam menyelesaikan kompleksitas pembangunan dan pengelolaan kota modern. Berdasarkan paparan tersebut, pemerintah akhirnya memutuskan pembentukan otorita IKN.
“Jadi ini hasil dari pembahasan yang multi-perspektif, bukankah kita harus mengikuti paradigma baru dan perkembangan terbaru yang sebelumnya belum ada? Dalam menghadapi kompleksitas, kita butuh agility," kata Wandy.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz