tirto.id - Sejak UU Cipta Kerja disahkan hanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, pemerintah pun kini mengesahkan UU Ibu Kota Negara hanya dalam tempo 42 hari. Proses pengesahan UU tersebut juga terkesan serampangan. Selama Pansus RUU IKN bekerja, hanya ada dua kali konsultasi publik ke kampus-kampus di Samarinda, Medan, dan Makassar, pada 11 dan 12 Januari 2022—enam hari sebelum disahkan.
Terlebih, naskah akademik yang seharusnya menjadi dasar perancangan UU tak sesuai dengan kaidah akademik. Contohnya, alih-alih menggunakan sumber rujukan ilmiah termutakhir, naskah akademik tersebut justru mengacu pada kajian pustaka era 1980-1990an, yang dinilai oleh akademisi tak mewakili kebaruan zaman.
Contoh lainnya, kajian akademik tersebut terlalu banyak menyampaikan pandangan abstrak terkait landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis, ketimbang membeberkan fakta empiris.
Naskah akademik itu pun terlalu mengglorifikasi keberhasilan negara lain dalam memindahkan ibu kotanya, ketimbang menilai risiko negatif yang mungkin bakal menimpa ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Tirto mewawancarai Susi Dwi Harijanti, profesor hukum tata negara Universitas Padjajaran, untuk mengetahui kenapa naskah akademik dalam penyusunan sebuah undang-undang itu penting dan mengapa pemerintah mengesampingkan aspek sosial-ekonomi dan politik demi menjustifikasi kekuasaan.
Bagaimana pandangan Anda terkait Naskah Akademik (NA) Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang beberapa waktu lalu sempat ramai dikritik? Banyak akademisi yang mengkritik.
Fungsi NA itu apa? Fungsi NA itu sebetulnya merupakan kajian akademik atau pertanggungjawaban akademik. Ia adalah pertanggungjawaban akademik mengapa sesuatu itu harus diatur. Jadi, ia adalah sebuah kajian keilmuan yang akan memberikan dasar dan pertanggungjawaban akademik materi muatan suatu rancangan UU. Ia membangun susunan atau struktur yang rasional ke dalam sebuah sistem yang sederhana. NA memungkinkan suatu rancangan UU itu dikaji secara komperehensif, terutama kaitan UU dalam lingkungan yang sama, maupun dengan UU lainnya. Dengan demikian kehadiran NA itu akan menghindar dari tumpang tindih ketentuan, bertentangan, atau bahkan menimbulkan kerancuan.
Jadi kalau kita berangkat dari pemahaman NA tersebut, maka sebetulnya dia adalah penelitian yang berbasis pada keilmuan. Oleh karena itu dia tunduk pada kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Sekarang kita lihat bagaimana NA UU IKN ini, apakah dia tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah tersebut?
Pertama, dia menggunakan metode yuridis-empiris, atau dikenal sosio-legal. Jika menggunakan metode penelitian ini, maka seharusnya data-data empiris itu dianalisis lebih detail dan harus kelihatan nanti terutama pada dampaknya dikeluarkannya UU ini. Ada analisis soal sekian ribu tukang yang ikut membangun, sekian ribu rumah untuk ASN, dan sebagainya. Ya, kita tahu itu dibutuhkan sekian, tapi itu tidak detail, itu saja tidak cukup.
Karena sekarang itu, tuntutannya makin kompleks, jadi hukum itu akan makin kompleks. Kalau dari teori, unsur-unsur muatan NA itu analisis kebenaran secara hukum. Kelihatan salah satu isu terbesarnya adalah bentuk kelembagaan, yaitu Badan Otorita. Kemudian bagaimana kewenangan Kepala Otorita itu berwenang untuk membuat peraturan? Nanti peraturannya setingkat apa? Dan apa saja kewenangan yang kemudian dilekatkan atau diberikan kepada Badan Otorita itu? Kemudian juga prosedur dan tata cara melaksanakan wewenang yang ada. Kemudian isi atau substansi materi muatan, yang harus dibenarkan secara hukum. Bukan dibenarkan secara politik, tapi dibenarkan secara hukum.
Kedua adalah analisis keperluan. Satu UU itu kan bisa dibuat memang atas dasar keperluan, dan itu bisa berbagai macam. Pertanyaannya, keperluan macam apa dan keperluan siapa? Yang khawatirkan, takutnya dalam rangka memberikan akomodasi-akomodasi politik.
Ketiga adalah analisis manfaat. Analisis manfaat ini akan berkaitan dengan analisis keperluan tadi. Dapat terjadi ada keperluan, tetapi tidak begitu bermanfaat. Atau baru bermanfaat kalau dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, kalau kita tanya sekarang, apa sih sebetulnya keperluan untuk pindah bikin ibu kota baru? Keperluannya dalam NA dijelaskan karena Jakarta sudah tidak bla bla bla dan lain sebagainya. Kemudian, jika alasannya untuk pengembangan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, apakah kebutuhan itu in line dengan manfaat yang tadi saya katakan?
Keempat adalah analisis dampak. Ini sangat penting karena setiap UU baru itu pasti ada dampaknya. Misalnya perkiraan biaya yang akan timbul, kebutuhan ketenagaan, kebutuhan organisasi baru, kebutuhan fasilitas. Kemudian pengaruh terhadap hubungan wewenang tata kerja yang sudah ada dan lain sebagainya. Analisis dampak di sini saya melihat tidak terlalu detail. Hanya di permukaan secara umum saya baca.
Perpindahan ke ibu kota negara itu ada NA, masa isinya kurang lebih 175 halaman tidak sampai 200? Memang kita tidak bicara tebal atau tipis. Tapi ini hanya sekitar 175, kurang dari 200, dan menurut saya tidak memberikan dasar kajian ilmiah yang cukup meyakinkan.
Jika ingin memperlihatkan dampak sebuah UU, bagaimana seharusnya NA bisa menjelaskan itu? Apa harus menyertakan dampak positif dan negatifnya agar bisa jadi pertimbangan ketika merancang UU?
Buat saya, iya. Menurut saya, bagi sebuah kajian ilmiah harus tunduk pada metode-metode ilmiah, yaitu memberikan data baik kelebihan maupun kekurangan. Keduanya disandingkan. Ketika kemudian lebih memilih salah satu, maka harus ada penjelasannya, ada argumentasi ilmiahnya, jadi tidak hanya menyajikan data yang sifatnya sekedar menjustifikasi saja. Kajian-kajian ilmiah harus menyajikan data proposional. Apa gunanya digunakan metode penelitian di dalamnya, kalau hanya untuk formalitas saja?
Jika kita menggunakan metode penelitian yuridis-empiris, maka dia harus bisa melakukan analisis-analisis yang memadai, proporsional terhadap data-data empiris yang dia dapat. Semisal, di sana itu banyak orang Dayak, masyarakat adat lokal. Jika ada kepindahan ibu kota negara, bagaimana bisa meyakinkan mereka dan memastikan mereka tidak mengalami kerugian?
Dan hal-hal seperti itu tak dijelaskan di dalam NA?
Menurut saya, in general, analisis-analsisi baru pada permukaan saja.
Bagaimana NA di negara-negara lain? Seberapa pentingkah?
Di beberapa negara, terutama negara-negara di Eropa Kontinetal, NA itu akan dijadikan sebagai keterangan pemerintah. Kalau di Belanda keterangan resmi ini seringkali disebut sebagai memorie van toelichting, yang dia akan dijadikan sebagai penjelasan dari UU itu.
Apa hal lainnya yang Anda soroti di NA UU IKN?
Hal lainnya yang saya soroti adalah teori. Teori-teori yang digunakan itu lebih merujuk pada teori perencanaan kota. Jadi teorinya lebih pada itu. Memang dia menyebut Sustainable Development Goals (SDGs), tapi mengapa dia tidak menyebut dan menggunakan teori hak asasi? Benar perspektif pembangunannya adalah pembangunan yang berkelanjutan. Tapi jangan lupa dalam kajian-kajian mengenai hak asasi, ada yang disebut the right to city: hak atas kota. Kajian-kajian soal hak asasi tidak ada di NA UU IKN ini.
Kemudian yang juga saya soroti adalah pertanyaan besar soal apakah ibu kota ini daerah otonom atau bukan? Apakah dia daerah otonom atau bagaimana? Ini yang tadi saya katakan ketika dipilih bentuk Badan Otorita, apakah mereka tidak belajar dari kekisruhan Otorita Batam (sekarang berubah menjadi Badan Pengusahaan Batam)? Di Batam itu ada Badan Otorita, tapi dia berada di daerah otonom. Saya baru baca sekilas, tapi kok rasanya enggak menemukan itu ada kajian-kajian mengenai bagaimana kisruhnya Otorita Batam dan daerah otonom di sana? Kajian akademiknya menjadi penting untuk tahu apa yang menjadi hambatan masalah di dalam Otorita Batam itu agar tidak terulangi. Di NA UU IKN saya rasa penting bahas kegagalan itu.
Apalagi ini NA untuk sebuah UU yang menaungin kebijakan besar, pemindahan ibu kota negara bukan perkara kecil ya, Bu..
Betul, bukan perkara kecil ini perpindahan.
Apalagi yang Anda soroti dari NA UU IKN?
NA UU IKN menggunakan perbandingan beberapa negara, misalkan Brazil, Amerika Serikat, Australia, kemudian Istanbul. Memang di akhir pembahasan tiap-tiap contoh negara itu ada lesson learned. Tapi lagi-lagi menurut saya memberikan data yang tidak proporsional. Dia hanya memberikan data negara-negara yang dianggap berhasil.
Bagaimana dengan negara-negara yang gagal? Misalkan Myanmar. Kenapa itu tidak dijadikan contoh? Apakah karena mereka tidak bisa studi banding, susah masuk Myanmar? Itu pun tidak bisa jadi alasan.
Contoh lainnya saat membandingkan dengan penyusunan masterplan Astana, ibu kota Kazakhstan. Apa lesson learned yang bisa diambil? Enggak ada khusus yang bisa diambil untuk Indonesia. Tapi lesson learned lainnya dari pembangunan ibu kota baru di negara yang bersangkutan, kayak semacam dia katakan, untuk bangunan ini membutuhkan komitmen dan kepastian politik karena rencana pembangunan. Ini dapat statement begini apa dasarnya? Komitmen dan kepastian politik itu nggak ada nama referensinya. Jadi banyak statement-statement yang tidak didukung oleh data. Jadi kayak opini.
NA UU IKN baru beredar di media sosial satu hari setelah disahkan. Bukankah seharusnya jauh sebelum RUU dibahas, NA dipublikasikan dahulu agar publik bisa menilai?
Seharusnya penelitian NA itu dilakukan agar publik tahu apa fungsi kebijakan atau dampak pembentukan UU itu. Dengan NA yang membahas dampak dari UU itu, biasanya kajian tersebut diakhiri dengan rekomendasi berupa klausul dan diumumkan ke masyarakat luas. Misalnya, di kalangan ilmuwan, kalangan politisi, dan kalangan lainnya, agar memperoleh tanggapan. Jadi itu sangat perlu.
Jika berbicara prosedur, jika bagaimana nanti semisal UU IKN dianggap tidak benar, biarkan saja Mahkamah Konstitusi yang memberikan pertimbangan sejauh mana korelasi antara NA dan UU-nya. Apa UU itu mencerminkan NA? Bisa jadi UU itu kemudian mengalami perubahan dari NA yang ada, nah tinggal Mahkamah Konstitusi yang akan menilai sejauh mana perubahan-perubahan itu.
Seperti yang saya katakan tadi, teori hak asasi tidak ada, teori tentang otonomi juga tidak ada. Karena dari awal diusulkan bentuknya IKN tersebut adalah otonom, maka harus memasukkan teori-teori otonomi. NA harus bisa menyajikan alternatif-alternatif, bukan semata-mata bersandar pada hukum positif—yaitu UUD 1945, tapi alternatif itu harus didukung oleh teori-teorinya. Semisal dalam NA diusulkan berupa daerah otonom, kenapa dia diusulkan dalam bentuk daerah otonom? Maka argumentasinya jangan hanya merujuk pada UUD 1945 saja.
Ini merupakan kajian ilmiah, maka harus merujuk juga pada teori otonomi karena otonomi itu punya beberapa fungsi. Ada fungsi menejemen, yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas dari penyelanggaraan suatu daerah otonom. Kemudian ada juga fungsi pelayanan publik, fungsi demokrasi, hingga fungsi kebhinekaan. Ada banyak sekali teori otonomi, satu pun enggak ada di NA. Enggak tercantum.
Jadi, antara teori dengan apa yang diusulkan seakan-akan menjadi dua hal terpisah. Teorinya hanya bilang bahwa akan menjadi “beautiful smart city”, mereka lupa bahwa “beautiful smart city” itu dalam bentuk apa? Kalau dalam bentuk daerah otonom, maka harus ada teori yang membentenginya. Kalau dia bentuknya otorita, harus ada teori yang membentenginya juga. Saya lihat kurangnya di situ.
UU IKN ini digarap oleh DPR dan Pemerintah hanya dalam waktu 42 hari, mirip dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang hanya puluhan hari. Waktu singkat, tidak partisipatif. Selama 42 hari, hanya dua hari konsultasi publik ke kampus-kampus. Bagaimana Anda menanggapi ini?
Pembentukan UU IKN itu membuktikan sekali lagi bahwa hukum itu hanya dijadikan sebagai justifikasi formal. Jadi yang penting ketika kita melakukan tindakan, mengeluarkan kebijakan, itu ada dasar hukumnya. Kita bisa lihat bagaimana pada waktu itu jumlah anggota Pansus nggak sesuai dengan Tata Tertib DPR, kemudian Tata Tertib-nya yang diubah. Kemudian ditegur MKD, karena masyarakat memberi kritik keras. Kenapa sampai segitunya? Itu artinya the end justifies the means, tujuan menghalalkan segala cara. Bisa dibayangkan kalau masyarakatnya tidak bereaksi bagaimana? Mereka akan terus saja, dan ini menunjukkan bahwa rasionalitas ketika kita membentuk sebuah undang-undang tidak ada.
Yang kita inginkan adalah democratic law making, membentuk undang-undang secara demokratis dan itu diperlukan agar menghasilkan undang-undang yang berkualitas baik. Bagaimana caranya supaya undang-undang itu mempunyai kualitas yang baik? Yaitu melalui prosedur yang lebih mendalam, prosedur yang “diperlambat”. Kenapa prosedur itu diperlambat? Agar memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan.
Pasca disahkan, UU IKN langsung ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Sama seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah diputuskan “inkonstitusional bersyarat”, meski putusan sangat rancu dan ambigu. Apakah ada potensi serupa untuk UU IKN?
Tergantung apa yang dimohonkan. Apakah uji formil atau uji materiil? Semisal diuji formil dan MK memegang pertimbangannya bahwa dalam partisipasi publik itu haruslah meaningful participation. Jika yang diuji adalah partisipasi publik, maka seharusnya menurut saya UU IKN ini seyogyanya pasti inkonstitusional juga—sama seperti UU Cipta Kerja. Apakah itu terjadi juga di dalam UU IKN? Kita lihat aja.
Menurut saya dengan pendeknya waktu untuk [membentuk UU IKN], itu sudah menunjukkan, kenapa sih harus dipercepat? Kenapa harus terburu-buru?
Belakangan DPR malah merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3), karena putusan MK soal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Bagaimana menurut Anda?
Kalau kita baca di amar putusan MK, dalam pertimbangan-pertimbangan MK mengatakan metode omnibus tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undang Indonesia, namun MK tidak mempersoalkan dalam hal ini. Enggak apa-apa pakai metode omnibus, tapi yang penting metode omnibus ini ada dasar hukumnya.
Buat saya di sinilah salah satu kekurangan dari MK, yaitu tidak mengaitkan metode omnibus itu dengan prinsip democratic law making. Karena metode omnibus ini buat saya adalah metode yang tidak demokratis. Persoalannya bukan boleh atau tidak metode ini digunakan, tetapi persoalannya adalah sampai sejauh mana penggunaan metode itu sejalan dengan prinsip democratic law making? Kalau dia tidak in line dengan democratic law making, dia harus dibatasi.
Karena praktik di berbagai negara, metode omnibus ini banyak digunakan oleh Pemerintah ketika dia mengajukan rancangan undang-undang. Mereka seakan-akan memaksa parlemen, memaksa badan legislatif. Karena begitu banyak yang diatur di dalam undang-undang yang menggunakan metode omnibus.
Jadi revisi ini sekadar untuk memberikan dasar hukum metode omnibus dengan dicantumkan ke dalam UU P3, tetapi tidak diatur secara rinci, apakah semua undang-undang boleh menggunakan omnibus? Buat saya sih harusnya kalau digunakan, haruslah dibatasi. Jika tidak, agenda legislasi yang terpimpin pembahasan tidak kritis dan tergesa-gesa. Kemudian ruang partisipasi dipersempit yang mengakibatkan partisipasi itu berpindah ke ruang MK, sekarang seakan-akan seperti itu, makanya kalau ada apa-apa tinggal bilang gugat ke MK saja. Jadi makanya, buat saya pribadi, penggunaan metode omnibus itu harus dibatasi.
Pertanyaan terakhir. Ada dua produk hukum, dengan kepentingan besar di belakangnya namun ditolak banyak pihak, yang selama dua-tiga tahun terakhir mulus dibahas dan ketika diuji ke MK tak berdampak apa-apa. UU Cipta Kerja dan UU IKN. Walau UU Cipta Kerja digugat dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat, namun tetap sah dan bisa digunakan sampai sekarang. Dalam sudut pandang hukum tata negara, fenomena apa yang sedang terjadi di Indonesia?
Menurut saya, yang terjadi sekarang adalah undang-undang hanya dijadikan sebagai justifikasi formalitas oleh penguasa. Jadi apa yang dikatakan Kim Scheppele dalam artikelnya tahun 2018, berjudul Autocratic Legalism, yaitu memberi ruang kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan berdasarkan hukum, padahal hukum yang dibuatnya hanyalah “otokratik legalisme”. Salah satu ciri hadirnya “otokratik legalisme”, pertama, bagaimana menggunakan hukum atau undang-undang atau peraturan untuk melegalkan tindakan penguasa. Tapi produk hukum seperti apa yang digunakan? Ya produk hukum itu yang justru melanggar prinsip negara hukum. Biasanya rakyat itu nggak sadar, menganggap itu hal yang biasa. Jadi apa tujuan akhir dari “otokratik legalisme”? Tujuan akhir yaitu adalah memperbesar kekuasaan bagi orang-orang tertentu dan ini akan mematikan demokrasi.
Kalau kita masih ingat bukunya How Democracies Die (2018), demokrasi mati bukan oleh militer, tapi oleh mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Jadi ini merupakan yang beberapa tahun ini saya khawatir, itu menunjukkan “otokratik legalisme”. Jadi bukan “rule of law”, tapi “rule by the law”. Menggunakan hukum hanya formalitas saja dan ini yang mengkhawatirkan.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi