Menuju konten utama

Dede Yusuf: Kita Harus Punya Undang-Undang Agraria Baru

Hampir 40 persen kasus perdata di kehakiman umum adalah masalah pertanahan. Itu sebabnya butuh pengadilan pertanahan.

Dede Yusuf: Kita Harus Punya Undang-Undang Agraria Baru
Header wansus FYP Dedi Yusuf. tirto.id/Tino

tirto.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, mengaku hendak mendorong perampungan revisi UU Agraria. Pasalnya, UU Agraria yang berlaku saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Selain UU Agraria, Dede juga hendak merampungkan revisi UU Pemilu. Pasalnya, revisi UU Pemilu harus rampung pada 2026 atau sebelum pelaksanaan persiapan Pemilu 2029.

"Yang paling penting, kalau menurut saya nih ya, pertama kita butuh Undang-Undang Agraria. Karena, Undang-Undang Agraria yang ada ini adalah UU Nomor 5 Tahun 1960," ujarnya dalam siniar For Your Politic.

Selain membicarakan soal politik, Dede juga menyinggung soal keengganannya menonton film horor. Dia mengaku lebih memilih menonton film yang menyentuh.

"Pokoknya yang film-film yang menyentuh, saya suka. Saya hatinya Hello Kitty. Yang menyentuh, saya suka. Yang ada human interest-nya, saya suka," ucap politikus dari Partai Demokrat itu.

Berikut perbincangan Tirto.id dengan Dede Yusuf dalam siniar For Your Politic.

Raker dan RDP mengenai persiapan penyelenggaraan pemilihan ulang

Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf (kanan) bersama Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin (kiri) memimpin rapat kerja dan RDP dengan Wakil Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

Dari atlet ke artis, sekarang ke politisi. Apa yang membuat Anda memilih jalur seperti itu?

Sekarang, malah dari selebgram jadi politisi juga banyak. Sebetulnya begini. Saya waktu melakukan itu semua jujur juga by process aja. Gak ada, misalnya, berencana.

Tetapi, apakah itu membuka jalan bagi kawan-kawan artis yang lain? Saya pikir sebagai bagian dari generasi-generasi awal, mungkin iya. Karena, setelah itu, lebih banyak lagi artis yang masuk politik.

Bermula dari 2004, pada saat pemilu langsung pertama. Nah, pada saat itu, saya 10 tahun sebelumnya berada dalam sebuah organisasi masyarakat namanya Kosgoro. Saya melihat di depan mata sendiri bagaimana proses politik yang terjadi. Yang terpilih selalu anak jenderal atau jenderalnya atau pejabatnya.

Tiba-tiba, 2004 dimulailah pemilihan secara terbuka. Siapa pun asal meraih suara terbanyak memiliki peluang. Nah, di situ saya merasa bahwa udah gak ada urut kacang nih. Ya sudah, di situlah saya mengadu nasiblah dalam tanda kutip. Kalau dulu, kami disebutnya vote getter.

Sampai sekarang, anggapan bahwa artis adalah vote getter itu masih tetap ada...

Sebetulnya gak ada yang salah. Karena, dalam setiap perhelatan apa pun, nomor satu yang dicek popularitasnya. Mau ikut pilkada, mau ikut pilpres, mau ikut apa pun, gak ditanya track record-nya.

Jadi, sebetulnya kalau ditanya apakah artis adalah vote getter, iya karena dia populer. Saya sih enggak pernah merasa terendahkan dengan stigma-stigma tersebut.

Kalau di dalam dunia psikologi, itu disebutnya adalah labelisasi. Labelisasi itu berarti menggeneralisasi orang terhadap profesi orang lain. Kalau ini, pasti begitu. Kira-kira gitulah ya. Menurut saya sih enggak. Saya tidak terganggu karena saya mewakili orang film.

Sebut saja saya orang film. Saya bukan artis dalam artian selebritas, tapi orang film. Sebagai orang film, saya adalah seorang aktor, sutradara, produser. Sebagai seorang aktor, saya harus belajar skenario. Sebagai seorang sutradara, saya harus belajar untuk membuat adegan. Sebagai seorang produser, saya harus me-manage keuangan dan sebagainya.

Nah, poinnya adalah setiap bagian yang diberikan kepada kita, kita harus lakukan yang terbaik.

Selama 20 tahun berkarier di dunia politik, ada enggak yang menjadi mentor atau inspirasi bagi Anda?

Ya, pasti banyak. Saya 20 tahun bertemu dengan berbagai orang yang menjadi tangga-tangga saya untuk belajar. Yang paling pasti harus saya selalu sampaikan, itu adalah almarhum ibu saya. Beliau orang yang percaya pada saya. Dia percaya ketika saya mengatakan, “Ma, kayaknya saya ingin mencoba untuk masuk di dalam dunia politik.”

Kebetulan ibu saya adalah seorang kader partai politik, vote getter, yang sudah lama berada di dalam sebuah partai politik. Dia tahu suka dukanya di dalam dunia politik. Ibu saya juga menyampaikan, “Kamu jangan mau lho kalau kamu hanya disuruh jadi penggembira. Kamu harus menjadi orang yang melakukan perubahan.”

Mungkin, modal pertama saya ya dibantu ibu saya. Jadi, menurut saya, pasti ibu adalah orang yang harus saya sampaikan sebagai mentor saya yang pertama.

Kedua, ada Sutrisno Bachir. Ya, Sutrisno Bachir ini salah satu senior yang bagi saya orang yang sangat men-support saya. Memberikan banyak sekali pemikiran bagaimana menjadi seorang politisi yang tetap memiliki etika-etika tertentu, moral-moral tertentu, dan seterusnya.

Yang ketiga tentunya adalah Pak Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau, ketika saya menjadi wakil gubernur, sering mengundang untuk berdiskusi, ngobrol, nyanyi, cerita-cerita, berbicara tentang keindahan, kebudayaan, sampai soal geopolitik, ekonomi makro, moneter, dan sebagainya.

Bagaimana Anda menghadapi tantangan baru di Komisi II DPR RI?

Tiba-tiba, saya dapat peran tentang pergolakan sebuah negara. Saya tentu mencari database-nya. Tidak mudah karena database-nya adalah para penyelenggara negara.

Kalau dulu, saya mau mempelajari sebuah karakter, let's say saya mau masuk dunia pendidikan, maka saya bertemu guru, bertemu dosen, bertemu mahasiswa. Sekarang, kita mau bicara tentang pilpres. Saya mau bertemu siapa? Berarti harus ketemu capresnya, dengan tokoh-tokoh partai, penyelenggara negara. Bicara tentang pemerintahan daerah harus ketemu gubernur, bupati, dan sebagainya.

Tentu semua dalam konteks ini adalah bagian dari, ibaratnya, pendalaman karakter. Untuk melakukan pendalaman karakter, saya harus belajar dalam waktu tiga bulan. Nah, kemarin, tiga bulan sudah berlalu. Maka sekarang saya harus menjadi karakter.

Jadi, kalau Anda bertanya kepada saya untuk bidang-bidang ini, saya harus bisa menjawab. Enggak bisa lagi saya lihat catatan.

Soal UU Pemilu, sebenarnya akan seperti apa undang-undang tersebut?

Sekarang, saya akan berbicara sebagai seorang politikus, sebagai seorang pemimpin komisi juga. Undang-undang politik itu penting karena hampir semua kebijakan yang ada di negara kita berawal dari politik. Proses politiklah yang menjadikan ada presiden, ada wakil-wakil rakyat, lembaga-lembaga negara, dan lain-lain.

Nah, kita berawal dari keputusan MK yang mencabut presidential threshold. Bermula dari situlah, kemudian ada amanat bahwa pembuat undang-undang diberikan kesempatan melakukan restrukturisasi atau rekayasa konstitusional terhadap Undang-Undang Pemilu.

Kalau itu dilakukan sekarang, maka pemerintahan yang baru berjalan empat bulan ini pasti akan bersinggungan satu sama lain. Jadi, kita enggak boleh terlalu terburu-buru membicarakan tentang kepentingan partai.

Saat ini, yang harus kita bicarakan adalah kepentingan negara. Bagaimana caranya kita dapat menggerakkan perekonomian kita untuk meningkat lagi di tengah ketidakpastian global.

Apa yang harus kita lakukan? Kita harus solid. Untuk solid, kita enggak usah ngomongin dulu bagaimana revisi Undang-Undang Pemilu. Karena, nanti akan bertubrukan dengan berbagai kepentingan partai-partai.

Kita harus berbicara tentang bagaimana negara kita survive, memiliki pendanaan yang kuat, memberantas korupsi, ekonominya berjalan dengan baik, masyarakat mulai tumbuh dan berkembang dengan baik.

Bukankah harusnya UU Pemilu sudah selesai pada 2026...

Itu sebabnya saat ini kami akan membuka ruang untuk mendengar masukan-masukan dari berbagai pihak. Akademisi, praktisi, pengamat, siapa pun juga, kami dengar. Supaya apa? Pembicaraan tentang politik tidak dilakukan di tempat gelap. Intinya itu.

Kami punya waktu sampai 2026. Mengapa 2026? Karena, 2027 tahapan pemilu akan dimulai. 2025 ini, kami mencari bahan sebanyak-banyaknya, riset.

Saya yakinlah ketua-ketua partai, tokoh-tokoh partai saat ini juga belum mau membicarakan tentang revisi Undang-Undang Pemilu. Bahwa pemilu kemarin dengan kebrutalannya yang kita tahu semua ini berbahaya dan harus kita ubah. Itu menjadi sebuah komitmen bersama.

Adakah catatan lain dari Anda sendiri untuk upaya perbaikan sistem pemilu kita?

Yang jelas bahwa politik transaksional harus sangat berkurang sekali. Karena, makin ke sini, politik transaksional itu semakin tinggi sekali. Makin mahal biaya politiknya.

Saya khawatir ini menjadi kebiasaan, baik pemilih maupun yang dipilih. Tidak ada lagi adu gagasan, yang penting adu sebaran. Itu bahaya dan memang harus kita ubah. Bagaimana cara mengubahnya? Tentu dengan mempersempit ruang-ruang transaksional.

Catatan lain tentang apakah perlu semua pemilihan dilakukan dalam waktu yang begitu berdekatan. Intinya, perlukah sebetulnya pilpres dan pileg dilakukan sekaligus. Ini juga harus jadi pemikiran.

Bisa saja nanti ke depan kita jadikan sistemnya itu pemilihan pusat dan pemilihan daerah. Supaya apa? Supaya masyarakat juga gak jenuh. Lalu perlukah dijedakan? Dari kawan-kawan pengamat mungkin minta 2 tahun. Tapi, kalau 2 tahun berarti harus ada Pj 2 tahun. Nah, ini masih kami cermati.

Hal yang juga jadi soal adalah MK kemarin memutuskan PSU di 24 wilayah. Gara-garanya sepele, yaitu calon tidak memenuhi persyaratan ternyata terloloskan. Berarti ada masalah di pihak penyelenggara di bawah. Kompetensinya bagaimana? Evaluasinya bagaimana? Kok bisa kesalahan seperti itu terjadi?

Poinnya adalah PR-nya banyak, tapi kami ingin mendengar semua masukan masyarakat.

Apakah UU Pemilu yang baru nantinya berbentuk omnibus atau UU biasa?

Menurut saya, omnibus itu tujuannya pengen menyederhanakan. Tetapi, apakah iya hal-hal yang menjadi isu urgen dan hak-hak rakyat ingin disederhanakan? Menurut saya, kita harus hati-hati.

Kalau soal perizinan disederhanakan, oke. Tapi, kalau hak rakyat disederhanakan, menurut saya, tunggu dulu nih. Kodifikasi masih sangat mungkin. Artinya, mana yang undang-undang partai politik, mana yang undang-undang pemilu, mana yang undang-undang daerah.

Sampai kepada soal pemilihan kepala desa. Itu bagian pemerintahan daerah juga. Nah, hal-hal tersebut harus kita pikirkan sama-sama.

Kemarin, Anda sempat berkomentar soal Kepala Desa Kohot di kasus pagar laut yang bisa membeli Rubicon. Anda masih mengikuti perkembangan masalah pagar laut di Tangerang?

Mengikuti. Tiap hari saya mengikuti. Nah, alhamdulillah Menteri ATR, Pak Nusron, cukup gercep. Bahkan, katanya gara-gara Kang Dede ini kepala desanya akhirnya jadi ketangkap. Ya mungkin bisa jadi. Kadang-kadang, memang perlu ada yang mencetuskan supaya aparat hukum bergerak.

Sempat agak tenggelam isunya. Saya hanya membantu menyuarakan supaya kemudian diliput oleh Tirto dan media yang lain. Akhirnya, penegak hukum juga harus masuk.

Apakah Komisi II akan terus mendorong sampai dalang pemagaran laut itu itu ditangkap?

Jadi, Komisi II berpegang pada Undang-Undang Pertanahan. Ketika Undang-Undang Pertanahan mengatakan harus kembali pada tata ruang yang benar, ya memang harus dicabut. Yang bersalah ya harus segera dihentikan dan diberikan kepada pihak penegak hukum. Itu sudah dilakukan.

Kami enggak bisa mengatakan tangkap perusahaannya. Perusahaannya itu juga enggak jelas, kan? Sampai sekarang belum ada. Kecuali, kalau nanti dari pihak pengadilan menetapkan perusahaannya adalah anu-anu-anu. Yang kami tuntut adalah ganti rugi kepada rakyat.

Domain kami adalah HGB-nya clear. Jangan sampai ada HGB fiktif. Dan ini pelajaran karena ternyata bukan hanya di wilayah itu saja. Bisa saja di tempat-tempat lain pun terjadi.

Makanya kami menginstruksikan kepada pemerintah untuk cek semua wilayah di Indonesia. Jangan sampai ada laut-laut yang dikavling.

Selain itu, masalah tumpang tindih sertifikat tanah juga sering terjadi...

Yang paling banyak memang tumpang tindih. Kalau kita lihat dari tumpang tindih itu memang banyak berawal dari usulan pada level terbawah. Bisa di desa atau kelurahan. Ada usulan, lalu nanti dibuat pemetaan sementara. Pemetaan sementara itu tiba-tiba berubah menjadi permanen, padahal punya orang. Banyak hal-hal kayak gitu.

Makanya sekarang, yang kami dorong namanya sertifikat online.

Saya pernah punya pengalaman kebakaran. Saya punya rumah, kantor kami, kebakaran. Di dalamnya, ada sertifikat-sertifikat tanah. Itu kebakar habis dan proses untuk mengurusnya lagi membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Karena, harus dibuktikan dulu, dibawa dulu ke pengadilan agama, waris, dan seterusnya. Wah, ribet.

Kalau sudah menjadi elektronik, sertifikat itu terkoneksi dengan BPN. Sertifikat elektronik bisa disimpan di hard disk kita, bisa disimpan di cloud, bisa disimpan juga di BPN. Intinya, kita punya backup-lah.

Dulu, Anda terlibat mengegolkan UU Olahraga. Di Komisi II sekarang ada target atau tidak?

Sekarang, saya lagi mikir. Ada 121 undang-undang yang harus diselesaikan oleh Komisi II. Contoh, undang-undang tentang pemekaran Papua itu ada lima. Lalu, ada undang-undang tentang daerah otonomi baru.

Kami mau fokus yang mana nih? Banyak sekali. Tapi, yang paling penting, kalau menurut saya, kita butuh undang-undang agraria. Karena, undang-undang agraria yang ada saat ini adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 yang masih ada istilah-istilah verponding eigendom, persil, petok, dan sebagainya. Sementara zaman sekarang, semua sudah berubah.

Ada tanah yang kebetulan dititipkan oleh perkebunan kepada petaninya untuk digarap. Petaninya punya anak, lalu dibagi tanahnya. Setelah sekian puluh tahun, sama anaknya itu dijual ke developer. Oleh developer dibelah-belah lagi. Tiba-tiba, sekarang ini mau diambil oleh negara karena itu adalah tanah negara.

Makanya kita harus punya undang-undang agraria baru. Kami minta pemerintah menyiapkan konsepnya. Pemerintah mengusulkan namanya adalah Undang-Undang Tata Kelola Agraria.

Di dalamnya, salah satu ada pasal reforma agraria dan penting sekali ada yang namanya pengadilan pertanahan. Masalah pertanahan itu hampir 40 persen dari kasus perdata yang ada di kehakiman umum. Sementara, yang ahli tanah enggak banyak. Itu sebabnya kita membutuhkan pengadilan pertanahan.

Lalu, saya pikir revisi UU Pemilu itu penting juga karena pasti dibutuhkan. Salah satu yang juga jadi pemikiran kami adalah undang-undang tentang transfer keuangan daerah. Itu persentasenya gede sekali di APBN, hampir 40 persen.

Dulu, ketika menjadi pimpinan di Komisi Pendidikan, saya mencoba me-review berapa sebenarnya transfer keuangan daerah di bidang pendidikan dalam satu tahun. Totalnya Rp600 triliun, tapi sekolah tetap rusak. Guru-guru tetap digaji hanya Rp300 ribuan.

Artinya, uang itu jadi apa? Nah, itu terjadi karena evaluatornya tidak ada. Nah, menurut kami, ini juga menjadi penting.

Sekarang, banyak Gen Z yang memasuki dunia politik. Banyak anak-anak muda sudah terpilih menjadi bupati, wakil bupati. Anda punya pesan untuk mereka?

Saya sering ngobrol dengan mentor saya, Pak SBY. Beliau usianya pasti jauh lebih senior dari saya, sudah 70-an lebih. Ketika saya berbicara dengan beliau, beliau enggak pernah ngajarin saya. Yes, show, don't tell.

Saya bersama beliau ngobrolin tentang negara, internasional, politik, tentang apa saja. Saya tiba-tiba menjadi bisa tanpa beliau harus mengatakan, “Pak Dede, kamu harus seperti ini ya.” Beliau enggak pernah seperti itu.

Saya pikir show is much better than telling. Jadi, enggak ada sesuatu yang bisa saya sampaikan kepada kawan-kawan atau adik-adik kita yang Gen Z saat ini. Mereka punya kesempatan. Hanya, kami pernah muda, mereka belum pernah tua.

Jadi, ya tunjukkanlah pengalaman, perilaku, lalu biarlah adik-adik kita nanti yang melihat mana yang baik dicontoh, mana yang tidak baik jangan dicontoh.

Putri-putri Anda ada yang didorong masuk politik?

Enggak sih. Kalau dia mau dia pasti akan masuk, gitu aja. Karena, dulu juga ibu saya enggak dorong-dorong saya. Tapi, ketika saya mengatakan ingin masuk politik, ibu merestui.

Apa target Anda selanjutnya terkait politik, jabatan, atau mungkin kesempatan-kesempatan lain yang ingin dicoba?

Saya pikir semua politikus pasti punya target. Kita menyebutnya ambisi. Ambisi itu perlu, tapi ambisius itu enggak boleh.

Contoh, kami ingin Partai Demokrat kembali ke pemerintahan. Itu sudah tercapai. Lalu, kami ingin Partai Demokrat nanti masuk dalam lima besar di pemilu, insyaallah. Buat saya sendiri bagaimana? Saya ingin menjadi bagian dari kemajuan Partai Demokrat.

Saya sudah melahirkan dua buku kemarin. Di periode kemarin, saya mengeluarkan buku tentang keolahragaan. Itu tentang proses pembuatan Undang-Undang Keolahragaan. Jungkir baliknya proses pembuatan undang-undang yang targetnya adalah masyarakat bugar dan atlet berprestasi.

Buku kedua adalah mengugat anggaran pendidikan 20 persen. Itu saya buat ketika saya memimpin Panja Pendidikan. Ternyata itu dijadikan buku bacaan para kepala sekolah dan dinas pendidikan karena dianggap datanya lengkap. Itu hasil dari saya mengerjakan dua panja, yaitu panja pembiayaan dan panja pendidikan tinggi.

Sebagai aktor sekaligus politikus, mau dong dikasih rekomendasi film dari Anda...

Saya penggemar Marvel Universe. Saya juga lagi menunggu-nunggu film Superman terbaru. Jujur, saya menolak nonton film horor. Kalau horornya thriller, saya masih suka nonton, seperti tentang pembunuhan atau psikopat.

Kalau rekomendasi film lokal, kemarin saya baru nonton Satu Kakak, Tujuh Ponakan. Pokoknya, film-film yang menyentuh, saya suka. Saya hatinya Hello Kitty. Saya suka yang ada human interest-nya.

Baca juga artikel terkait DEDE YUSUF atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal

tirto.id - News
Reporter: Muhammad Naufal
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi