Menuju konten utama

Kepercayaan Publik pada TNI Bersyarat Profesionalisme

TNI harus fokus pada pertahanan negara serta modernisasi alutsista dan adaptasi teknologi harus jadi prioritas utama.

Kepercayaan Publik pada TNI Bersyarat Profesionalisme
Header Wansus Decode Made Supriatma

tirto.id - Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara konsisten menempati posisi teratas sebagai institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Selama beberapa tahun terakhir, berbagai survei menunjukkan bahwa citra TNI di mata publik tidak hanya stabil dan positif, tetapi juga terus menguat dari waktu ke waktu.

Namun, pengesahan UU TNI yang baru (UU No. 3 Tahun 2025) menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait perluasan peran prajurit aktif di ranah sipil.

Survei Tirto bekerja sama dengan Jakpat menunjukkan bahwa 26,48 persen responden setuju terhadap revisi UU TNI, 32 persen tidak setuju, dan 41,28 persen memilih netral. Salah satu poin paling disorot adalah perubahan Pasal 47 yang membuka peluang pengisian lebih banyak jabatan sipil oleh prajurit aktif. Sebanyak 45,44 persen responden menolak perluasan peran ini dan hanya 25,52 persen yang mendukung.

Survei Tirto dan Jakpat juga mengungkap beragam persepsi publik terhadap kinerja TNI setelah revisi UU TNI diberlakukan. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan puas—5,76 persen sangat puas dan 17,28 persen puas. Sebagian besar responden (49,76 persen) memilih bersikap netral, sedangkan 20,40 persen menyatakan tidak puas dan 6,80 persen sangat tidak puas.

Kekhawatiran akan tergerusnya supremasi sipil juga tinggi, dengan 71,12 persen responden mengaku khawatir dan sangat khawatir terhadap masuknya TNI ke ranah sipil. Mayoritas responden (61,75 persen) menyebut penambahan institusi sipil yang dapat diisi prajurit aktif sebagai poin yang paling mengkhawatirkan.

Untuk menganalisis hal ini dan mendapat pemahaman akan diskursus terkait TNI usai berlakunya revisi UU TNI, Tirto melakukan wawancara khusus dengan pengamat militer sekaligus Visiting Research Fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Antonius Made Tony Supriatma. Berikut adalah hasil wawancara khusus Tirto.

Citra TNI di mata publik dalam beberapa tahun terakhir (atau bahkan sejak Reformasi 1998) secara konsisten positif dalam berbagai survei (Litbang Kompas, Indikator, CSIS dll.). Menurut Anda, faktor-faktor apa yang membentuk dan mempertahankan citra positif tersebut?

Saya kira kenapa citra itu tinggi juga tergantung pada pertanyaan surveinya. Dalam survei, orang menjawab apa yang ditanyakan. Apakah Anda menyukai lembaganya? Ya, mungkin tidak bisa mengatakan tidak.

Yang lebih substansial, TNI sekarang itu tidak terlalu banyak tampil ke publik. Itu tidak seperti zaman Orde Baru. Jadi, satu perbedaan yang saya lihat sangat kental adalah tentara menghilang dari ruang-ruang publik di Indonesia.

Kalau pun muncul, itu selalu muncul dalam keadaan yang baik, yang heroik. Kemudian, kemunculannya itu dengan aksi-aksi sosial, seperti dalam program Tentara Manunggal Masuk Desa (TMDD).

Ada satu studi dari Prof. Haripin dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menunjukkan bagaimana TNI menjaga dan mempengaruhi citranya melalui operasi-operasi militer nonperang, khususnya operasi penanggulangan bencana. Pasalnya, TNI itu sangat mudah dikerahkan ketika terjadi bencana. Mereka cepat dan tanggap. Ini membentuk persepsi publik yang positif.

Berdasarkan analisis sejumlah pakar dan penelitian sebelumnya, salah satu alasan mengapa TNI mendapatkan citra positif atau kepercayaan publik yang cukup tinggi adalah karena mereka fokus pada fungsi pertahanan dan tidak bersentuhan langsung dengan jabatan-jabatan sipil atau pelayanan masyarakat. Lalu, adanya revisi UU TNI membuka kesempatan prajurit TNI aktif untuk lebih luas menduduki jabatan sipil dan tugas-tugas nonmiliter. Apakah ini akan memengaruhi citra TNI ke depan?

Ini belum bisa terlalu jelas untuk kita lihat ya. Karena, yang diatur di dalam undang-undang itu sebenarnya untuk jabatan sipil tempat TNI tampil dengan wajah sipil. Mereka tidak lagi berseragam. Jadi, kemungkinan citra positif tetap terpelihara.

Yang tidak orang ketahui adalah ketika TNI tidak muncul publik, seperti misalnya (keterlibatannya) di Badan Gizi Nasional (BGN). Padahal, TNI luar biasa perannya di situ. Mereka mengawasi, kemudian pada awal-awal juga pembangun fasilitas dapur-dapur umum. TNI tetap berusaha untuk tidak terlihat, walaupun campur tangannya ada.

TNI juga punya peran besar, misalnya, ketika Babinsa mulai membeli gabah dari petani, mengatur distribusi pupuk, bahkan menentukan jadwal tanam. Tapi, karena itu terjadi di sektor yang tidak banyak terekspos publik, maka tidak banyak yang menyadari.

Bahkan, di tempat-tempat lain, ada kerja sama antara Departemen Pertanian dan TNI untuk mengatur jadwal tanam. Mereka juga menentukan harus tanam ini, bibitnya ini, saprodinya (sarana produksi pertanian) ini, dan sebagainya. Itu hanya mengena pada satu sektor yang semakin mundur dalam masyarakat dan tidak terlihat, yaitu pertanian.

Yang terkena adalah petani dan banyak orang tidak terlalu menyadari apa yang terjadi di tingkat petani. Jadi, untuk sementara, saya kira jabatan-jabatan publik pun kalau mereka masuk ke departemen-departemen, misalnya ke Departemen Perhubungan sebagai inspektorat, itu enggak akan jadi masalah karena tidak terlihat dalam pelayanan publik.

Tapi, kalau mereka sudah mulai masuk ke wilayah seperti perkeretaapian, misalnya menjadi Direktur Kereta Api, itu sudah akan beda karena itu akan mengekspos TNI langsung berhadapan dengan publik.

Tingkat kepercayaan publik terhadap TNI tidak hanya stabil dan positif, tetapi juga terus menguat dari waktu ke waktu. Dalam waktu yang sama, tingkat kepercayaan publik ke institusi sipil dan juga politisi terus menurun. Lembaga seperti DPR juga sering kali menjadi yang terendah. Apakah tingginya tingkat kepercayaan terhadap TNI ini juga disebabkan oleh minimnya kepercayaan masyarakat terhadap politisi sipil?

Nah, ini fenomena menarik ya. Namun, saya tidak bisa melihat kausalitas itu secara langsung. Dalam ilmu sosial, kita selalu mencari hubungan sebab-akibat. Apakah turunnya kepercayaan pada politisi sipil kemudian menaikkan kepercayaan terhadap TNI? Tidak semata-mata seperti itu.

Yang menurut saya lebih masuk akal adalah siapa yang lebih banyak berhubungan dengan urusan dan kepentingan publik akan semakin tinggi pula tingkat ketidakpuasannya (bila tidak menunjukkan performa baik). Itu hipotesis yang lebih relevan. Bukan semata-mata karena TNI jadi alternatif terhadap politisi atau birokrasi sipil.

Hipotesisnya harus mulai berangkat dari soal siapa yang lebih terekspos pada pelayanan publik. Bukan bahwa TNI menjadi alternatif dari politisi dan birokrasi sipil.

Saya bisa menduga, bila TNI menggantikan politisi sipil dan birokrasi dalam membuat kebijakan, dengan segera orang akan merasakan, “Oh, begini toh rasanya di bawah TNI.” Itu sudah terjadi 32 tahun di masa Orde Baru.

Tapi, orang lupa apa yang terjadi pada waktu itu, ketika TNI menjadi sangat dominan dalam pembuatan kebijakan. Tingkat kepuasannya pada waktu itu memang tidak ada survei, tapi cukup terasa bahwa tidak cukup tinggi sehingga perlu dilakukan represi. Perlu dilakukan pembungkaman terhadap pers dan lain sebagainya supaya ada stabilitas. Di zaman Orde Baru itu, stabilitas diraihdengan pemberanggusan kebebasan sipil, kebebasan berbicara, dan lain sebagainya.

Jadi, semakin mereka (TNI) terekspos pada pelayanan publik, semakin mereka masuk ke dunia sipil dan melakukan hal-hal seperti yang dilakukan birokrasi dan politisi, maka tingkat kepercayaan terhadap mereka juga akan turun.

Apakah tingginya kepercayaan publik terhadap TNI saat ini memiliki implikasi terhadap demokrasi?

Saya kira kepercayaan yang tinggi itu justru karena demokrasi. Demokrasi tidak mengizinkan TNI hadir dalam pelayanan-pelayanan publik. TNI cukup saja menjadi warrior, menjadi patriot. Tidak usah melangkah lebih jauh. Kita perlu itu.

Demokrasi memang memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi dari publik terhadap TNI. Kenapa? Karena demokrasi menempatkan TNI pada posisi yang sebenarnya: sebagai alat pertahanan.

TNI ini satu-satunya lembaga yang bersedia mati untuk negara. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap mereka harus tinggi. Tapi, sekali mereka keluar dari ranah itu dan masuk ke wilayah sipil, maka mereka akan kehilangan citra dan trust dari masyarakat. Itu pasti. Saya mengalami sendiri hal itu di zaman Orde Baru.

Penyambutan Satgas Garuda Merah Putih II

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono (tengah) usai mengikuti kegiatan penyambutan Satgas Garuda Merah Putih II untuk misi kemanusiaan ke Gaza di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (13/9/2025). Satgas Garuda Merah Putih II berhasil menyalurkan bantuan ke Gaza sebanyak 91,4 ton menggunakan tiga pesawat Super Hercules yang terdiri dari bahan makanan, obat-obatan, dan logistik lewat skema airdrop bersama 15 negara yang tergabung dalam solidarity operation. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/sgd

Survei Tirto dan Jakpat mendapati persepsi publik terbelah soal revisi UU TNI. Sekitar 26,48 persen menyatakan setuju, 32 persen tidak setuju, dan 41,28 persen memilih netral. Dari kelompok yang tidak setuju, mayoritas menyebut kekhawatiran soal penempatan prajurit aktif di institusi sipil. Bagaimana Bapak melihat ini, apakah risiko terhadap demokrasi itu nyata?

Kalau menurut saya, ini konsisten—tergantung pada cara bertanyanya juga. Kalau Anda bertanya, “Apakah Anda setuju dengan Undang-Undang TNI yang baru?”, lalu yang menjawab tidak setuju cukup signifikan, hampir sepertiga dari responden Anda, itu menunjukkan ada keresahan publik.

Itu menunjukkan bahwa trust terhadap TNI sebenarnya bersyarat. Syaratnya adalah TNI tetap sebagai militer, bukan militer menjadi sipil. Itu syarat paling penting.

Kekhawatiran itu masih hidup dalam masyarakat. Bahkan sampai sekarang, meskipun Orde Baru sudah runtuh lebih dari 25 tahun yang lalu dan telah muncul generasi yang tidak tumbuh di zaman itu. Mereka belum pernah mengalami langsung dominasi militer, tapi mereka tetap bisa merasakan dan berpikir.

Dan kalaupun mereka tidak puas terhadap pelayanan sipil atau politik sipil, bukan berarti mereka suka pada TNI dalam peran sipil. Mereka percaya pada TNI, tapi hanya dalam kapasitas sebagai lembaga pertahanan dan keamanan. Karena itu, kekhawatiran terhadap penempatan prajurit aktif di institusi sipil sangat masuk akal dan perlu didengar.

Dalam hal ini, kondisi dan birokrasi sipil memang perlu memperbaiki diri. Walaupun, saya melihat birokrasi sipil kita saat ini sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan di masa lalu. Ada beberapa kasus korupsi, iya. Tapi, sebagian besar yang melakukan itu adalah mereka yang punya kaitan politik.

Yang tidak terkait politik, umumnya bekerja dengan baik. Seperti pegawai negeri biasa. Jadi, sekali lagi, bukan karena masyarakat benci sipil lalu langsung cinta TNI, bukan. Kepercayaan kepada TNI itu sangat spesifik: sebagai lembaga pertahanan.

Di usia ke-80 tahun ini, seperti apa TNI yang ideal bagi Indonesia menurut Anda?

Kalau saya, TNI yang ideal adalah TNI yang efektif, efisien, tidak terlalu besar, dan bisa digerakkan setiap saat. Itu tidak bertentangan dengan doktrin TNI sebagai tentara rakyat. Tapi, TNI sekarang justru menjadi sangat besar dengan pembangunan batalion baru, perluasan kodam, dan sebagainya.

Pertama, kita tidak mampu membiayai semua itu. Kedua, kita tidak mampu melatih tentara dalam jumlah besar yang benar-benar efisien dan siap digerakkan.

Sekarang, perang itu basisnya teknologi. Lantas, kenapa TNI malah diminta mengurusi pertanian? Pertanian biarlah diurus dengan kebijakan pangan oleh sipil. Jangan disekuritisasi karena hasilnya akan hancur.

Prajurit TNI juga tidak punya pengalaman soal itu. Lagi pula, banyak birokrat sipil yang lebih kompeten dan punya konsep yang lebih baik. Tapi, inilah tipikal pemerintahan sekarang: tidak menggunakan konsultasi publik, langsung jalan tanpa uji coba atau pilot project, dan hasilnya bisa kita lihat sekarang.

Maka saya lebih percaya pada TNI yang efisien, efektif, dan menguasai teknologi. Itu akan jauh lebih menjamin ketahanan negara.

Sailing Pass HUT TNI

(dari kiri ke kanan) KRI Ahmad Yani (351), KRI Yos Sudarso (353), KRI Oswald Siahaan (354) dan KRI Abdul Halim Perdanakusuma (355) mengikuti Sailing Pass di perairaan Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/agr

Menurut Anda, apakah revisi UU TNI yang telah disahkan sudah menjawab kebutuhan modernisasi TNI atau justru sarat kepentingan politik?

Banyak orang memperhatikan soal perluasan peran TNI di bidang sipil. Tapi, menurut saya, itu bukan substansi utama. Ada dua hal yang juga penting. Pertama, TNI diberikan kemampuan untuk mengelola ranah siber. Kalau untuk kepentingan pertahanan, itu oke, tapi masalahnya ini juga untuk keamanan dalam negeri yang seharusnya jadi tugas polisi.

Kedua, dan paling penting, adalah soal peningkatan usia pensiun. Ini akan berdampak struktural. Sekarang, kita merekrut tentara dalam jumlah besar. Saya memperkirakan jumlah personel TNI akan mendekati satu juta.

Kalau kita lihat dari segi kecakapan fisik, kemampuan bertempur itu ada sampai usia 36, maksimal 40 tahun. Kalau seseorang masuk TNI di usia 20, maka setelah 16 tahun, sudah tidak lagi bisa bertempur. Lalu, mereka akan ditempatkan di mana?

Di negara lain, ketika usia prajurit mencapai 35, ada tawaran: apakah ingin lanjut atau berhenti. Kita tidak punya itu. Kita memelihara tentara sampai mereka tua. Ini akan memunculkan banyak jenderal. Dan mereka akan ditempatkan di mana?

Ini problem struktural yang tidak pernah dihitung oleh orang-orang sipil. Mereka main setuju saja. Padahal, kita tidak bisa memelihara tentara yang tidak bisa bertempur.

Dalam menghadapi ancaman geopolitik, digital, siber, dan konflik dalam negeri kiwari, apakah TNI saat ini sudah cukup adaptif? Sejauh mana tingkat modernisasi alutsista dan personel dilakukan?

Kalau soal alutsista, kita jelas kekurangan. Saya pribadi lebih suka TNI dibekali dengan alutsista dan keterampilan teknologi yang lebih baik ketimbang terus-menerus membesarkan jumlah personel.

Pendidikan untuk prajurit juga perlu ditingkatkan, termasuk standar rekrutmen dan kesejahteraannya. Mungkin gajinya juga harus lebih tinggi. Tapi, mereka yang direkrut harus benar-benar anak zaman teknologi—yang mampu menguasai dan memainkan perangkat teknologi dengan baik.

Mereka juga harus mampu melakukan counter terhadap ancaman siber dan disinformasi tanpa perlu masuk ke ranah sipil. Kalau urusan penanganan keamanan dalam negeri, itu seharusnya tetap ranah polisi. Tentu kita juga harus mereformasi kepolisian, tapi itu soal lain.

TNI sendiri memang harus fokus pada pertahanan negara dan itu harus didefinisikan dengan benar—pertahanan terhadap ancaman negara. Kalau ancamannya dari luar, itu memang tugas mereka. Tapi, kalau dari dalam negeri, itu sudah ada kepolisian, kejaksaan, dan penegak hukum lainnya.

Jadi, menurut saya, alutsista dan adaptasi teknologi harus jadi prioritas utama. Kalau kita lihat perang seperti di Ukraina, misalnya, itu benar-benar perang teknologi. Tidak lagi dibutuhkan terlalu banyak prajurit. Kita harus mulai berinvestasi ke arah sana.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya

tirto.id - Decode
Reporter: Redaksi
Editor: Redaksi