Menuju konten utama
Kenangan Ramadan

Ramadan di Tomang Era 70an dalam Ingatan Dede Yusuf

Ramadan adalah momentum yang memungkinkan bocah-bocah leluasa bermain hingga larut malam, bahkan dini hari.

Ramadan di Tomang Era 70an dalam Ingatan Dede Yusuf
Dede Yusuf. FOTO/Istimewa

tirto.id - Riuh suara anak-anak bermain galasin terdengar jelas dari arah lapangan. Waktu sudah mendekati tengah malam, tapi bocah-bocah itu tetap saja asyik bermain. Karena sedang Ramadan, maka mereka diperbolehkan bermain hingga larut. Jangan harap hal itu terjadi di bulan-bulan lainnya.

Ramadan memang istimewa. Dede Yusuf Macan Effendi masih ingat keistimewaan Ramadan yang membuatnya leluasa bermain hingga tengah malam, bahkan dini hari, yang ia alami di Tomang, Jakarta Barat, di era 1970an.

Ia masih ingat betul bagaimana waktu antara pukul 12 malam hingga 3 dini hari saat bulan puasa dihabiskan hanya dengan bermain. Kadang kala ia memilih bermain bulutangkis sembari menunggu sahur, tapi di waktu lain memilih permainan seperti galasin, gobak sodor, dan lempar batu susun.

“Setelah sahur, lalu salat subuh, baru kita tidur. Dan baru bangun lagi menjelang sekolah. Zaman saya belum ramai gembreng-gembrengan (berkeliling ramai-ramai membangunkan sahur),” katanya kepada Tirto.

Jika sekarang anak-anak banyak mengisi waktu menunggu sahur dengan menonton televisi dan berkeliling kampung membangunkan sahur, Dede tak merasakan hal itu. Selain karena acara televisi di zamannya sudah berakhir pada pukul 12, saat itu tanggung jawab membangunkan sahur masih dipegang oleh Hansip yang berkeliling kampung dengan memukul kentongan.

Karena belum ada larangan bermain petasan seperti sekarang, Ramadan saat masa kecilnya juga diwarnai dengan main perang petasan banting. Biasanya, anak-anak ramai memainkan perang-perangan ini satu minggu menjelang lebaran.

Cara bermainnya, kenang Dede, mirip permainan modern ala airsoft gun. Dua kelompok akan saring serang dengan cara membanting petasan ke arah kaki musuhnya. Karena permainan inilah, Dede mengaku menghabiskan uang sakunya untuk bolak-balik membeli petasan.

Puasa dan Curi-Curi Minum Limun

Dede mulai melakoni praktik puasa setengah harinya di umur enam tahun. Ia baru mulai berpuasa penuh saat menginjak bangku sekolah menengah pertama. Itu pun, ia akui, seringkali jebol karena tergiur segarnya es limun di depan sekolah.

Sambil tertawa, Dede bercerita, walaupun puasanya sudah jebol ia tetap mengaku masih menjalankan puasa hingga waktu berbuka.

“Jadi limunnya, kan, diikat karet, nanti saya masukkan ke tas dan hanya sedotannya yang dikeluarkan. Di kelas, sambil pura-pura belajar, saya nunduk, nyeruput limun yang ada di tas,” kenangnya.

Pengalaman berpuasa rasanya tak lengkap jika belum membahas tentang kampung halaman dan menu-menu favorit berbuka. Untuk yang satu ini, Dede mengaku punya kenangan yang tak bisa dilupakan hingga sekarang. Setiap perjalanan ke kampung halaman di Bogor, ia selalu menikmatinya dengan rasa gembira. Saat itu, Bogor masih menjadi daerah yang sejuk dan nihil macet.

Sepanjang perjalanan, setiap menemukan bukit, ataupun padang rumput, keluarganya selalu menyempatkan diri untuk berhenti. “Ngabotram” atau lesehan untuk makan bersama. Tidak seperti sekarang yang harus menghabiskan waktu macet berjam-jam untuk pulang ke kampung halaman. Perjalanannya dulu selalu menjadi kenangan menyenangkan dan memberikan suasana berbeda.

Di kampung halaman, menu yang paling ditunggu-tunggu saat berbuka adalah semur daging bikinan sang nenek. Masakan sang nenek selalu menjadi salah satu alasan yang membuatnya betah dan rindu kembali ke Bogor.

“Rasa kuah semurnya seperti masih terasa di lidah sampai sekarang.”

Infografik Dede Yusuf Kenangan Ramadan

Berpuasa dan Ulat dalam Kepompong

Secara khusus, pria yang digadang-gadang bakal maju di Pilgub Jawa Barat 2018 ini juga menyinggung masalah toleransi beragama saat berpuasa. Santernya anjuran penutupan rumah makan dengan tirai atau maraknya sweeping yang dilakukan sebagian ormas dianggapnya sebagai masalah.

Padahal, sedari dulu, sebelum adanya larangan penutupan tirai, setiap bulan puasa, warung-warung yang buka sudah menutup dagangannya dengan setengah tirai. Situasi menjadi runcing karena maraknya sweeping-sweeping mengatasnamakan penghormatan kepada yang berpuasa.

“Padahal, siapa yang bisa memaksa wanita haid, warga nonmuslim, dan pekerja berat untuk melakukan puasa? Lagian, biasanya mereka kalau mau makan juga ngumpet-ngumpet,” ujar Dede.

Tenggang rasa, kata Dede, dulu tak pernah jadi masalah. Dede menganggap, masalah muncul akibat ada yang berteriak masalah kebhinnekaan dan yang lainnya melakukan sweeping sembarangan. Sehingga tingkat tenggang rasa di dalam masyarakat seperti terpisahkan ke dalam dua golongan. Situasi terasa semakin sesak oleh beragam hujatan dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial.

Melihat hal tersebut, Dede meminta masyarakat untuk dapat menahan hawa nafsu agar tidak ikut masuk dalam pusara perdebatan. Menahan godaan hawa nafsu di bulan puasa dianalogikannya sebagai ulat yang membungkus diri sebagai kepompong. Pada saat Idul Fitri akan menjelma kupu-kupu yang indah.

“Jika sebelum puasa kita penuh dengki, semoga nanti setelah Idul Fitri sifat-sifat buruk kita hilang. Jangan seperti ular, berganti kulit, istirahat dan kembali lagi jadi ular.”

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS