tirto.id - Sampai saat ini, Suryadi Jaya Purnama masih heran dengan ambisi pemerintah membangun ibu kota negara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dalam benak anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) itu berputar ragam keresahan, sebab di tengah pandemi yang tak berujung, jutaan warga masih kesusahan, hingga utang negara yang sudah kadung menggunung, memindahkan ibu kota negara jelas bukan pilihan tepat.
“Pemerataan pembangunan bukan dengan memindahkan Istana [Negara], tapi dengan membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di semua provinsi, bukan hanya di Kalimantan Timur,” kata anggota DPR RI fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu kepada saya, (17/2).
“Tidak empati terhadap rakyat yang sedang susah hadapi pandemi, tapi bangun Istana [Negara] baru.”
Semua itu belum termasuk melihat bagaimana proses UU itu dibuat. Selama menjadi anggota Pansus RUU IKN—dengan total kerja 42 hari lalu, Suryadi banyak menemukan kejanggalan sepanjang pembahasan. Salah satunya soal jumlah anggota Pansus yang awalnya terlalu banyak. Jumlahnya mencapai 56 orang, padahal di dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, tertulis bahwa maksimal anggota Pansus adalah 30 orang.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyadari hal itu saat meresmikan Pansus RUU IKN pada 7 Desember 2021. Awalnya, DPR malah mengubah aturan itu tiga hari setelahnya dan menganggap selesai perkara. Belakangan, jumlah anggota dipangkas kembali menjadi 30 orang setelah ditegur oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Menurut Suryadi, semua terjadi karena sejak awal pembahasan RUU IKN dilakukan secara terburu-buru. “Secara formil masih banyak catatan. Waktu [pembuatannya] sangat singkat,” kata dia.
Anggota Pansus RUU IKN lainnya dari fraksi yang sama, Mardani Ali Sera, juga sepakat dengan Suryadi. Pembuatan RUU IKN dari awal tidak dipersiapkan dengan matang. “Terkesan dipaksakan,” kepada saya, 16 Februari lalu.
Santai di Awal, Kebut di Akhir, Minim Transparansi
Kendati baru diumumkan secara resmi oleh Jokowi saat pidato kenegaraan pada Agustus 2019—dua bulan sebelum dirinya dilantik untuk periode kedua, namun pembahasannya sudah jauh sebelum itu. Empat bulan sebelumnya, Mei 2019, Jokowi sudah membahas soal pendanaan jika memang IKN akan dibangun di tempat lain.
Saat itulah muncul pernyataan bahwa dirinya tak mau dana pembangunan dibebankan ke APBN—yang belakangan bertolak belakang. “Artinya, anggaran kita siap menjalankan keputusan ini, tetapi saya sampaikan ke Menkeu tidak membebankan APBN, cari skema agar APBN tidak terbebani,” kata dia saat itu.
Satu bulan setelah Jokowi mengumumkan lewat pidato kenegaraan, Pemerintah memetakan skema pembiayaan dengan tiga sumber pendanaan: 19,2 persen (89,4 triliun rupiah) dari APBN, 54,4 persen (253,4 triliun rupiah) dari Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan 26,4 persen (123,2 triliun rupiah) didanai swasta. Sepintas, skema ini masih selaras dengan keinginan Jokowi.
Namun setelah pidato itu, pembahasan soal IKN cenderung melambat. Salah satunya karena Pemerintah mengubah kebijakan untuk fokus mengatasi pandemi. Dana pembangunan IKN akhirnya dipangkas sebanyak 35 persen, atau setara dengan Rp640 miliar.
Penelusuran tim redaksi Tirto, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri membikin konsultasi publik pertama soal RUU IKN pada 17 Januari 2020 di Jakarta—dua bulan sebelum Pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 pertama. Itu artinya, naskah masih digodok oleh Pemerintah.
Lebih dari satu setengah tahun setelahnya, Jokowi baru mengirim Surat Presiden (Surpres) berisi draf rancangan RUU IKN ke DPR RI, tepatnya tanggal 29 September 2021. Namun, DPR sendiri baru membentuk Pansus RUU IKN pada 7 Desember, yang fungsinya untuk membahas RUU itu. Itu artinya, belum ada pembahasan apa pun dalam rentang waktu kurang lebih empat bulan tersebut.
Pansus RUU IKN bekerja hanya dalam waktu 42 hari, karena UU itu rampung dibahas pada 18 Januari 2022 dini hari dan disahkan lewat rapat paripurna DPR RI hanya beberapa jam setelahnya. Selama Pansus RUU IKN bekerja, hanya ada dua kali konsultasi publik ke kampus-kampus di Samarinda, Medan, dan Makassar, pada 11 dan 12 Januari 2022—enam hari sebelum disahkan.
Dua konsultasi publik itu pun, kata Suryadi, dilakukan oleh pihak yang tidak masuk ke Panja RUU IKN. Artinya, mereka yang meminta masukan dari publik dan mereka yang membahas RUU IKN adalah orang yang berbeda. Dan hasil konsultasi itu, klaim Suryadi, tak dibahas di dalam rapat. “Tidak sempat, waktunya jalan terus,” kata dia.
Padahal, kata Mardani, seharusnya hasil konsultasi publik menjadi bahan pertimbangan dan perbaikan saat pembahasan RUU IKN. Namun, waktunya terlalu sempit. “Dengan waktu enam hari kemudian disahkan, susah diharapkan,” kata Mardani menambahkan.
Hari terakhir rapat Panja RUU IKN, pada 17 Januari 2022, berlangsung selama hampir 17 jam. Dimulai sejak pukul 11.00 WIB, dan diakhiri pada 18 Januari 2022 pukul 03.16 WIB. Panja RUU IKN menyepakati beberapa hal: empat klaster dalam RUU, IKN dijalankan oleh Otorita IKN, hingga Kepala Otorita berada setingkat Menteri, kendati secara administratif IKN berada setingkat provinsi.
Di dalam rapat paripurna pengesahan RUU IKN, 18 Januari pagi, Ketua DPR RI Puan Maharani kembali melakukan apa yang dilakukan mantan wakilnya, Azis Syamsuddin, saat mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja: mengabaikan suara protes dari anggota DPR RI yang kritis soal RUU IKN.
“Bahkan dokumen RUU tidak dibagikan saat penetapan di paripurna,” kata Suryadi kepada saya, sebagaimana hal yang serupa terjadi juga saat pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Naskah Akademik yang Amburadul
Satu hari setelah UU IKN disahkan oleh DPR RI, ramai pembahasan di media sosial soal beredarnya Naskah Akademik (NA) RUU IKN. NA adalah sebuah hasil penelitian yang menjadi landasan utama mengapa sebuah UU harus diterbitkan.
Setidaknya ada dua versi NA RUU IKN yang berbeda di media sosial: versi Maret 2020 (yang disebar oleh eks politikus Partai Solidaritas Indonesia) dan versi Juni 2021 (yang disebarkan oleh seorang warganet di Twitter). Keduanya, sama-sama dibikin oleh Bappenas.
Anehnya, pada 15 Januari 2020, Bappenas melakukan konsultasi publik untuk NA dan RUU IKN secara bersamaan. Itu artinya, di saat NA belum selesai, Bappenas sudah mulai membahas RUU IKN. Padahal, idealnya sebuah RUU dibuat berlandaskan NA yang sudah selesai dan dikonsultasikan ke publik terlebih dahulu.
Jika dibaca lebih teliti, dua versi NA RUU IKN tersebut hanya dibedakan dari jumlah halaman: versi Maret 2020 sebanyak 159 dan versi Juni 2021 sebanyak 175 halaman.
Sementara sisanya tak ada perbedaan signifikan: sama-sama menggunakan 17 daftar pustaka—yang beberapa di antaranya merupakan terbitan tahun 1980-1990an, sama-sama hanya menghabiskan lima halaman untuk landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang isinya terlalu umum, hingga sama-sama banyak menggunakan frasa yang cenderung ke arah opini ketimbang bukti ilmiah. Beberapa contoh di antaranya:
Landasan sosiologis: “Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.”
Landasan sosiologis: “Uraian pada BAB II telah menguraikan dengan rinci bagaimana penerapan teori-teori, asas/prinsip, dan gagasan- gagasan mengenai tata kelola pemerintahan akan menyelesaikan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan yang bersih dari korupsi, lingkungan hidup yang lebih baik, ketahanan terhadap bencana yang mumpuni, dan pencegahan kejahatan yang lebih mantap.”
Landasan sosiologis: “Dari sisi negara, tentu tata kelola Ibu kota Negara yang akan dituangkan di dalam RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi kebutuhan yang mendesak agar seluruh administrasi pemerintahan IKN dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan efisien.”
Para peneliti NA RUU IKN dari Bappenas tidak mencoba menjabarkan apa saja bukti-bukti “fakta empiris” yang dimaksud, menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “yang lebih mantap”, serta apa saja kajian “kebutuhan yang mendesak” yang diarahkan.
Profesor hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengkritik keras bahwa NA UU IKN tidak memberikan data yang proporsional. Hampir sebagian besar isi dari NA tersebut hanya sekadar menjustifikasi keinginan Pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara.
“Menurut saya, bagi sebuah kajian ilmiah harus tunduk pada metode-metode ilmiah, yaitu memberikan data baik kelebihan maupun kekurangan. Keduanya disandingkan,” kata Susi saat saya hubungi, (17/2). “Kajian-kajian ilmiah harus menyajikan data proposional. Apa gunanya digunakan metode penelitian di dalamnya, kalau hanya untuk formalitas saja?”
Salah satu contohnya, kata Susi, ketika isi NA UU IKN coba memberi contoh negara-negara yang berhasil memindahkan ibu kota negara seperti Brazil, Amerika Serikat, Australia, hingga Turki. Menurut dia, para peneliti NA UU IKN tak bisa hanya memaparkan yang berhasil saja.
“Bagaimana dengan negara-negara yang gagal? Misalkan Myanmar. Kenapa itu tidak dijadikan contoh? Apakah karena mereka tidak bisa studi banding, susah masuk Myanmar? Itu pun tidak bisa jadi alasan,” kata dia.
“Jika kita menggunakan metode penelitian yuridis-empiris, maka dia harus bisa melakukan analisis-analisis yang memadai, proporsional terhadap data-data empiris yang dia dapat. Semisal, di sana itu banyak orang Dayak, masyarakat adat lokal. Jika ada kepindahan ibu kota negara, bagaimana bisa meyakinkan mereka dan memastikan mereka tidak mengalami kerugian?”
Hal senada juga dikatakan oleh sosiolog Nanyang Technological University (NTU) Singapura asal Indonesia, Sulfikar Amir. Dalam sebuah diskusi di YouTube, NA RUU IKN dikerjakan sangat buruk dan tidak kredibel. Kata dia, sebuah NA yang akan jadi landasan pembuatan kebijakan dengan biaya besar, sumber daya yang banyak, dan proyek jangka panjang seperti pemindahan IKN, seharusnya ditulis dengan lebih serius dan kompeten.
“Naskah akademik harusnya sama seperti sebuah disertasi S3, PhD. Di mana kajian literaturnya kaya, metodologinya valid, alasan-alasan dikemukan itu masuk akal, berdasarkan pertimbangan yang rasional,” kata dia.
Ia mempermasalahkan bagaimana tim peneliti NA RUU IKN dari Bappenas dengan mudah menggunakan “landasan sosiologis” yang hanya digunakan untuk menjustifikasi alasan yang dangkal.
“Landasan sosiologis hanya 4-5 paragraf pendek yang kemudian penjabaran sangat singkat, umum, dan dangkal,” kata dia. “Sementara ini landasan suatu kebijakan yang akan diambil pemerintah, yang akan menggunakan duit APBN dari pajak masyarakat.”
Menurut Sulfikar, sebuah NA tak bisa menggunakan referensi daftar pustaka yang sudah terlampau jauh hingga 30-40 tahun, mengingat banyak yang terbit di tahun 1980-1990an. Kata dia, teori-teori lawas tak mungkin digunakan sebagai rujukan utama bagi kebijakan seperti pemindahan IKN yang orientasinya untuk masa depan.
“Sudah outdated,” katanya. “Artinya apa? Yang nulis naskah akademik tidak punya spektrum pengetahuan yang benar-benar luas mengenai membangun dan mengelola sebuah ruang urban. Padahal Bappenas dulu dikenal sebagai lembaga negara yang penuh dengan orang-orang pintar.“
Ia menjelaskan bahwa seharusnya NA menghasilkan ragam skenario untuk merespons pemindahan IKN, sehingga tidak menjadikan penelitian sebagai justifikasi kebijakan politik.
“Semisal, ada opsi-opsi seperti, pindah di sini tapi begini, pindah di sana tapi begitu, atau tidak pindah tapi harus begini. Dengan begitu ada pilihan untuk Pemerintah mengambil keputusan politiknya. Sekarang kan tidak, tiba-tiba loncat langsung pindah,” katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi