Menuju konten utama
Periksa Data

Kritik Akademik dan Analisis Sentimen Pemindahan Ibukota

Kami mengumpulkan beragam analisis dari para akademisi terkait Pemindahan Ibu Kota dan menganalisis sentimen di media sosial terhadap wacana ini.

Kritik Akademik dan Analisis Sentimen Pemindahan Ibukota
Mobil yang membawa Presiden Joko Widodo melewati jalan berlumpur saat meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara menjadi UU dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Dengan demikian, resmi sudah Ibu Kota Negara yang bernama Nusantara dengan luas 256.142 hektare (daratan) dan 68.189 hektare (perairan laut), akan berlokasi di Kalimantan Timur.

Otorita IKN, sebagai bentuk pemerintahan IKN Nusantara, akan mulai beroperasi pada akhir 2022. Sementara pemindahan ibu kota direncanakan mulai pada semester I 2024. Nantinya, pelaksanaan IKN Nusantara akan dipimpin oleh Kepala Otorita setingkat Menteri meski secara wilayah administratif, IKN setingkat provinsi.

“Jadi bukan lagi gubernur. Itu merujuk pada Pasal 18B (UUD 1945), bahwa kekhususan itu bisa bentuk otorita, bisa gubernur, bisa bupati kalau setingkat itu. Jadi clear, kepalanya adalah kepala otorita, bukan lagi gubernur,” ujar Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa, dalam rapat panitia kerja (Panja) Pansus RUU IKN, pemerintah, dan DPD pada 17 Januari lalu.

Sebagai catatan, proses pengesahan RUU IKN ini hanya butuh waktu kurang dari 1 bulan (dihitung hari kerja dan dikurangi masa reses) sejak Panitia Khusus RUU IKN terbentuk pada 7 Desember 2021. Kemudian, rapat Panja RUU IKN sendiri hanya berlangsung selama 16 jam pada Senin, 17 Januari lalu.

Sebetulnya wacana terkait IKN tidak lahir dalam semalam. Menurut laporan bersama Walhi, Forest Watch Indonesia (FWI), JATAM, Pokja 30, dan Trend Asia berjudul “Ibu Kota Baru Buat Siapa” pada 2019, Presiden Jokowi telah mengumumkan secara resmi rencana pemindahan ibu kota pada 26 Agustus 2019. Ibu Kota Baru akan dibangun sebagai mega proyek di di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Jika ditarik lebih awal lagi, ide ini telah dilontarkan pada 29 April 2019, ketika kisruh sengketa pemilu presiden berlangsung. Banyak respons dan komentar atas ide Jokowi ini. Mulai dari anggapan bahwa ini hanya upaya Jokowi untuk menurunkan tensi pemilu yang kala itu sedang memanas. Ada juga yang menganggap ini adalah bentuk kepercayaan diri Jokowi akan memenangkan pemilu, hingga menyebut rencana tersebut hanya pengalihan isu belaka.

Namun, alih-alih berfokus pada sejarah wacana politik IKN, laporan Riset Tirto kali ini berupaya mengumpulkan berbagai analisis dampak pemindahan ibu kota, terutama dampak lingkungan, dampak terhadap masyarakat di area Ring 1, Ring 2, dan Ring 3 Ibu Kota Baru, serta menganalisis sentimen warga media sosial ketika Naskah Akademik yang menjadi landasan kebijakan pemindahan IKN ramai dibicarakan.

Sebagai catatan, tiga ring yang dimaksud itu adalah: kawasan Inti Pusat Pemerintahan dengan luas kurang lebih 5.600 hektare; kawasan Ibu Kota Negara (IKN) dengan luas kurang lebih 56.000 hektare; dan kawasan perluasan Ibu Kota Negara (IKN) Baru dengan luas kurang lebih 256.143 hektare.

Merujuk pada laporan Walhi dkk (2019), terdapat empat kecamatan yang termasuk dalam kawasan ini yakni Kecamatan Sepaku yang berada dalam lingkup administratif Kabupaten PPU, lalu Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa, dan Kecamatan Loa Kulu yang berada dalam lingkup administratif Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sementara itu, masing-masing daerah bukanlah ruang kosong. Menurut data BPS Kabupaten PPU dan Kutai Kartanegara pada 2021, Sepaku misalnya memiliki 36,3 ribu penduduk, Samboja memiliki 66,6 ribu penduduk, Muara Jawa memiliki 41,5 ribu penduduk, dan Loa Kulu memiliki 51,6 ribu penduduk.

Selain masyarakat, kawasan inti pemerintahan, kawasan IKN, hingga kawasan perluasan IKN juga dipenuhi izin-izin konsesi seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, PLTU dan konsesi bisnis lainnya, seperti dicatat Walhi dkk (2019). Perusahaan-perusahaan ini diduga akan diuntungkan dan menjadi target transaksi negosiasi pemerintah termasuk potensi pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi.

Sementara itu, beragam alasan dikemukakan untuk memindahkan ibu kota, seperti tidak memadainya kota ini sebagai kantor pusat kepengurusan negara, udara bersih, air bersih, transportasi, kepadatan penduduk, dan risiko bencana yang lebih besar dari Kaltim. Alasan lainnya adalah pentingnya memiliki ibu kota yang berada di tengah wilayah kepulauan, hingga pengaruhnya untuk meratakan laju pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan penduduk keluar Jawa ke Kalimantan.

Sejak wacana pemindahan ibu kota disampaikan ke publik, Riset Tirto kemudian mengumpulkan beragam analisis dari akademisi dan studi terkait. Kami menyadari bahwa ada beragam analisis dan studi yang mempelajari ibu kota baru, tapi kami berusaha mengkurasi studi yang memaparkan sisi positif dan negatif dari alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah, dan tidak hanya mengulang kembali apa yang telah disampaikan oleh pemerintah.

Selain itu, kami juga menyadari bahwa analisis dari para akademisi yang kami paparkan di sini tidak semuanya berbentuk studi/paper, tapi juga berbentuk opini ilmiah dan penjabaran melalui video. Oleh karena itu, kami berusaha selektif terhadap analisis dari siapa yang diambil dan juga afiliasi mereka.

Rencana Kurang Matang

Pada 2019, tak lama setelah wacana pemindahan ibu kota ramai dibicarakan, Rendy A. Diningrat menuliskan analisisnya terkait tata kota dan menyebut rencana pemerintah kurang matang karena logika di balik dua alasan yang dipakai untuk memindahkan ibu kota ke luar Jakarta–pemerataan dan daya dukung Jakarta–masih lemah.

Rendy menilai, pemerataan pembangunan dapat diwujudkan dengan merekayasa struktur ruang. Ini dilakukan dengan mendesain sistem kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebar ke seluruh wilayah. Pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak cukup, karena pemerintah butuh mendistribusikan lebih banyak lagi pusat pertumbuhan baru dan peluang ekonomi di luar Jawa, khususnya wilayah timur Indonesia.

Sebetulnya, itikad pemerataan pembangunan juga sudah tertuang dalam RJPMN 2015-2019. Beberapa program seperti pembangunan lima Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan mengoptimalkan 24 kota otonom di luar Jawa. Selain itu terdapat pula 10 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di lokasi perbatasan, serta 10 “Bali Baru” sebagai prioritas pengembangan pariwisata nasional. Rendy juga menulis, kebijakan otonomi daerah dan Undang-Undang (UU) Desa juga bisa disebut sebagai upaya mewujudkan pemeratan pembangunan.

Alasan selanjutnya pemindahan ibu kota adalah karena situasi Jakarta yang rawan bencana, kepadatan penduduk, masalah air bersih, dan masalah transportasi. Situasi ini membuat pemerintah ingin memindahkan ibu kota Tapi perlu diketahui bahwa kegiatan pemerintahan hanya membebani Jakarta kurang dari 10%. Lagi-lagi, seperti ditulis Rendy, alasan ini kurang kuat.

Kemudian, pemindahan Ibu Kota dinilai penting agar letaknya di tengah. Hal ini disanggah peneliti LIPI (sekarang BRIN), Dwiyanti Kusumaningrum, dalam tulisannya. Menurut paparannya, penentuan lokasi ibu kota bukan hanya terkait posisi lokasi di dalam wilayah negara, tapi juga menimbang kemampuan lokasi tersebut untuk berkembang secara organik menjadi pusat, baik dari segi aksesibilitas fisik maupun budaya.

Ia juga menjelaskan bahwa selama ini kota diproduksi dengan logika ideal manusia yang utopis: desain kota menentukan di mana dan bagaimana kota tumbuh serta menjalankan fungsinya sesuai rencana. Padahal, kota-kota besar di seluruh dunia tidak tumbuh sebagaimana imajinasi dalam ruang ideal, karena pada hakikatnya kota tumbuh dalam ruang organik dinamis, tempat simpul akses dan sumber daya berada.

Dwiyanti juga memberikan beberapa contoh ibu kota yang dipindahkan ke titik tengah, tapi tak lepas dari berbagai masalah, seperti Ankara dan Brasil. Ankara memiliki masalah dalam penyediaan perumahan dan infrastruktur dan kini mengalami perkembangan kota yang tak terkendali. Meski telah dibangun atas desain kota ideal oleh perencana kota Jerman Carl Christoph Lörcher, kini Ankara menghadapi masalah munculnya permukiman liar di sekitar kota.

Begitu pula yang terjadi di Brasilia yang tumbuh tidak seperti yang direncanakan. Bangunan-bangunan terlantar, permukiman liar, dan minimnya lapangan pekerjaan di Brasilia menjadi cermin bahwa gagasan membangun ibu kota baru di wilayah baru tidaklah semudah yang dibayangkan.

Padahal, pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro juga dilakukan untuk menghindari pertarungan antara dua kota pesisir besar yaitu Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Pemerintah Brasil berharap bahwa dengan berada di tengah, mereka dapat terlepas dari berbagai tekanan politik dan lobi yang dilakukan oleh pelaku bisnis di Rio de Janeiro.

Naskah Akademik Yang Kurang Layak

Kemudian, loncat ke tahun 2020, Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara dipublikasikan di situs Bappeda Provinsi Kaltim. Naskah 159 halaman ini berisi kajian-kajian yang mendasari pemindahan ibukota. Tak lama, muncul NA versi Juni 2021 yang dipublikasikan di situs DPR dan merupakan versi terbaru yang memuat 175 halaman.

Masyarakat mengetahui NA ini setelah eks politikus PSI, Dedek Prayudi, mengunggah naskah itu ke media sosial Twitter. NA ini kemudian menjadi bulan-bulanan warga Twitter karena dinilai kurang layak menjadi sebuah landasan akademik pemindahan ibu kota.

Dari beragamnya rundungan warga Twitter terhadap NA ini, kami mempelajari lebih dalam analisis yang dilakukan Prof. Sulfikar Amir, Ph. D. melalui akun Twitter pribadinya. Tirto menghubungi beliau secara langsung dan meminta izin untuk mengutip cuitan ini. Kemudian, beliau meminta kami untuk memahami penjelasan lengkap beliau terkait NA yang diunggah melalui sebuah video YouTube.

Perlu diketahui bahwa Prof. Sulfikar Amir, Ph. D., merupakan seorang Associate Professor of Science, Technology, and Society di Nanyang Technology University, Singapura. Bidang kepakaran beliau adalah Kajian Sains, Teknologi, dan Masyarakat. Kemudian, selama tujuh tahun belakangan, riset beliau terfokus pada dua topik besar yakni Bencana dan Ketahanan Kota.

Sebelumnya, Sulfikar juga menjelaskan melalui obrolan di akun YouTube Refly Harun bahwa ketika membaca naskah akademik ini dia bisa mendapat gambaran yang ditulis secara objektif, memiliki landasan akademik solid, sehingga ada kepastian bahwa pemindahan ibu kota itu masuk akal. Namun yang terjadi, dia merasa sangat bingung, karena sebuah karya yang diklaim sebagai naskah akademik, kualitasnya seperti selevel dengan anak S1 tingkat satu atau dua.

“Mestinya sebuah naskah akademik, yang jadi alasan sebuah kebijakan dengan biaya besar, yang membutuhkan sumber daya luar biasa, ditulis jauh lebih serius. Naskah akademik harusnya sama seperti sebuah disertasi S3, PhD. Di mana kajian literaturnya kaya, metodologinya valid, alasan-alasan dikemukan itu masuk akal, berdasarkan pertimbangan yang rasional," ujarnya.

Dia menyimpulkan, kajian teoretis dalam NA sangat dangkal, kurang relevan, tidak kritis, dan tidak menyentuh aspek-aspek yang fundamental yang mestinya dimunculkan terkait perkembangan kota sebagai refleksi dari dinamika masyarakat, teknologi, interaksi ke lingkungannya.

Analisis Sentimen di Twitter dan YouTube

Melihat masifnya rundungan terhadap naskah akademik di Twitter, tim Tirto berusaha merekam dan menganalisis sentimen masyarakat yang tercermin lewat cuitan dengan kata kunci “Ibu Kota Negara”. Kami mengumpulkan cuitan dengan kata kunci itu selama 7 hari (20-26 Januari 2022) menggunakan Twitter API. Pengumpulan data dilakukan pada 26 Januari 2022, sementara analisis data dilakukan melalui R dan Spreadsheet.

Selama waktu tersebut, kami berhasil mengumpulkan sebanyak 34.592 cuitan dengan kata kunci “Ibu Kota Negara” dalam Bahasa Indonesia. Kami juga memasukkan replies dan retweet yang masuk dalam kata kunci ini. Selanjutnya, kami melakukan proses pembersihan data (membuang URL, nomor, beberapa tanda baca/tanda hubung, dan kata hubung) melalui bahasa pemrograman R.

Dapat diamati melalui grafik, Kata “baru”, “kota”, dan “ibu” merupakan kata yang paling banyak disebut. Selain itu, kata “kita”, “rakyat”, dan “negara” juga diamati kerap muncul. Tentu saja kata-kata tersebut sangat sentral dalam tema ini.

Perlu diketahui, selain mengumpulkan cuitan dari warga Twitter, cuitan dari berita juga masuk dalam analisis ini. Namun kami tak melakukan analisis spesifik pada media berita saja atau cuitan warga saja.

Kami juga melakukan analisis sentimen menggunakan kamus analisis (dictionary) yang disediakan oleh Wahid & Azhari (2016) dari Liu et al., (2005). Namun, proses analisis sentimen yang dilakukan secara otomatis seperti ini tentunya luput menilai konteks dari sebuah kalimat, tidak menilai sarkasme dalam kalimat, dan luput menilai kata-kata tidak baku.

Selain itu, riset ini pun merupakan riset populer, sehingga sampel data yang diambil melalui Twitter API v2 cukup terbatas, yakni hanya beberapa hari terakhir saja. Studi lanjutan dengan manusia sebagai manual coder (semi-automatic analysis) dan dengan dataset dengan jangka waktu lebih besar, misal sejak wacana pemindahan ibu kota disampaikan dari 2019, sangat dianjurkan. Analisis tersebut dapat menggunakan Twitter API for Academic Research.

Hasil analisis sentimen terhadap 34.592 cuitan tersebut dibagi menjadi Positif (apabila kata positif dalam sebuah cuitan lebih banyak dibanding kata negatif), Negatif (kata negatif dalam cuitan lebih banyak dibanding kata positif), Netral (jumlah kata negatif dan kata positif dalam cuitan seimbang), dan Tidak Dinilai (tidak ada satu pun kata dalam kalimat yang termasuk dalam kamus sentimen).

Dari hasil analisis ini, ditemukan sebanyak 40,1 persen cuitan memiliki sentimen negatif, 21,9 persen memiliki sentimen positif, lalu 27,0 persen cuitan yang tidak dinilai, dan 11,1 persen sentimen bersifat netral.

Perlu diketahui bahwa cuitan di Twitter bentuknya dapat bermacam-macam; video, gambar, cuitan bot, maupun cuitan yang hanya menyebut nama pejabat/partai. Sehingga kadang mesin tidak dapat memberi bobot sentimen terhadap jenis-jenis cuitan ini.

Kami paham bahwa menganalisis cuitan “Ibu Kota Baru” dalam kurun waktu ini berpotensi menghasilkan banyak sentimen negatif, karena NA pemindahan ibu kota tengah dikritik habis-habisan, terlepas dari cuitan para buzzer politik yang mempromosikan kata kunci tersebut.

Sebagai pembanding, kami juga melakukan analisis sentimen di YouTube terhadap komentar-komentar yang terdapat di video reportase Mata Najwa “Menelusuri Ibu Kota Baru” pada Desember 2021. Ada sekitar 7 video dengan total komentar 5.655 yang kami analisis, semuanya merupakan bagian dari reportase Menelusuri Ibu Kota Baru.

Pemilihan video reportase Mata Najwa ini dilakukan karena kami ingin melihat bagaimana perbedaan sentimen antara warga Twitter dan YouTube. Secara lebih spesifik, kami ingin melihat bagaimana komentar masyarakat terhadap reportase yang dilakukan langsung ke lokasi ibu kota baru dan bersentuhan langsung dengan warga asli daerah IKN, yakni Penajam Paser Utara.

Komentar YouTube diambil melalui YouTube Data API, sementara analisis data dilakukan melalui Bahasa pemrograman R dan Spreadsheet.

Dari hasil analisis sentimen terhadap komentar-komentar di tujuh bagian video reportase Mata Najwa, kami menemukan 30,0 persen sentimen negatif, 27,8 persen sentimen positif, lalu 12,1 persen sentimen netral. Kemudian sisa 30,1 persen sentimen tidak dinilai.

Kami berargumen bahwa YouTube memiliki lingkungan yang berbeda dengan Twitter, karenanya dapat mempengaruhi analisis terhadap sentimen. Kemudian, waktu reportase Mata Najwa pada Desember 2021 dan cuitan “Ibu Kota Baru”, terutama terkait Naskah Akademik, pada Januari 2022, juga bisa mempengaruhi analisis sentimen. Selain itu, banyaknya kata tak baku yang tidak dinilai oleh kamus sentimen juga akan mempengaruhi analisis. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat dianjurkan.

Kemudian, sentimen negatif yang dominan ditemukan di Twitter maupun YouTube menandakan bahwa sebagian besar masyarakat tidak setuju terhadap pemindahan ibu kota. Dominannya sentimen negatif yang ditemukan juga sejalan dengan survei Kedai Kopi pada 14-21 Agustus 2019 di 34 Provinsi di Indonesia. Hasil survei menunjukkan sebanyak 39,8 persen responden tidak setuju dengan usulan pemindahan ibu kota, yang setuju sebesar 35,6 persen, dan 24,6 persen memilih untuk tidak beropini.

Lebih jauh lagi, sebanyak 95,7 persen responden dari DKI Jakarta mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap mega proyek ibu kota.

Hanya saja, pemerintah seperti mengabaikan partisipasi publik dalam keputusan penting pemindahan ibu kota negara. Padahal, seperti disebut Walhi dkk (2019), ini adalah pelanggaran hak asasi warga negara dan jaminan konstitusional atas partisipasi tersebut. Korban sesungguhnya mungkin tak dimintai pendapat: warga desa dan masyarakat adat, yang hidup di sela-sela konsesi tambang dan hutan yang telah dipotong-potong dan dibagi-bagi pada korporasi. Mereka sulit terjangkau lembaga polling dan tidak viral di media sosial, sehingga seringkali dianggap tak ada. Mereka adalah

Hal itu juga ditemukan dalam reportase Mata Najwa, saat Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Sepaku, Sibukdin berkata dengan nada khawatir.

“Kekhawatiran kami tidak mampu bersaing dengan orang-orang yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera”.

=======

Catatan:

Metode, tahapan, serta data mentah untuk analisis cuitan Twitter dan Komentar YouTube yang sudah Tirto kumpulkan, bisa diakses di sini.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono