Menuju konten utama

Tumpuan Harapan Pemberantasan Korupsi: Anak Muda & Digitalisasi

Pahala Nainggolan sangat percaya bahwa digitalisasi bisa menekan celah korupsi dan memperbaiki pelayanan publik.

Tumpuan Harapan Pemberantasan Korupsi: Anak Muda & Digitalisasi
Header wansus Pahala Nainggolan. tirto.id/Tino

tirto.id - Mantan Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, mengatakan bahwa budaya saling melapor antarinsan KPK harus dikembalikan lagi. Dia menyebut bahwa budaya tersebut bukanlah untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling menjaga satu sama lain agar marwah KPK terjaga.

Menurutnya, hal tersebut akan menjadi penjaga KPK sebagai kapal yang membawa para pegawainya untuk melakukan pemberantasan korupsi.

"Kalau gua bilang, ini kapal harus dijaga. Kalau temen lu lompat-lompat di kapal, lu tegor. Eh lu jangan loncat-loncat, kapal tenggelem entar gua juga tenggelem," kata Pahala kepada Tirto.

Baginya, KPK pernah berhasil menanamkan nilai-nilai etis yang kuat pada diri para pegawainya. Integritas yang kuat dan etika itulah yang mestinya dibangun lagi oleh pimpinan KPK yang baru.

Setelah sekitar 10 tahun mengabdi di KPK, Pahala akhirnya pensiun baru-baru ini. Kepada Tirto, Pahala berbagi pengalamannya selama bekerja di KPK. Termasuk, pandangannya soal jatuhnya marwah KPK belakangan ini.

Berikut obrolan Tirto dengan Pahala di siniar For Your Politic.

Pahala Nainggolan

Pahala Nainggolan. tirto.id/Andhika

Anda sudah bekerja di KPK kira-kira 10 tahun sampai pensiun. Setelah ini, apa rencana Anda?

Gak ada, gak ada rencana apa-apa. Gua cari wangsit aja melongo-melongo gitu. Ngeliatin langit, kali aja ketulis suruh jadi apa gitu. Karena, di KPK capek juga. Karier 20 tahunan di pekerjaan lain itu kayaknya kalah sama capeknya di KPK.

Tapi, Anda masih mau tetap berkecimpung di bidang pemberantasan korupsi?

Enggak, runyam soalnya. Gua merasa untung juga pensiun. Kalau melihat yang sekarang-sekarang itu, aduh, tambah runyam.

Pengennya sih ngajar, hobilah tuh ngajar.

Selama bekerja di KPK cukup lama, adakah perubahan yang Anda rasakan pada diri Anda?

Pastilah. Karena, di KPK itu etiknya sangat keras. Di zaman gua masuk, masih ada Pengawas Internal. Urusan makan dibayarin orang itu jadi problem. Jadi, kami sangat menjaga perilaku. Dalam hati gua bahkan bilang, “Jangan sampai karier gua tercela gara-gara ditraktir orang. Mending gua tekor bayarin orang.”

Itu yang sekarang hilang di KPK, yaitu budaya saling melaporkan. For good ya, bukan melaporkan fitnah.

Gua gak pernah ketemu seperti itu di tempat lain. Gua udah pindah-pindah pekerjaan, mungkin 13-14 lembaga. Begitu ke KPK, gua bilang gila ini lembaga. Ada orang-orang yang militan dan cinta mati di KPK.

Secara sosial, kami memang jadi agak tertutup karena takut melewati garis itu. Takut dan malu bener.

Kalau gua bilang, ini kapal harus dijaga. Kalau temen lu lompat-lompat di kapal, lu tegor, “Eh lu jangan loncat-loncat, kalau kapal tenggelam entar gua juga tenggelam.” Belakangan, mungkin gak seperti itu lagi.

Saat di KPK, pernahkah Anda ditawari gratifikasi?

Enggak. Menurut gua nih, KPK tuh sukses loh mentransmisikan message bahwa orang KPK tidak boleh terima gratifikasi atau suap. Hasilnya, orang-orang pikir orang-orang KPK itu semua antigratifikasi.

Akibatnya, gak ada orang nawarin gratifikasi. Boro-boro nawarin, orang mau ngasih goodie bag aja tanya dulu, “Pak, ini bukan gratifikasi, kan?” Karena mereka tahu gua orang KPK, jadi gua gak pernah ditawarin.

Banyak sekali kasus gratifikasi di Indonesia. Kemarin, yang baru terkait DJP. Sebelumnya, ada kasus SYL. Seberapa besar sebenarnya dampak gratifikasi terhadap kepercayaan masyarakat ke instansi pemerintahan?

Kalau ngomong gratifikasi, sebenernya itu suap yang masih dikasih jendela pengampunan dalam bentuk ngelapor 30 hari. Itu aja. Jadi, kalau tidak ngelapor 30 hari, itu jadi suap. Kalau disuap, pemberi dan penerima dipidana.

Tapi, gratifikasi itu seharusnya ditolak loh. Bukan dilaporkan 30 hari, tapi ditolak.

Pada kesempatan pertama, seseorang harus tahu. Kalau gak bisa dihindarkan, misalnya, gua ke daerah di tas gua diselipin sesuatu. Itu gua gak bisa tolak. Ini gua harus lapor.

Kalau gua boleh bilang, itu praktik yang banyak banget di Indonesia. Gua gak ngerti ini budaya apa gak sih.

Kemarin, banyak yang penasaran soal pemberian mobil listrik dari Erdogan ke Pak Prabowo. Itu tidak termasuk gratifikasi. Bagaimana penjelasannya?

Waktu itu, kita bilang gini, definisi gratifikasi itu terkait jabatan dan tidak melakukan kewajiban. Gue inget banget waktu kasus presiden kita sebelumnya, Pak Jokowi, ke Timur Tengah. Itu rombongan semua dikasih hadiah.

Belakangan, kita tahu di hadiah itu ada logo pemerintahnya. Udah gitu, itu kebiasaan kalau ada tamu negara. Jadi, kita bilang ini bukan gratifikasi. Ini bukan kearah individu.

Gratifikasi itu hanya individu dan penyelenggara negara, PNS, cuma itu doang. Ini sebenarnya ke arah kelembagaan terbiasa memberi demikian. Nah, ini kami putuskan, yaudah dia laporkan, udah simpan aja deh, pajang aja, jangan dipakai pribadi.

Nah, yang Erdogan juga sama. Kami lihat juga ini memang kenegaraan ngasih. Kecuali, besok dipakai sendiri sama dia. Jadi, kita akhirnya dapet juga satu variasi dari gratifikasi bahwa ada hubungan kenegaraan yang terbiasa memberi hadiah.

Kebetulan, karena dari negara ini individu, presiden, menteri, jadi kita pastikan aja bahwa itu bukan untuk individu dan kita bilang bukan gratifikasi.

Pejabat wajib setor LHKPN. Sebenarnya sekuat apa LHKPN membantu pencegahan korupsi?

Untuk penindakan aja. Untuk pencegahan gua bilang gini. Tiga tahun terakhir, semenjak kasus Rafael Alun, kami mengubah target dari LHKPN. Dari sekedar kepatuhan, kita ubah indikator kerja utama (IKU). IKU-nya jadi jumlah pemeriksaan yang bisa ditindaklanjuti oleh penindakan.

Makanya memeriksanya harus cukup pas milihnya. Ada 450 ribu orang nih, yang mana yang harus gue pilih, gue periksa. Ada kriteria kita bangun. Nah, kalau kami periksa sejauh mana untuk penindakan yang jelas, kita dapet semua asetnya. Keluarga, bank, transaksi kami lihat. Yang kita cari gratifikasi.

Itu yang pertama. Kedua, pencucian uang, aset yang gede, tapi gak ada underlying yang cukup memadai. Misalnya, gue tiba-tiba melaporkan punya tanah 10 hektare, lu kan nanya, lu gaji itu berapa ya? Nah, itu menimbulkan kecurigaan. Jadi, asetnya dulu diteliti, baru kemudian kami cari gimana cara belinya, duitnya dari mana. Kalau dibilang itu warisan, kami cari orang tuanya.

Lalu, bagaimana dengan LHKPN yang datanya dikurangi. Misalnya, kemarin, ada omongan bahwa harta pejabat yang dilaporkan itu mungkin hanya 20 persen dari keseluruhan. Dalam kasus seperti itu, apakah KPK bisa bertindak?

Misalnya, lu gue periksa, gue berasumsi bahwa harta lu yang dilaporan itu bener. Karena ada surat kuasa, lu kasih kuasa ke gue untuk melihat semua rekening bank lu. Lalu, gue lihat nih.

Paling favorit biasanya data BPN karena semua sertifikat ada namanya, ada NIK-nya. Begitu juga data bank dan asuransi. Lu bilang punya rekening di bank A, B, dan C. Gue minta tuh seluruh bank.

Nanti, tiba-tiba ketahuan lu ada rekening di bank E. Berarti rekening bank E gak dilaporkan, lalu gue catet semuanya.

Katakan lagi, lu punya saham di PT, tapi gak lu laporin di LHKPN. Itu akan gue konfirmasi juga ke Dirjen AHU. Ya, gue catetin aja semua kekurangannya itu yang gak dilaporin.

Setelah itu, kami undang untuk klarifikasi. Ini harta lu kenapa gak lapor? Misalnya, jawab lupa. Tapi, lupa kan ada common sense-nya juga. Kenapa masih ada aset lain yang sebelumnya lu bilang gak ada. Misalnya, lu jawab itu udah dijual, hanya belum balik nama.

Pejabat di Kabinet Merah Putih patuh LHKPN

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan (tengah) didampingi anggota tim juru bicara KPK Budi Prasetyo (kanan) dan Plh Direktur LHKPN Dwi Yanti (kiri) memberikan pemaparan saat konferensi pers kepatuhan pejabat terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/1/2025). Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan sebanyak 123 dari 124 pejabat di Kabinet Merah Putih telah membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKP), sementara Tina Talisa yang baru dilantik sebagai staf khusus wakil presiden pada 6 Desember 2024 masih memiliki tenggat tiga bulan untuk melapor. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/nym.

Kira-kira, apa penyebab utama korupsi semakin parah di Indonesia?

Korupsi yang mana nih? Ada yang gede, ada yang menengah, ada yang kecil. Ada yang di pemda, ada yang di pusat. Ada yang korupsi kecil-kecilan, ada yang cuma buat hidup, ada yang cuma buat kaya. Ada yang gak sengaja, ada yang sengaja. Ada yang karena sistem, ada juga yang memang niat.

Jadi, kategori-kategori korupsi itu banyak banget. Asli banyak banget. Korupsi di Indonesia semakin parah? Iya, kalau melihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Gue ngerasain di lapangan, menurut gue, hampir gak ada yang berubah. Bisa dibilang gue pesimistis. Gue lihat praktek di lapangan, semuanya terlihat oke. Tapi, begitu kita survei beneran, ternyata IPK memburuk. Apalagi, korupsi di pemda.

Baca deh survei soal korupsi di pemda. Itu jumlahnya dua pertiga pemda di Indonesia loh. Sekarang bahkan lebih banyak. Gue sambil mikir, ini pencegahan gagal juga nih.

Ini gue nyalahin gue sendiri juga. Tapi, kalau diusut-usut, itu tergantung sama yang paling atas juga, yaitu presiden. Menurut gue, presiden harus action. Kalau retorika-retorika udah tiap jaman kita denger.

Menurut Anda, masihkah pemberantasan korupsi di Indonesia punya harapan?

Masih dong. Gue masih optimistis. Harapannya menurut gue ada di generasi di bawah 30 tahun. Gue enggak tahu namanya generasi apa, tapi ini generasi dengan perilaku yang agak beda.

Tumpuan harapan kedua adalah digitalisasi. Gue bener-bener penganut agama digitalisasi. Menurut gue, lu enggak usah khotbahin orang. Lu bikin aja sistem digital, selesai.

Ini gue kasih contoh yang gampang. Kalau lu antre BPJS Kesehatan, lu bayar tukang parkir suruh antre. Lalu, ada orang yang beneran antre khotbahin lu, “Jangan gitu dong! Itu enggak adil.” Itu enggak akan berpengaruh apa-apa. Lu tetap aja bayar orang untuk gantiin antre.

Kalau gue, gue bikin pendaftarannya pake face recognition. Selesai kan urusan. Hanya orang yang mukanya ada di screen aja yang tercatat sebagai pendaftar.

Dengan digitalisasi, semua masalah pelayanan selesai. Walaupun, digitalisasi mungkin memangkas jumlah orang.

Jadi, Anda yakin digitalisasi bisa jadi solusi untuk pemberantasan korupsi?

Gue sih optimistis di tengah segala kesuraman masih ada harapan.

Digitalisasi itu bikin sesuatu transparan, murah, dan cepat. Kalau lu merasa digitalisasi bikin makin ribet, lu kayaknya mesti belajar sama anak muda. Di KPK, gue bilang, “Udah kita yang tua-tua diem aja deh. Panggil yang muda-muda bikin sistem digital.”

Anda mengalami zamannya KPK dipimpin Firli Bahuri, lalu Nawawi Pomolango, kemudian Setyo Budiyanto. Bagaimana penilaian Anda?

Gue mah prajurit. Jadi, yang mana aja enak buat gue. Gue ngerasain zaman Pak Ruqi 2 bulan, Pak Agus Raharjo dan teman-teman 4 tahun, Pak Firli dan Pak Nawawi 5 tahun, sama Pak Setyo 2 bulan. Masing-masing pasti ada plus dan minus-nya.

Gue menaruh harapan banyak pada Pak Setyo dan teman-teman. Beliau udah pernah di KPK, jadi sense-nya udah terbentuk. Fitroh udah lama di KPK, sense-nya juga udah pasti ada. Gayanya KPK mereka udah gak perlu belajar. Intinya, situasi internalnya diperbaiki.

KPK selalu gitu karena orangnya datang dan pergi. Ini kapal yang nakhodanya doang ganti-ganti, penumpang sama. Kami selalu suarakan ke setiap pimpinan agar jangan ngerem mendadak atau jangan ugal-ugalan.

Kemarin, banyak yang skeptis pada kepemimpinan Setyo Budiyanto yang berasal dari Polri. Ada yang membandingkan dengan Firli Bahuri yang juga dari Polri. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang ada kecenderungan di zaman Pak Firli itu lebih banyak orang luar yang masuk ke KPK. Bukan APH aja setau gue. Akibatnya, yang asli KPK jadi merasa banyak jabatan-jabatan struktural yang justru diisi dari luar. Kami protes.

Instansi lain, menurut gue, mana pernah sih kirim pegawai bintangnya. Kalau enggak kirim troublemaker, KW 2, ya orang yang udah mentok jabatannya. Masa KPK mau terima gituan? Mending orang dalam aja.

Maksudnya, yang lebih penting ya pengisian dari dalam itu. Karena, nilai-nilai integritasnya udah sama. Udah enggak perlu diajarin lagi.

Pejabat di Kabinet Merah Putih patuh LHKPN

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan memberikan pemaparan saat konferensi pers kepatuhan pejabat terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/1/2025). Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan sebanyak 123 dari 124 pejabat di Kabinet Merah Putih telah membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKP), sementara Tina Talisa yang baru dilantik sebagai staf khusus wakil presiden pada 6 Desember 2024 masih memiliki tenggat tiga bulan untuk melapor. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/nym.

Kemarin, sempat ada surat keluhan dari pegawai KPK. Mereka merasa hilang rasa bekerja di KPK. Menurut mereka, KPK juga kehilangan marwah. Menurut Anda, apakah KPK benar-benar kehilangan mawah? Kalau iya, bagaimana mengembalikannya lagi?

Hilang marwah mah enggak ya. Tapi, bahwa marwahnya menurun, iya. Gue mesti bilang iya juga. Karena, pegawai dari CPNS itu ada yang dengan tenang keluar dari KPK. Beberapa gue tanya alasannya keluar. Jawabnya ternyata karena KPK gak sesuai dengan ekspektasinya.

Maksud gue, bahwa KPK mengalami penurunan marwah, iya. Semua orang yang masuk KPK itu mau bangga. Kerja digaji, lalu pulang bangga. Masalahnya, belakangan enggak begitu. Kerja digaji, tapi pulang dikatain orang.

Nah, makanya gue bilang yang sekarang semua ayo dong kita kembalikan marwah KPK. Enggak usah kejar prestasi yang di langit ketujuh dululah. Yang menurun ini dibalikin jadi normal dulu, kalau bisa meningkat. Supaya kita bangga jadi pegawai KPK.

Terakhir, apa harapan Anda buat Indonesia, termasuk di sektor pemberantasan korupsi?

Harapan gue sederhana aja. Gue rasa kita itu harusnya bisa banget orang miskinnya dibantu negara, dokternya melayani masyarakat dengan baik. Kita harusnya bisa seperti itu. Tapi, kok gak bisa ya? Gue percaya banget itu terjadi karena kita kebanyakan korupsi.

Jadi, ke depan, gak usah yang canggih-canggihlah, yang penting pelayanan publiknya bagus. Jangan sampai ada lagi orang mati kelaparan atau bingung ada banjir.

Jangan sampai anak muda itu kabur ke luar negeri. Itu zaman gue enggak ada tren kabur aja dulu.

Kalau anak-anak muda kita keluar, sisanya yang tinggal ya tua-tua kayak gue gini atau kemampuannya KW 3. Kapan negara gue maju kalau seperti itu?

Harapan saya adalah di anak muda dan digitalisasi, lalu kita berbuat sesuatu dengan benar.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - News
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi