tirto.id - Warga yang tidak terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) siap-siap tidak akan mendapatkan pelayanan administrasi publik. Sebab, JKN atau Kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat yang harus dilampirkan. Salah satunya dalam mengurus pendaftaran atas tanah atau satuan rumah susun yang diperoleh dari jual beli.
Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Teuku Taufiqulhadi menjelaskan alasan pemerintah mewajibkan Kartu BPJS Kesehatan harus dilampirkan. Ini sebagai upaya pemerintah mengoptimalkan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh penduduk.
Kebijakan tersebut merupakan implementasi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. “Poinnya bukan pada korelasi, tapi optimalisasi BPJS kepada seluruh rakyat Indonesia, dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 ini, maka diharapkan seluruh rakyat Indonesia akan memiliki jaminan kesehatan,” kata Taufiq kepada reporter Tirto, Sabtu (19/2/2022).
Terdaftarnya seluruh penduduk Indonesia pada BPJS Kesehatan, menunjukkan kehadiran pemerintah kepada rakyatnya dalam memberikan jaminan kesehatan. “Presiden ingin semua rakyat Indonesia terlindungi kesehatannya. Kegiatan jual beli tanah ini hanya sebagai sarana saja.”
Pada Instruksi Presiden tersebut, Jokowi menginstruksikan kepada para menterinya agar seluruh penduduk terdaftar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.
Salah satu penerapan Inpres 1/2022 adalah terbitnya Surat Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Nomor: HR.02/153-400/II/2022 bertanggal 14 Februari 2022. Aturan ini wewajibkan untuk melampirkan fotokopi kartu peserta BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam permohonan pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang diperoleh dari jual beli dan ketentuan ini berlaku mulai 1 Maret 2022.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan, mengacu Pasal 14 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, salah dua prinsip jaminan kesehatan ialah kepesertaan bersifat wajib, artinya seluruh rakyat Indonesia wajib mengikuti program itu; dan kegotongroyongan. Hingga 30 November 2021, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat mencapai 229.514.068 jiwa [PDF].
Timboel melanjutkan, per 31 Desember 2021, peserta aktif BPJS sekitar 193 juta orang; sekira 40 juta orang belum mendaftarkan diri menjadi peserta jaminan kesehatan, dan sekira 47 juta orang lainnya pernah daftar, tapi menunggak atau dinonaktifkan.
“Persoalan kepesertaan ini masih 70 persen, sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 diwajibkan 98 persen rakyat Indonesia sudah ikut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (21/2/2022).
Dalam konteks perintah pemerintah kepada direksi untuk bisa mencapai target, maka ada regulasi turunan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Bila dikaitkan perihal BPJS Kesehatan jadi syarat jual beli lahan atau penerbitan Surat Izin Mengemudi dan Surat Tanda Nomor Kendaraan, maka Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 menyebutkan:
(1) Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota atas permintaan BPJS.
Sementara sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) yakni Izin Mendirikan Bangunan, Surat Izin Mengemudi, sertifikat tanah, paspor, atau Surat Tanda Nomor Kendaraan.
“Kehadiran Instruksi Presiden dengan sanksi tidak ada pelayanan publik, menjadi sesuatu yang harus dimaknai BPJS Kesehatan (yaitu) meningkatkan pelayanan. Jangan mau uangnya saja,” terang Timboel.
Peningkatan pelayanan terdapat dalam Pasal 24 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004. Pasal itu berbunyi, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.”
Peningkatan pelayan harus dilakukan. Tapi faktanya, kata Timboel, di rumah sakit, pasien jaminan kesehatan nasional mendapatkan perbedaan pelayanan daripada pasien umum, misalnya.
“Dalam kasus seperti ini yang membantu si pasien JKN adalah BPJS Kesehatan. Karena dalam konstruksi kemitraan mereka, rumah sakit dan BPJS Kesehatan menandatangani perjanjian kerja sama,” imbuh dia.
Sedangkan secara konstruksi hukum, kata Timboel, BPJS Kesehatan ialah pihak yang mewakili peserta supaya manfaat-manfaat yang telah tercantum dalam regulasi bisa dilaksanakan oleh rumah sakit.
Jangan Sampai Merugikan Warga
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan perluasan cakupan kepesertaan JKN melalui kolaborasi dengan 30 kementerian/lembaga serta pemerintah daerah, bakal menjadikan JKN sebagai syarat administrasi pelayanan publik. Seluruh kolaborasi tersebut merupakan upayanya mewajibkan setiap penduduk menjadi peserta JKN-KIS sebagai pemenuhan hak kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati merespons soal Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022. "Ini mengejutkan buat kami karena melibatkan sekian banyak kementerian/lembaga dan urusan yang menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai persyaratan bagi urusan administrasi," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (21/2/2022).
Menurut dia, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dibanding menjadikan persyaratan di banyak hal. Contohnya, optimasi sosialisasi dan edukasi ke masyarakat khususnya yang belum jadi peserta.
Menurut dia, kemudian seharusnya ada regulasi yang menjamin semua masyarakat tidak mampu dan miskin dijamin menjadi anggota Penerima Bantuan Iuran (PBI) sehingga masyarakat tidak mampu merasa terproteksi dan tercukupi pembiayaan jaminan kesehatannya.
Upaya lainnya yakni peningkatan kualitas layanan BPJS Kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan. “Melalui peningkatan kualitas layanan BPJS dan fasilitas kesehatan, akan meningkatkan manfaat ke masyarakat sehingga mereka akan bersemangat menjadi anggota karena melihat nyata dan bagus manfaatnya," jelas Kurniasih.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar pun mengingatkan tujuan dan relevansi optimalisasi regulasi ini.
“Jangan sampai ada kondisi khusus dalam masa pandemi ini, masyarakat yang kesulitan ekonomi menjadi semakin terbebani. Hanya karena tidak punya BPJS Kesehatan (ia) tidak bisa mendapatkan hak administrasi pelayanan publik,” tutur dia kepada Tirto, Senin (21/2/2022).
Efektivitas program BPJS Kesehatan pun harus diperhatikan. Urusan administrasi, birokrasi, dan yang berkonsekuensi biaya, membuat publik tak bisa mengakses pelayanan public, kata Adinda.
Apalagi jika sektor produktif yang bisa menggerakkan perekonomian nasional, kebebasan ekonominya terhambat karena tak memiliki BPJS Kesehatan. Pihak BPJS pun dapat meniru program vaksin, sebagai pertimbangan mengapa masih ada warga yang emoh ikut serta dalam program kesehatan itu atau bahkan BPJS Kesehatan bisa ‘jemput bola’ kepada warga agar mereka mau mendaftar.
“Program vaksin mudah diakses dan gratis. Apakah BPJS Kesehatan bisa mempunyai prosedur serupa? Karena mungkin ada keengganan orang-orang mendaftarkan diri lantaran memilih mengatur pengeluaran sesuai kemampuan atau mengikuti asuransi berbayar,” imbuh Adinda.
Adinda menambahkan, “Jangan dipaksakan dan malah tidak efektif, sehingga orang tidak bisa mengakses pelayanan publik.” Pemerintah jangan menyandera hak-hak dasar rakyat, nanti dikhawatirkan menjadi bumerang, seperti perekonomian stagnan.
Penerapan Instruksi Presiden juga perlu dievaluasi, kata Adinda. Kebijakan jangan mengabaikan dampak yang tidak terlihat. Semangat mengoptimalkan jaminan kesehatan pun perlu dibuktikan.
Evaluasi regulasi diperlukan untuk memastikan agar kebijakan tersebut efektif, relevan, dan kontekstual. Adinda mengingatkan pula agar pihak BPJS Kesehatan memaksimalkan perlindungan data pribadi, jangan lagi ada kebocoran data.
Ia juga mengharapkan tak ada perkara penyelewengan dana rakyat. “Ada uang si pembayar pajak yang berharap atas pelayanan BPJS Kesehatan yang optimal,” kata Adinda.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz