tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati geram karena defisit BPJS Kesehatan tak kunjung teratasi dan malah makin membesar dari tahun ke tahun. Pemerintah jadi terus-menerus menggelontorkan dana untuk menambalnya.
Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp1,9 triliun. Defisit membengkak menjadi Rp9,4 triliun pada 2015. Setahun kemudian, defisit sedikit berkurang menjadi Rp6,4 triliun karena adanya penyesuaian iuran, yang sesuai dengan Peraturan Presiden dilakukan setiap dua tahun.
Sayangnya kenaikan iuran tidak mampu memperbaiki kinerja BPJS Kesehatan di tahun-tahun berikutnya. Pada 2017, angka defisit melonjak lagi menjadi Rp13,8 triliun. Kondisi semakin buruk manakala pada 2018 BPJS Kesehatan kembali defisit nyaris Rp20 triliun, tepatnya Rp19,4 triliun.
“[Tahun] 2019 akan muncul defisit yang lebih besar lagi,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (21/8/2019).
Dalam rapat itu Sri Mulyani juga mengungkapkan selama lima tahun terakhir pemerintah sudah menguras kas negara hingga Rp25,7 triliun untuk menambal defisit.
Mantan Direktur Bank Dunia itu mengatakan ada berbagai hal yang menyebabkan masalah keuangan BPJS Kesehatan tak kunjung teratasi. Dua di antaranya kalkulasi nilai iuran peserta yang belum sesuai aktuaria dan tunggakan iuran peserta.
Oleh karenanya Sri Mulyani meminta peserta asuransi rutin membayar iuran. “Kalau enggak bayar ditagih, dan itulah tugasnya BPJS.”
Menggandeng Asuransi Cina
Di tengah kondisi tersebut, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memberi usul kontroversial: meminta tolong perusahaan asuransi asal bernama Cina Ping An Insurance (Group).
Ping An akan membantu mengevaluasi sistem IT BJPS Kesehatan, kata Luhut di kantornya, Jumat (23/8/2019), kemarin. Luhut bilang usul ini muncul saat dia bertemu dengan salah satu pimpinan Ping An Insurance di Cina beberapa waktu lalu.
Usul ini kontroversial salah satunya karena BPJS Kesehatan seharusnya tidak ditangani oleh kementerian koordinator yang dipimpin Luhut. Ia dianggap mencampuri masalah terlalu jauh.
Sadar bahwa usulnya memunculkan penolakan, Ahad (25/8/2019) kemarin Luhut merilis siaran pers. Belum ada kesepakatan apa pun antara Ping An Insurance dengan BPJS Kesehatan, aku Luhut seperti diberitakan Antara. Kalaupun ada, itu sebaiknya dibicarakan langsung antara dua instansi tersebut.
Meski sadar bahwa itu memang bukan tugasnya, dia tetap berharap Ping An bersedia memberi saran untuk BPJS Kesehatan. Dia melihat perusahaan asuransi ini mumpuni di antaranya karena sudah terbukti melayani lebih dari 400 juta orang.
Selain itu, Luhut juga menilai saran dari perusahaan asuransi berbasis daring ini patut didengar karena mereka “menggunakan teknologi kecerdasan buatan dan telah sukses membantu efisiensi mereka. Perusahaan publik ini memelopori sistem manajemen kesehatan berbasis teknologi di 282 kota di Cina.”
Menindaklanjuti pertemuan dengan Ping An, Luhut kemudian menggelar pertemuan dengan Dirut BPJS Fachmi Idris. Fachmi, seperti yang dituturkan Luhut, mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran adalah menjadikannya salah satu syarat untuk mendapat layanan publik.
“Jika ada yang ingin mendapat layanan publik seperti pembuatan SIM atau paspor, akan dicek dulu apakah ia mempunyai tunggakan pembayaran BPJS. Jika ada, mereka akan diminta untuk melunasi terlebih dahulu sebelum melanjutkan proses di layanan publik tersebut. Itu hanya salah satu contoh,” katanya.
Terlepas dari pro dan kontra pelibatan asuransi Cina ataupun turut campurnya Luhut pada masalah asuransi kesehatan, kolektabiltas memang salah satu permasalahan besar BPJS Kesehatan. Tunggakan iuran pada tahun 2018 saja mencapai Rp2,1 triliun, paling banyak dari kelompok Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja.
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Imam Santoso, sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, mengungkapkan kolektabilitas dari kelompok BPPU hanya sebesar 55-60 persen. Mereka hanya membayar iuran bila sedang sakit.
Hal itu, kata Imam, terjadi karena selama ini tidak ada sanksi bagi peserta yang tidak membayar iuran.
Dalam wawancara dengan Tirtobeberapa waktu lalu, Dirut BPJS Fahmi Idris mengatakan sebenarnya sudah ada aturan untuk penagihan iuran BPJS, yaitu PP Nomor 86 Tahun 2013. Namun eksekusinya tidak ada di tangan BPJS.
“[Eksekutornya] lembaga negara lain. Perlu dikoordinasikan, karena lembaga lain pasti akan melihat, ini dampaknya apa nih kalau begini,” ujar Fahmi.
Selain kolektabilitas, masalah BPJS Kesehatan juga termasuk tata kelola, penegakan aturan, hingga hitung-hitungan iuran yang dianggap belum sesuai. Dengan begitu, bantuan dari asuransi Cina seperti yang Luhut usulkan tidak akan bisa menyelesaikan masalah defisit selama faktor lain tidak diurus.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyusun tiga strategi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Pertama, menaikkan iuran; kedua, memperbaiki manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi; ketiga, menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan ke masing-masing pemda.
“Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendali tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat,” kata Wapres Jusuf Kalla, saat menjelaskan tiga strategi mengatasi defisit BPJS Kesehatan tersebut.
Sayangnya sejauh ini tiga strategi itu belum paripurna diterapkan. Buktinya, defisit masih saja membelit BPJS Kesehatan.
Editor: Rio Apinino