Menuju konten utama

Kontroversi Aturan JHT BPJS TK & Mengapa Program JKP Bukan Solusi?

JKP dinilai tidak bisa menjadi solusi atas kekisruhan klaim JHT. Sebab keefektifan JKP belum diketahui bagi kesejahteraan pekerja.

Kontroversi Aturan JHT BPJS TK & Mengapa Program JKP Bukan Solusi?
Kantor BP JAMSOSTEK. (FOTO/Humas BPJS Ketenagakerjaan)

tirto.id - Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan aturan baru terkait pencairan dana pensiun. Aturan tersebut termaktub dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Dalam aturan baru tersebut, pekerja hanya bisa mencairkan dana JHT ketika memasuki usia 56 tahun. Tidak seperti aturan sebelumnya, pekerja boleh mencairkan dana pensiuan usai berhenti bekerja.

Meski peruntukan untuk hari tua, dana pensiun bisa tetap dicairkan dalam kondisi tertentu, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); seandainya pekerja mengalami cacat total tetap dan meninggal dunia.

Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, pengajuan klaim sebagian manfaat JHT dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT paling sedikit 10 tahun. Dalam hal ini, menurut ketentuan peserta program jaminan bisa mengambil 30 persen dari manfaat JHT untuk kepemilikan rumah atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lain dalam rangka persiapan pensiun.

“Skema ini untuk memberikan perlindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” ujar Kepala Biro Humas Kemnaker, Chairul Fadhly Harahap dalam keterangan tertulis, Minggu (14/2/2022).

Staf Khusus Menaker, Dita Indah Sari menambahkan, pemerintah telah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai jaminan bagi pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Program JKP akan diluncurkan pemerintah pada akhir Februari ini.

Menurut Dita, JKP bisa dimanfaatkan pekerja sebagai pengganti program JHT. Sehingga pekerja tak lagi mengharapkan manfaat dana JHT ketika berhadapan dengan situasi PHK.

“Dulu JKP nggak ada. Maka wajar jika dulu teman-teman ter-PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ujar Dita.

Program JKP adalah jaminan manfaat berupa uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja bagi pekerja korban PHK.

Berikut ini kriteria pekerja penerima JKP:

  1. Warga Negara Indonesia;
  2. Belum mencapai usia 54 tahun saat terdaftar menjadi peserta;
  3. Pekerja pada PK/BU Skala Usaha Menengah dan Besar yang sudah mengikuti program JKK, JKM, JHT, dan JP;
  4. Pekerja pada PK/BU Skala Kecil dan Mikro dengan minimal ikut program JKK, JKM, dan JHT;
  5. Terdaftar sebagai Pekerja Penerima Upah pada Badan Usaha Program JKN BPJS Kesehatan.
Dana JKP bisa diakses pekerja dengan syarat:

  1. Peserta telah memenuhi masa iuran program JKP bulanan minimal 12 bulan dalam 24 bulan;
  2. Telah membayar iuran 6 bulan dibayar berturut-turur sebagai kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebelum di-PHK;
  3. Periode pengajuan sejak dinyatakan PHK hingga 3 bulan.

JKP Dinilai Bukan Solusi

Meski demikian, Ketua DPR RI, Puan Maharani menilai, JKP tidak bisa menjadi solusi atas persoalan ketenagakerjaan, terlebih bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi dalam waktu dekat.

Program JKP masih terlalu dini dan memiliki persyaratan yang tak memungkinkan bisa langsung dirasakan pekerja yang membutuhkan dana cepat. Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT, kata Puan.

“Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tapi juga tidak bisa mencairkan JHT,” imbuh politikus PDIP tersebut dalam keterangan tertulis, Senin (14/2/2022).

Program JKP belum bisa menyentuh seluruh korban PHK; subsidi dan bantuan sosial bahkan bukan solusi jangka panjang. Sehingga Puan menilai, pemerintah mesti merevisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.

“Dalam membuat kebijakan, pemerintah harus melibatkan partisipasi publik dan juga perlu mendengarkan pertimbangan dari DPR,” kata Puan.

Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati mengatakan, JKP tidak bisa menjadi solusi atas kekisruhan klaim JHT ini. Sebab, keefektifan JKP belum diketahui bagi kesejahteraan pekerja.

“Tapi JKP ini memang sifatnya hanya safety net, pengganti penghasilan sementara, bukan memberikan uang dalam jumlah besar ke pekerja. Artinya JKP memang nggak bisa jalan sendirian, aturan pesangon tetap harus jalan. Ini PR besar negara,” kata Nabiyla kepada reporter Tirto, Senin (14/2/2022).

Program JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja yang menjadi korban PHK. Padahal di lapangan, kata dia, tak sedikit pekerja yang dipecat perusahaan namun dipaksa menandatangani surat pengunduran diri.

Begitu juga dengan pekerja berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kontrak mereka bisa tetiba tidak diperpanjang dan tidak mendapatkan manfaat JKP.

Fakta lapangan seperti ini diperparah oleh pemberian pesangon dari perusahaan kepada pekerja. Menurut Nabiyla, perusahaan hanya taat di atas kertas, tapi pada praktik, banyak perusahaan yang tidak membayarkan pesangon sesuai ketentuan. Pekerja korban PHK dan korban pemaksaan undur diri tidak mendapatkan apa-apa.

“Dari sisi ketenagakerjaan, kita tahu bahwa penegakan aturan ketenagakerjaan kita sangat lemah. Sehingga aturan soal pesangon yang seharusnya bisa jadi uang pegangan pekerja ketika PHK, pada kenyataan di lapangan tidak terlaksana dengan baik. Akhirnya resortnya ya ke JHT ini,” ujarnya.

Berdasarkan kondisi lapangan ini, Nabiyla menilai Permenaker 2/2022 terlalu terburu-buru. Meski secara teori sudah tepat. Namun ia menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan terlebih dulu sistem dan implementasi JKP, baru menerapkan aturan soal klaim JHT.

Nasib Buruh Pasca Permenaker 2/2022

Permenakar 2/2022 sebagai ganti Permenaker 19/2015 akan membuat kehidupan pekerja kian menderita. Terlebih lagi saat pandemi dan berkelindan dengan tren PHK yang tinggi. Sementara banyak buruh mengharapkan dana JHT menjadi pegangan pasca PHK.

“Kalau tidak bisa diambil karena harus menunggu usia pensiun, lalu buruh harus makan apa,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin (14/2/2022).

Nasib buruh akan menjadi lebih sulit dengan kehadiran aturan baru klaim JHT. Sebelumnya buruh sudah menanggung beban karena upah yang tidak naik di beberapa daerah, melalui terbitnya PP 36/2021. Sekali pun naik, nominalnya lebih besar biaya toilet umum, kata Iqbal.

Dalam waktu dekat, Partai Buruh juga akan ikut melakukan unjuk rasa ke Kantor Kemenaker bersama-sama dengan ribuan buruh untuk mendesak agar Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 segera direvisi.

“Saya mencatat, menaker saat ini kerap mementingkan kelompok pengusaha. Bukan buruh atau pekerja. Terbukti dari berbagai kebijakan yang dikeluarkannya,” tandas Iqbal.

Baca juga artikel terkait JHT atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz