tirto.id - Sepak terjang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam upaya mereformasi alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia mendapat sorotan. Hal ini tidak terlepas dari langkah Kementerian Pertahanan yang menandatangani kontrak kerja sama pembelian enam pesawat tempur generasi 4,5, Dassault Rafale, buatan Perancis. Indonesia juga akan membeli jet F-15 buatan Amerika Serikat sebanyak 36 unit.
Namun, langkah tersebut dikritik Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka menilai pembelian pesawat tidak diperlukan di masa pandemi COVID-19. “Pak Prabowo Subianto, apakah layak kita jor-joran belanja pesawat tempur sekarang? Musuh kita sekarang virus, senjata yang dibutuhkan obat dan vaksin,” kata Juru Bicara DPP PSI, Rian Ernest, dalam keterangan tertulis, Jumat (11/2/2022).
Rian pun menilai pembelian alutsista tersebut harus transparan dan dipahami publik soal alasan pembeliannya. PSI ingin ada prioritas belanja daripada membeli alutsista.
“Jangan sampai ada pertanyaan di publik, apakah pengadaan alutsista ratusan triliun menjelang Pemilu 2024 ini berkaitan dengan hajatan pilpres. […] Peremajaan alutsista jelas penting. Tolong pastikan anggarannya transparan dan ada skala prioritas,” kata Rian.
Rian menambahkan, “Kita tidak ingin ada tragedi kapal selam Nanggala terulang. Pesawat Hercules jatuh lagi. Tapi anggarannya harus terukur dan sesuai prioritas penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi,” kata Rian.
Rencana Pembelian Pesawat Tempur
Aksi Prabowo terungkap setelah perusahaan pembuat pesawat militer Perancis Dassault Aviation mengumumkan pemerintah Indonesia dipastikan membeli 6 pesawat tempur Rafale. Media Perancis La Tribune tidak hanya memberitakan soal kabar pembelian 6 pesawat Rafale, tapi juga kemungkinan total pembelian mencapai 30-36 pesawat.
Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis, Florence Parly pun resmi datang ke Indonesia untuk menyaksikan penandatanganan kerja sama pembelian pesawat Rafale sebanyak 6 pesawat. “Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk enam pesawat,” kata Prabowo, Kamis (10/2/2022).
Prabowo mengaku pemerintah akan melanjutkan dengan kontrak pengadaan 36 pesawat ditambah dengan latihan persenjataan maupun simulator. Ia menambahkan, pemerintah juga melakukan MoU research and development antara PT PAL dan Naval Grup diikuti dengan rencana pembelian kapal selam kelas Scorpene dan AIP beserta persenjataan, suku cadang dan latihan.
Prabowo pun membawa Parly bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (10/2/2022). Dalam perbincangan tersebut, Jokowi membahas sejumlah kerja sama antara Indonesia-Perancis. Salah satu poin adalah Jokowi mengapresiasi penandatanganan beberapa MoU kerja sama pertahanan termasuk dalam hal kerja sama MRO (maintenance, repair, overhaul), pengembangan kapal selam, pengadaan satelit, hingga produksi amunisi kaliber besar. Jokowi juga meminta kerja sama tidak hanya di bidang militer yang sudah disepakati.
“Saya harap kerja sama pertahanan tidak hanya terfokus pada pembelian alutsista, namun juga memikirkan pengembangan dan produksi bersama, alih teknologi, serta investasi di bidang industri pertahanan,” kata Jokowi.
Keberhasilan Prabowo bertambah setelah Amerika Serikat mengumumkan Indonesia membeli sejumlah alutsista mereka. Departemen Kerja Sama Pertahanan Amerika (Defense Security Cooperation Agency) mengumumkan bahwa pemerintah Amerika setuju untuk pembelian pesawat F-15ID dan perlengkapannya dengan nilai 13,9 miliar dolar AS.
Dalam keterangan resmi pemerintah, pembelian tersebut terdiri atas 36 pesawat F-15ID dan sejumlah perlengkapan lain seperti 87 mesin F110-GE-129 or F100-PW-229, 45 AN/APG-82(v)1 Advanced Electronically Scanned Array (AESA) Radar, hingga alat-alat lain seperti Electronic Combat International Security Assistance Program (ECISAP) support; Joint Mission Planning Systems (JMPS); Night Vision Goggles (NVG) dan alat pendukung serta spare-parts lain.
Dalam rilis tersebut dinyatakan bahwa pembelian dilakukan demi memenuhi kebutuhan Indonesia dalam megnhadapi ancaman di masa depan, baik pertahanan udara dan laut. Pembelian tersebut juga dipegang oleh Boeing Company.
Kementerian Pertahanan pun membenarkan kabar rencana pembelian pesawat F-15 tersebut. Saat ini, rencana pembelian tersebut masih dalam proses penjajakan.
“Untuk proses masih tahap penjajakan,” kata Karo Humas Kemhan Brigjen Taufik Shobri saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (11/2/2022).
Lantas, apakah tepat pembelian Indonesia terhadap pesawat Rafale milik Perancis dan F-15 dari Amerika?
Peneliti keamanan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI) Beni Sukadis menilai pembelian Rafale Perancis dengan 6 unit ditambah 36 pesawat lagi di masa depan serta pembelian F-15 milik Boeing sudah tepat. Meski belum ada kontrak, kedua pembelian dua model pesawat tempur tersebut sudah sesuai kebutuhan Indonesia.
“Tentu saja dari segi jumlah kedua jet tempur yang memiliki karakteristik sama yakni multirole jet fighter sehingga dapat menambah daya gentar (detterent) di kawasan Asia Tenggara terutama untuk mengawasi wilayah udara RI yang sangat luas ini," kata Beni kepada reporter Tirto, Jumat (11/2/2022).
Beni juga menilai, pembelian pesawat diikuti dengan pembelian kapal selam Scorpene dari Naval Group juga hal tepat. Ia beralasan, modernisasi alutsista penting dilakukan Indonesia untuk menghadapi segala ancaman demi menjaga kedaulatan maritim. Apalagi Indonesia sempat mengalami kecelakaan kapal selam KRI-Nanggala yang merupakan kapal selam lawas pada 2021.
Menurut Beni, langkah pembelian F-15 dan Rafale membuat Indonesia tidak perlu lagi berpikir soal pengadaan SU-35 di masa lalu. Sementara itu, proyek KFX/IFX pun tinggal melihat urgensi pemerintah apakah untuk melanjutkan program tersebut atau tidak.
Dari segi geopolitik, Beni memandang langkah Indonesia bekerja sama dengan Perancis sudah tepat. Ia beralasan, Perancis sudah mandiri dalam produksi alutsista dan mereka siap bekerja sama dengan konsep offset.
Saat disinggung soal kemampuan anggaran, Beni menganggap tidak masalah karena ia yakin pemerintah sudah berkalkulasi dengan cermat sebelum pemebelian.
“Dengan situasi ekonomi saat ini, saya pikir tidak ada masalah, semua sudah dipikirkan secara matang karena masih dalam perencanaan MEF tahap 3 periode 2019-2024. Yang mana target MEF kita baru mencapai sekitar 63%, artinya masih jauh dari apa yang direncanakan sejak 14 tahun lalu,” kata Beni.
Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi meyakini bahwa pembelian pesawat Rafale sudah memperhitungkan kondisi keuangan negara. Ia yakin pembelian tersebut sudah melalui sejumlah tahap termasuk pembahasan dengan Kementerian Keuangan.
“Pembelian saat ini harus dimaknai sebagai upaya yang dilakukan dengan memperhitungkan kondisi keuangan negara. Jika tidak, maka bukan hanya enam Rafale dan 2 scorpene yang akan dibeli saat ini, tapi bisa lebih dari itu mengingat kondisi alutsista udara kita yang penuh keterbatasan. Tapi kan ini diatur bertahap menyesuaikan kemampuan anggaran,” kata Fahmi kepada reporter Tirto.
Fahmi menambahkan, “Pembelian itu tentunya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pembiayaan dari Kementerian Keuangan. Untuk ini, saya harus apresiasi Menhan Prabowo yang sudah berhasil meyakinkan disetujuinya rencana pembelian.”
Fahmi memandang, pembelian tersebut memang dibutuhkan Indonesia dalam memodernisasi alutsista. Akan tetapi, aksi modernisasi penuh tantangan karena keterbatasan anggaran dan pandemi COVID. Padahal, kata Fahmi, Indonesia menghadapi ancaman yang tidak kecil dari dalam maupun luar negeri.
Ia lantas mengutip data SIPRI lima negara terbesar yakni Amerika Serikat, Cina, India, Rusia dan Inggris terus meningkatkan belanja pertahanannya. Negara-negara yang belanja mewakili sekitar 62 persen anggaran belanja militer global. Cina, kata Fahmi, justru terus mencatat kenaikan signifikan sepanjang 26 tahun terakhir.
“Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," kata Fahmi.
Fahmi lantas melihat bahwa pembelian alutsista F-15 maupun Rafale sebagai dampak turunan dari Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang membuat negara-negara sekutu Amerika, terutama Eropa untuk mendorong negara-negara ketiga membeli alutsista.
Selain itu, kerja sama AUKUS juga membawa pesan tidak hanya soal pertahanan lantaran Australia akan membuat kapal selam militer berbasis tenaga nuklir, tetapi juga ada pesan bisnis industri pertahanan.
“Rencana itu jelas akan memicu perubahan arah kebijakan pertahanan negara-negara di kawasan ini. Artinya, akan ada belanja senjata yang lebih besar di kawasan ini sebagai respons. Tentu saja ini peluang bisnis yang bagus, bahkan sebelum kapal selam itu benar-benar direalisasi,” kata Fahmi.
Selain itu, pembelian alutsista baik Rafale maupun F-15 akan membuat Indonesia lebih stabil dalam pertahanan. Ia mengingatkan Indonesia masih ketergantungan alutsista dari luar negeri dan bahaya ketergantungan tersebut.
Ia mencontohkan kisah Indonesia mempunyai masalah pengelolaan alutsista di orde lama. Hal itu terjadi karena alutsista Indonesia mayoritas dari Soviet dan sekutunya, sementara Indonesia sempat mengalami pasang surut hubungan dengan Soviet. Kasus lain adalah saat Indonesia kesulitan mendapatkan sparepart F-16 dan C-130 Hercules pada masa orde baru.
Aksi pembelian alutsista kali ini akan membuat Indonesia lebih bebas aktif karena Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi kerap disebut dekat dengan Cina. Indonesia pun terlihat menjalankan konsep politik luar negeri bebas aktif dengan baik, kata Fahmi.
Fahmi yakin pembelian pesawat tempur Rafale maupun F-15 akan diikuti dengan peningkatan kemampuan penggunaan kedua pesawat dan SDM untuk pemeliharaan, pengelolaan dan perawatan.
“Jadi yang harus diperhatikan bukan kemampuan SDM pengelola, melainkan ketersediaan anggaran yang memadai untuk pengelolaan pesawat itu setelah efektif dioperasikan nanti,” kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz