Menuju konten utama

Kasus Korupsi Heli AW 101: Dihentikan Puspom TNI, di KPK Terkendala

Puspom TNI menghentikan penyidikan penanganan perkara korupsi pengadaan heli AW-101. Bagaimana kasusnya di KPK?

Kasus Korupsi Heli AW 101: Dihentikan Puspom TNI, di KPK Terkendala
Penyidik KPK dan POM TNI melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

tirto.id - Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland 101 yang berlangsung sejak 2016 kembali menjadi sorotan. Hal ini berawal saat KPK sebut Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI telah menghentikan penyidikan penanganan perkara korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland 101 atau heli AW-101.

“Koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak dari TNI sudah dihentikan proses penyidikannya," kata Direktur Penyidikan KPK Irjen Polisi Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di kantor KPK, Senin (27/12/2021).

Meskipun di Puspom TNI dihentikan, KPK akan terus memproses perkara korupsi Heli AW-101 dari pihak swasta. KPK akan berkoordinasi ulang dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk penyelesaian perkara tersebut tahun depan.

Setyo beralasan, koordinasi dengan BPK sempat diagendakan, tapi tertunda lantaran penyidik tengah sibuk dengan perkara lain. Namun ia memastikan penyidikan tetap berjalan karena akan ada komunikasi lanjutan antara penyidik dengan BPK pada awal 2022.

“Saya yakin nanti beberapa hari ke depan mungkin di awal tahun koordinasi itu akan segera ditindaklanjuti dengan BPK untuk semakin memperjelas kira-kira apa saja yang masih kurang atau dibutuhkan oleh para pihak auditor," kata Setyo.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa belum bisa menjawab saat dikonfirmasi tentang penghentian penyidikan perkara Heli AW 101. Ia mengaku perlu mengecek informasi tersebut.

“Saya harus telusuri dulu," kata Andika saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (28/12/2021).

Awal Mula Dugaan Kasus Korupsi

Kasus ini berawal ketika pemerintah ingin melakukan pengadaan heli AW 101 pada 2015. Pengadaan tersebut di bawah kewenangan TNI AU pada masa kepemimpinan Marsekal Agus Supriatna.

TNI AU direncanakan melakukan pengadaan 6 heli AW 101 yakni 3 untuk alat angkut berat dan 3 helikopter pengadaan untuk VVIP pada 2015. Namun rencana tersebut batal pada tahun yang sama atas perintah Presiden Jokowi karena terlalu mahal.

Akan tetapi, TNI AU akhirnya tetap membeli helikopter sebanyak 1 unit pada 2016. Pembelian berdasarkan anggaran TNI AU, bukan bujet Sekretariat Negara.

Pada Mei 2017, KPK bersama Panglima TNI kala itu Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo mengumumkan ada dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan heli AW 101. Gatot, yang menjadi panglima, mengklaim ada kerugian negara hingga Rp220 miliar akibat pembelian helikopter tersebut.

Dalam pengungkapan KPK bersama TNI, setidaknya ada 4 pejabat militer menjadi tersangka dan ditangani oleh Polisi Militer TNI yakni Fachry Adami, Letknol TNI AU (Adm) WW, Pelda SS dan Kol (purn) FTS.

Dari pihak swasta, KPK menetapkan Dirut PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. KPK menduga PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan harga heli menjadi Rp738 miliar per Februari 2016 dari harga kontrak langsung Rp514 miliar.

Perkara ini lantas menjadi kontroversi karena hasil audit yang digunakan bukan berbasis dari audit BPK. Hingga saat ini, BPK belum ada kabar tentang hasil audit mereka.

Di sisi lain, KPK berupaya menyelesaikan kasus heli, tetapi terkendala dalam upaya menghadirkan saksi dari pihak TNI. Penyidikan terkendala karena alasan kerahasiaan negara.

PENYIDIKAN KASUS HELIKOPTER AW 101

Penyidik KPK melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

Setidaknya ada dua catatan dalam penanganan kasus ini. Pertama adalah upaya Irfan melakukan praperadilan penetapan tersangka dalam kasus heli AW 101. Namun hakim praperadilan menolak permohonan praperadilan.

Kedua adalah pemeriksaan Agus Supriatna. Agus, yang waktu diagendakan pemeriksaan sudah pensiun, mangkir dalam agenda pemeriksaan KPK pada 27 November 2017 dan 15 Desember 2017. Namun Agus akhirnya hadir pada pemeriksaan pada 3 Januari 2018.

Pada pemeriksaan tersebut, Agus mengaku tidak berbicara banyak. Ia hanya menekankan bahwa upayanya tidak berbicara banyak karena tidak ingin melawan undang-undang.

“Ini semua sudah ada aturannya ada perundang-undangan, ada aturan, ada doktrin ada sumpah bagi prajurit itu ya. Jadi ke mana-ke mana itu tidak boleh asal mengeluarkan statement," kata Agus usai diperiksa penyidik KPK di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (3/1/2018).

KPK juga mengakui ada tantangan. Juru Bicara KPK kala itu, Febri Diansyah, menyatakan Agus enggan berbicara soal perkara tersebut karena alasan rahasia negara.

“Dari informasi yang kami dapatkan dari penyidik saksi tidak bersedia menjelaskan atau menguraikan peristiwa yang terjadi pada saat itu karena menurut saksi saat peristiwa terjadi ia masih menjabat sebagai KASAU atau prajurit TNI aktif sehingga ada hal-hal yang bersifat rahasia yang tidak bisa disampaikan,” kata Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (3/1/2018).

Kasus ini lantas mandek dan tidak ada kabar sampai pergantian kepemimpinan KPK dari era Agus Rahardjo ke Firli Bahuri.

KPK PERIKSA MANTAN KSAU

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna menjawab pertanyaan wartawan seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/1/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

TNI Diminta Transparan soal Penghentian Penyidikan

Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman minta TNI secara gamblang menjelaskan alasan penghentian penyidikan dugaan korupsi heli AW 101. Sebab, hal itu bisa membuat transparan penghentian perkara karena hanya bisa dihentikan dengan tiga alasan. Pertama, kurang alat bukti; kedua, bukan tindak pidana; dan ketiga, alasan demi hukum.

“Jadi dalam kasus pengadaan helikopter tersebut, hal mana yang menyebabkan penghentian penyidikan? Apakah tidak cukup alat bukti? Atau ternyata bukan tindak pidana? Kalau demi alasan hukum, kan, tentu tidak mungkin ya. Nah ini menjadi tugas dari TNI untuk menjelaskan penghentian penyidikan tersebut," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Selasa (28/12/2021).

Zaenur mengingatkan, kasus heli AW 101 masih berjalan di KPK. Dengan kata lain, unsur penyertaan dalam pelaksanaan tindak pidana masih berjalan dan ia masih yakin bahwa alat bukti mencukupi.

“Apakah kemudian hal tersebut berbeda situasinya dengan tersangka dari penyelenggara negara dalam hal ini dari TNI? Apakah ternyata berbeda itu harus dijelaskan oleh TNI," kata Zaenur.

Poin lain yang menjadi catatan adalah kasus ini menjadi preseden buruk bagi TNI maupun KPK. Sebab, penghentian menandakan ada kegagalan dalam upaya pengungkapan kasus korupsi pengadaan heli.

Di sisi lain, hal ini memicu potensi KPK untuk menghentikan penyidikan perkara heli AW 101. Ia beralasan, penyelenggara negara dalam kasus heli tidak ada sehingga bisa saja bernasib seperti kasus SKL BLBI.

Sebagai catatan, penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam kasus korupsi SKL BLBI dihentikan KPK karena Mahkamah Agung menyatakan penyelenggara negara, yakni Syafruddin Arsyad Temenggung divonis lepas. Meski Zaenur meyakini KPK tetap bisa melanjutkan penyidikan, lembaga antirasuah malah memutus SP3 dan menghentikan penyidikan kasus tersebut.

Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru memandang proses penyidikan yang dilakukan TNI sudah tepat. “Kalau di TNI-nya sih wajar karena itu salah arah. Selama ini penyidikannya karena pada waktu itu zamannya Pak Gatot itu kesannya dipaksakan kasus itu," tutur Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (28/12/2021).

Fahmi mengingatkan, kasus AW 101 diawali dengan upaya pembelian helikopter sesuai permintaan istana. Kala itu, Presiden Jokowi yang baru menjabat ingin agar helikopter kepresidenan yang biasa menggunakan Super Puma diganti dengan AW 101 yang lebih nyaman.

Akan tetapi, Jokowi memutuskan enggan untuk membeli karena harga yang mahal, sementara Indonesia tengah membutuhkan uang kala itu. Kemudian ada klaim dari pihak PT Dirgantara Indonesia (PT DI) bahwa mereka bisa memberikan spek serupa AW 101. Akan tetapi, TNI AU kala itu kurang setuju membeli di PT DI karena PT DI kerap kali tidak memenuhi ekspektasi TNI AU kala itu.

“PT DI dianggap waktu itu ya banyak enggak sesuai lah sehingga TNI AU enggak respek. Itu memperkeruh situasi. konflik TNI AU dan PT DI memperkeruh situasi," kata Fahmi.

Selain itu, ada kasus korupsi pengadaan heli AW 101 di India. Kala itu, menteri pertahanan India terjerat hukum karena pengadaan heli tersebut diduga ada korupsi. Hal itu mempengaruhi Jokowi untuk membatalkan pembelian heli, kata Fahmi.

Selain faktor-faktor tersebut, Fahmi juga menegaskan kasus heli AW 101 sulit menjadi kasus korupsi dari sisi TNI karena posisi TNI AU sebagai kuasa pengguna anggaran. Ia mengingatkan, TNI AU hanya bisa melaksanakan amanah pembelian sesuai postur anggaran yang disusun oleh Kementerian Pertahanan maupun Sekretariat Negara selaku Kuasa Anggaran.

Dari pendekatan tersebut, proses skema pengadaan TNI AU dalam kasus alutsista heli AW 101 bersifat top down atau instruksi dari atas, bukan dari internal TNI AU yang menyarankan. Ia menilai masalah heli AW ini merupakan titipan dari istana, tetapi dengan anggaran TNI AU.

Fahmi juga mengingatkan bahwa anggaran pembelian alutsista bisa saja dicairkan lebih dulu karena banyak pembelian alutsista terlambat. Sebagai contoh, pengadaan heli AW 101 bisa saja pada 2015. Uang pengadaan dicairkan terlebih dahulu ke rekening penampung. Ketika heli datang, uang pengadaan baru diserahkan kepada penjual.

Fahmi menegaskan, "Di TNI barang datang bisa jadi sudah lewat tahun anggaran, tahun anggaran berikutnya sehingga dia dikeluarkan dulu.”

Ia juga mengingatkan kasus korupsi heli AW 101 tidak terlepas dari upaya Gatot menunjukkan bahwa dia pro-pemberantasan korupsi. Hal tersebut, kata Fahmi, tidak bisa dilepaskan karena Gatot berusaha mendapatkan perhatian dari presiden yang baru terpilih.

Oleh karena itu, Fahmi memandang kasus heli tidak layak dilanjutkan kecuali penyidikan dari sisi sipil menemukan bukti yang terang adanya dugaan tindak pidana korupsi di tubuh TNI.

“Kalau dari pihak swasta, KPK silakan saja. Kalau misalnya merasa itu perlu diusut, pihak swastanya dulu. Nanti pembuktian dari pihak swasta itu kan bisa digunakan juga untuk misalnya fakta-fakta persidangan nanti menunjukkan ada masalah di dalam pelaksanaan pengadaannya di tubuh TNI, ya silakan saja dilanjutkan," kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait AW-101 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz