Menuju konten utama
Kekerasan TNI di Papua

Di Balik Respons Pemerintah soal Rasisme & Kekerasan TNI di Papua

Peneliti LIPI Adriana mengingatkan penyelesaian masalah Papua tidak bisa reaksioner, sebab aksi rasisme maupun penganiayaan memicu dendam.

Di Balik Respons Pemerintah soal Rasisme & Kekerasan TNI di Papua
Kekerasan Aparat POM AU di Papua. instagram/LBH Jakarta

tirto.id - "Sesuai arahan Bapak Presiden, KSP berharap agar semua lapisan masyarakat, terlebih aparat penegak hukum memiliki perspektif HAM, menekankan pendekatan humanis dan dialogis, utamanya terhadap penyandang disabilitas."

Hal tersebut merupakan bagian respons Istana tentang kasus penganiayaan oleh dua anggota polisi militer Angkatan Udara (POMAU) Lanud J.A Dimara terhadap warga difabel di Papua. Aksi penganiayaan yang berlangsung di Merauke itu menarik perhatian publik dan ramai diperbincangkan di dunia maya pada 27 Juli 2021.

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyebut aksi dua anggota TNI AU tersebut sudah eksesif dan di luar standar yang berlaku. Ia memastikan KSP sebagai bagian dari Istana akan menindak tegas pelanggar tersebut sesuai aturan yang berlaku.

"KSP akan memastikan bahwa pelaku diproses secara hukum yang transparan dan akuntabel, serta memastikan korban mendapat perlindungan serta pemulihan," kata pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.

Sehari sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo pun meminta maaf kepada semua pihak atas perilaku kasar anak buahnya kepada warga Papua.

"Saya selaku Kepala Staf Angkatan Udara ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh saudara-saudara kita di Papua khususnya warga di Merauke, terkhusus lagi kepada korban dan keluarganya," kata Fadjar dalam keterangan video kepada wartawan, Selasa (27/7/2021).

Fadjar menegaskan, aksi kedua anggota TNI AU itu adalah kesalahan anggota dan tidak ada perintah secara kedinasan soal aksi kepada warga Papua difabel tersebut. Ia pun berjanji akan menindak tegas anggotanya.

"Kami akan mengevaluasi seluruh anggota kami dan juga akan menindak secara tegas terhadap pelaku yang berbuat kesalahan. Sekali lagi saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang setinggi-tingginya. Mohon dibuka pintu maaf," kata Fadjar.

Direspons Cepat Pemerintah Pusat dan TNI

Dalam catatan Tirto, TNI AU dan pemerintah pusat tergolong cepat dalam merespons kasus penganiayaan warga difabel Papua dibandingkan sejumlah kasus berkaitan rasisme warga Papua.

Pada kasus pernyataan rasisme kepada mahasiswa Papua di Asrama Papua Surabaya, 16 Agustus 2019, kepolisian baru menetapkan tersangka pada Rabu, 28 Agustus 2019 atau 12 hari setelah kejadian. Polisi menetapkan 3 tersangka yakni Tri Susanti, Wakil Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri dan 2 tersangka lain yang salah satunya adalah ASN bernama Syamsul Arifin.

Hasilnya? Syamsul dihukum cukup 5 bulan penjara. Di sisi lain, sejumlah aktivis yang sempat berdemo di Jakarta, menyinggung soal aksi rasisme kepada warga Papua justru dikenakan hukuman lebih tinggi, yakni 8-9 bulan penjara.

Lain lagi soal kasus kematian Pdt. Yeremia yang terjadi pada Sabtu, 19 September 2020. Kala itu, kasus Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Hitadipa itu menjadi polemik karena saling klaim Yeremia ditembak oleh kelompok kekerasan bersenjata (KKB) atau oleh TNI.

Pada akhirnya, Komnas HAM turun tangan dan mengumumkan hasil pemeriksaan mereka bahwa Yeremia ditembak oleh TNI pada 2 November 2020. Salah satu pelaku adalah Wakil Komandan Rayon Militer Hitadipa Alpius Hasim Madi.

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD sudah mengatakan bahwa ada indikasi penembak Yeremia adalah tentara. Hal tersebut berdasarkan hasil penelusuran Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Mahfud yang bekerja sejak 1-14 Oktober 2020.

TNI AD pun langsung menindaklanjuti temuan Komnas HAM dan tim pemerintah. Meski temuan tersebut mengalami kecocokan, tapi pemerintah baru benar-benar bergerak dalam kasus Yeremia setelah seminggu lebih aksi penembakan terjadi.

Dalam kasus penganiayaan warga difabel Papua, video tersebut mulai menjadi perbincangan dan viral di media sosial pada Selasa (27/7/2021) sore. Tidak sampai 24 jam, KSAU langsung meminta maaf kepada publik dan pemerintah pusat langsung merespons dengan menjamin penegakan hukum secara komprehensif.

Peneliti LIPI Adriana Elizabeth berpendapat, sikap TNI AU yang langsung bertindak cepat memberikan dampak positif sekaligus negatif. Menurut Adriana, TNI AU sudah benar dengan meminta maaf, tetapi harus diikuti dengan pemberian keadilan bagi korban.

"Bagaimana seorang KSAU akhirnya minta maaf coba? Itu kan sebuah sikap yang menurut saya kita apresiasi juga, tetapi tentunya tidak cukup hanya itu. Tetap harus ada, tadi approach kepada keluarga, kepada korban itu sendiri seperti apa, karena tindakan-tindakan seperti itu pasti meninggalkan luka, luka batin, kejengkelan, kemarahan, dendam dan sebagainya," kata Adriana kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Adriana mengingatkan, luka batin, kejengkelan, kemarahan dan dendam sulit diatasi dan menimbulkan luka mental. Jika tidak ditangani, maka trauma tersebut akan menjadi siklus kebencian.

Ia tidak memungkiri, TNI juga mempunyai jasa bagi Papua, tetapi warga Papua tidak perlu mendapat perlakuan kasar seperti Anggota POMAU yang menganiaya warga Papua. Ia menilai perlu ada penegakan hukum secara fair selain berbasis keadilan.

"Menurut saya cepat itu baik, dan juga penting untuk menunjukkan concern TNI, tetapi itu tidak cukup, tetap harus dibarengi dengan proses fair dan transparan, terbuka dan terutama memenuhi rasa keadilan korban. Ini kan selalu menjadi persoalan di Papua," kata Adriana.

Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, aksi TNI AU masih belum sepenuhnya ikhlas dalam aksi video penganiayaan warga Papua. Ia mengacu kepada masih ada upaya TNI AU mengusut penyebar video dan informasi bahwa orang Papua tersebut kerap membuat onar.

"TNI AU dalam hal ini tampaknya berusaha membuat kesan bahwa apa yang dilakukan anggotanya itu 'wajar' dan dapat dipahami. Itu mungkin akan membantu meringankan kedua prajurit dalam proses hukum. Sayangnya mereka sekaligus malah terkesan mempermasalahkan perekaman dan penyebarluasan video kejadian tersebut, ini mengurangi makna ketulusan permintaan maaf dan janji tindak tegas yang disampaikan," kata Fahmi dalam keterangan tertulis, Rabu (28/7/2021).

Fahmi melihat, aksi tersebut menimbulkan propaganda negatif kuat dan mengganggu citra TNI, apalagi TNI tengah memperbaiki citra lewat dunia maya dan kejadian berlangsung di Papua.

Bagi Fahmi, kejadian penganiayaan oleh POMAU harus dihukum lebih berat dan diproses secara adil. Ia mengingatkan kedua anggota yang menganiaya berasal dari lingkungan penegak hukum militer yang mesti jadi teladan.

"Mengingat para tersangka berasal dari lingkungan penegak hukum militer yang mestinya menjadi teladan soal kedisiplinan, ketaatan pada hukum, serta selalu waspada menjaga perilakunya di ruang publik, apalagi di daerah konflik, maka sanksi yang dijatuhkan dapat lebih berat untuk menjadi peringatan bahwa kelengahan dan kelalaian seperti itu tidak dapat ditolerir," kata Fahmi.

Selain itu, Fahmi menyinggung bahwa Papua masih berstatus daerah rentan konflik, apalagi pemerintah akan menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) dalam waktu dekat.

"TNI juga harus terus mengingatkan para personelnya di lapangan, terutama di daerah rentan konflik seperti Papua untuk selalu berhati-hati, waspada dan disiplin. Setidaknya, mengingat Papua dalam waktu dekat akan menjadi tuan rumah hajatan olahraga nasional (PON), maka kesalahan sekecil apa pun yang berpotensi memicu masalah dan ketidakpuasan yang meluas, harus dapat dihindari," kata Fahmi.

Ada Motif Lain di Balik Kecepatan Respons Pemerintah?

Adriana mengingatkan, pemerintah tidak boleh sebatas cepat dalam merespons kasus Papua seperti insiden penganiayaan di Merauke. Ia menilai, pemerintah harus menyiapkan sebuah skema perdamaian. Sebab, sampai saat ini pemerintah masih setengah-setengah dalam merespons masalah Papua dan cendrung reaksioner.

"Kalau dilihat bahwa eskalasi kekerasan, ya sejak 2018 paling tidak itu meningkat ya, dan ditambah dengan kasus-kasus seperti yang kemarin, itu sebetulnya sifatnya pendekatan itu masih reaktif. Reaktif hanya untuk meredakan segera," kata Adriana.

Menurut Adriana, penyelesaian masalah Papua tidak bisa berbasis reaksioner. Ia mengingatkan kembali bahwa aksi rasisme maupun penganiayaan kepada warga Papua memicu dendam, kejengkelan hingga kemarahan warga Papua.

Adriana pun tidak memungkiri upaya meminta maaf berkaitan dengan kepentingan pemerintah, salah satunya soal PON. Ia yakin pemerintah tidak ingin agenda PON terganggu sehingga insiden seperti yang terjadi di Merauke harus segera dihentikan.

Di sisi lain, kata Adriana, pelaksanaan PON yang lancar akan memberikan dampak baik di tengah stigma dunia internasional soal situasi Papua.

"Papua ini kan sebuah image untuk Indonesia. Nah untuk menjadikan Papua sebagai image yang bagus, ya harus diupayakan hal-hal yang tidak buruk terjadi, tetapi sekali lagi tidak bisa instan. Yang saya bilang tidak bisa hanya karena harus ada PON, tapi betul-betul harus dari dasar persoalan itu yang harus diselesaikan," kata Adriana.

Pemerintah, kata Adriana, perlu merancang peace policy jangka panjang untuk menyelesaikan konflik Papua bila berkomitmen menyelesaikan konflik Papua.

Salah satu hal yang menjadi penekanan adalah upaya menghilangkan pandangan diskriminasi dan memandang setara warga Papua di masyarakat. Ia beralasan, masih ada kelompok di Papua yang menaruh curiga dan dendam kepada pemerintah, terutama pemerintah pusat sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif.

Selain soal pandangan diskriminasi, kata dia, pemerintah harus mengedepankan pembangunan yang berbasis kebutuhan warga Papua. Kemudian, pemerintah harus menyelesaikan soal pelanggaran HAM masa lalu di Papua sebagai bentuk komitmen terhadap warga Papua. Terakhir, kata dia, adalah soal penyamaan persepsi soal sejarah di Papua.

"Selama masih ada 4 soal itu, berarti belum menyelesaikan akar persoalannya dan akan terus ada seperti itu. Itu sih kalau saya melihatnya jadi kita putar-putar saja di situ selama ini," kata Adriana.

Sementara itu, Khairul Fahmi juga menilai kecepatan pemerintah dalam menangani konflik Papua kali ini memang baik, tetapi pemerintah tidak bisa menggunakan penanganan yang berbasis cepat tanpa penyelesaian yang komprehensif.

"Merespons cepat itu sebenarnya baik. Tapi alangkah baiknya hal itu ditambah dengan perubahan cara pandang dan pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian masalah Papua, yaitu dari pendekatan sekuritisasi menjadi govermentalisasi," kata Fahmi.

Fahmi menilai, pendekatan dengan kekerasan dan penggunaan senjata harus diganti dengan perbaikan tata kelola pemerintahan. Layanan pemerintahan yang baik dan serius demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua. Masalah Papua bisa ditangani jika diikuti komunikasi publik yang baik dan berbasis realita masyarakat.

Saat ini, Fahmi tidak memungkiri pendekatan pemerintah masih berbasis kepentingan. Namun ia melihat kepentingan di Papua terbagi dalam dua jalur pendekatan, yakni menundukkan sepenuhnya atau bermufakat. Ia memandang, pemerintah sebaiknya menggunakan pendekatan dialog daripada upaya penundukan.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz