tirto.id - "Jika tren kasus terus mengalami penurunan maka 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap"
Hal tersebut dilontarkan Presiden Jokowi, Selasa (20/7/2021) malam atau tepat hari terakhir pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali.
Dalam paparan tersebut, Jokowi menyampaikan sejumlah arah kebijakan pemerintah di masa depan. Pemerintah membolehkan penjualan bahan pokok dengan izin pengunjung dibuka maksimal 50 persen, pasar tradisional diperbolehkan buka sampai pukul 15.00 WIB dengan protokol kesehatan (prokes) ketat.
Kemudian, Jokowi menyatakan pedagang kaki lima, toko kelontong, outlet voucher usaha lain sejenis diizinkan buka dengan prokes ketat hingga pukul 21.00 WIB. Kemudian warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan juga dibolehkan buka hingga pukul 21.00 WIB dan dibolehkan makan di tempat selama 30 menit.
Ia lantas menyampaikan program obat gratis untuk para orang tanpa gejala (OTG) sebanyak 2 juta paket obat hingga angka alokasi anggaran dana perlindungan sosial hingga Rp55,21 triliun.
Namun dari beragam keterangan tersebut, Jokowi tidak menyampaikan pernyataan spesifik soal kelanjutan PPKM darurat atau tidak. Keterangan pernyataan PPKM darurat baru tegas disampaikan dalam akun media sosial Twitter Jokowi @Jokowi. Ia baru menyebut soal perpanjangan PPKM darurat.
"Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan PPKM Darurat sampai 25 Juli 2021. Jika tren kasus COVID-19 terus menurun, maka mulai 26 Juli 2021 dilakukan pembukaan bertahap beberapa jenis kegiatan perekonomian," bunyi cuitan ditambah dengan video penjelasan Jokowi.
Tepat sehari kemudian, Rabu (21/7/2021), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis dua aturan yakni Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 Jawa dan Bali. Sedangkan perpanjangan PPKM mikro diatur dalam Inmendagri Nomor 23 tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro.
Dalam kedua Inmendagri yang diterbitkan 20 Juli 2021 itu menyatakan ketentuan soal kedua PPKM berlaku hingga 25 Juli 2021. Namun, kata PPKM darurat berubah menjadi istilah PPKM Level 4 Jawa-Bali.
"Instruksi Menteri ini mulai berlaku pada 21 Juli 2021 sampai dengan 25 Juli 2021," bunyi diktum ke-13 Inmendagri 22 tahun 2021 maupun diktum ke-23 Inmendagri 23 tahun 2021 sebagaimana dilihat Tirto, Rabu (21/7/2021).
Substansi penerapan PPKM darurat dengan konsep PPKM level 4 maupun PPKM mikro tidak banyak berubah.
Untuk penerapan PPKM Level 3 dan 4 di Jawa Bali aturan berlaku sama dan diatur dalam Inmendagri 22 Tahun 2021. Sedangkan di Inmendagri 23 tahun 2021, ada sedikit perbedaan penerapan untuk PPKM Level 3 dan 4.
Kebijakan Ragu-Ragu akibat Akali Aturan di Masa Lalu
Ahli kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai pernyataan Jokowi terkait perpanjangan PPKM Darurat seperti sedang melakukan uji respons publik. Jokowi ingin tahu respons publik dengan tidak memperpanjang PPKM darurat. Dugaan lain yang dilihat Trubus adalah presiden mengalami tekanan dalam melanjutkan atau tidak kebijakan PPKM darurat sehingga pesan yang disampaikan tidak utuh.
"Ada kepentingan, ada kelompok tertentu yang memaksa lanjut tapi juga di satu sisi ada kelompok-kelompok tertentu minta berhenti. Jadi dia sendiri dalam hatinya enggak yakin dengan kebijakan PPKM darurat itu, setengah hati, gamang dengan kebijakan sendiri," kata Trubus kepada Tirto, Rabu (21/7/2021).
Trubus menilai kegamangan sudah sejak awal dengan pemerintah mengubah-ubah kebijakan penanganan COVID-19 dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB ketat, PSBB transisi, kemudian PPKM, PPKM mikro, penanganan berbasis komunitas, PPKM darurat hingga PPKM level 4.
"Itu semua karena kebingungan untuk menghindari istilah gugatan publik. Jadi dia (Jokowi) yakin ini (kebijakan penanganan COVID) enggak efektif, dia tahu ini enggak efektif," kata Trubus.
Kegamangan tersebut lantas berimbas kepada penanganan di lapangan. Tidak sedikit daerah mengalami kesulitan dalam penanganan COVID dan mulai menyuarakan ketidakcocokan dengan metode pemerintah.
Ia mencontohkan bagaimana Inmendagri sebagai acuan pelaksanaan PPKM darurat bisa berubah hingga 5 kali dalam dua minggu. Perbedaan pemahaman soal aturan ini memicu psikologi pelaksanaan di lapangan berbenturan antara rakyat dengan petugas lapangan.
Trubus mengaku, permasalahan penanganan pandemi sudah sejak awal. Ia melihat, pemerintah sudah berusaha menjauhi dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah menghindari pelaksanaan karantina sesuai pasal 9 UU Kekarantinaan Kesehatan soal karantina wilayah, tetapi lebih menggunakan pendekatan pasal 10 UU Kekarantinaan Kesehatan lewat program PSBB.
"Sejak awal Undang-undang nomor 6 tahun 2018 yang menandatangani siapa? Pak Jokowi sendiri. Kok kenapa dia enggak mau menggunakan undang-undang itu dalam menyelesaikan soal COVID?" tanya Trubus.
Kini, kata Trubus, pemerintah hanya bisa melakukan dua hal setelah mengubah kebijakan. Pertama, pemerintah harus memperketat pengawasan sesuai aturan yang diterbitkan. Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana mengawasi sektor-sektor setelah dibuka pemerintah. Ia beralasan, klaster penyebaran COVID tidak lagi di sektor publik, tetapi lebih pada sektor keluarga.
"Yang kedua adalah law enforcement. Penegakan hukum bisa enggak? Kalau ini bisa, ya jalan (program PPKM level 4), kalau enggak bisa ya sudah," kata Trubus.
Jokowi Niat Beri Pesan Positif, Tetap Saja Dimaknai Negatif
Ahli komunikasi politik dari Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo melihat Jokowi tengah melakukan langkah-langkah komunikasi politik. Jokowi tengah berusaha membangun semangat positif dengan tidak ada PPKM lagi di masa depan dan berjanji tidak ada lagi PPKM.
"Yang dilakukan oleh Jokowi adalah melakukan manajemen harapan sehingga dia lebih banyak berbicara pelonggaran PPKM darurat dan pembukaan tempat makan, pasar, dan lain-lain yang sebenarnya itu adalah seperti memberikan harapan bahwa kita sebentar lagi sudah normal lagi, enggak ada PPKM darurat," kata Kunto kepada Tirto, Rabu (21/7/2021).
"Jadi ya secara politik ini adalah janji politik," tegas Kunto.
Namun, Kunto melihat janji politik Jokowi ini berbeda. Ia khawatir, desakan untuk tidak berbicara soal PPKM muncul dari lingkaran Jokowi yang ingin mengedepankan masalah ekonomi daripada penanganan kesehatan.
Bagi Kunto, narasi tersebut tidak heran dikeluarkan Jokowi karena pemerintahan Jokowi memang mengedepankan ekonomi daripada penanganan kesehatan. Kunto pun tidak melihat aksi Jokowi sebagai upaya untuk menarik simpati publik.
Sebagai catatan, hasil salah satu lembaga survei, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan kepercayaan publik turun hingga di bawah 50 persen.
Kunto justru melihat permasalahan kepercayaan publik berawal dari ketidakmampuan pemerintah dalam menangani COVID. Rakyat, kata Kunto, secara langsung merasakan penderitaan permasalahan penanganan COVID-19 di Indonesia seperti ketidakmampuan rumah sakit menangani pasien serta kebingungan rakyat dalam merespons pandemi sementara pemerintah tidak memberikan informasi dengan jelas.
Kunto menegaskan, gaya komunikasi pemerintah buruk sejak awal. Ia mengacu kepada pendekatan pemerintah sejak awal dalam menyampaikan soal pandemi COVID. Ia mengungkit salah satu momen ketika Kantor Staf Kepresidenan ingin agar komunikasi pemerintah tentang COVID berupaya menghindari kepanikan. Hal tersebut, kata Kunto, berbanding terbalik dengan jurnal ilmiah komunikasi bahwa komunikasi di saat manajemen krisis justru lebih baik bersifat transparan.
Kedua adalah pendekatan pemerintah sejak awal menekankan 80 persen non-kesehatan daripada kesehatan yang hanya 20 persen.
"Sebenarnya bukan warga yang dikhawatirkan panik, yang panik itu adalah yang punya industri pelaku pasar besar yang takut bahwa dengan PPKM segala macam keuntungan mereka akan jadi berkurang. Jadi menurut saya publik mana yang diserve pemerintah jadi bermasalah dalam komunikasi publik masa pandemi," kata Kunto.
Kunto menuturkan, situasi ketidakpercayaan semakin membesar dengan sikap ambigu pemerintah. Pemerintah justru mengubah-ubah kebijakan dalam penanganan COVID lewat perubahan status PPKM darurat menjadi PPKM level 4.
Bagi Kunto, "Ini (perubahan istilah dari PPKM darurat ke PPKM level 4) juga yang bikin komunikasi tidak efektif, ganti-ganti istilah sehingga makin tidak jelas apa substansinya," kata Kunto.
Kini, Kunto melihat situasi apapun sulit mengembalikan kepercayaan publik. Kunto menilai satu-satunya cara untuk memperbaiki kepercayaan publik pada pemerintah adalah dengan memperbaiki pelayanan. Ia melihat tidak ada metode lain, termasuk perbaikan metode komunikasi, dalam memperbaiki citra pemerintah di mata publik.
"Kalaupun komunikasi bagus, minta maaf seribu kali kek mau kemudian membuat janji-janji yang luar biasa, mau blusukan tapi kalau tetap banyak korban di warga gara-gara COVID ya komunikasi sebagus apapun tidak akan bisa meredam itu (kekesalan publik kepada pemerintah)," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri