tirto.id - Pada 15 Juli 2021, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua resmi disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna di DPR. Pengesahan itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan lompatan kemajuan kesejahteraan di Provinsi Papua.
Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (17/7), menyatakan ada tiga pendekatan dalam aturan terbaru ini, yaitu: segi kuantitatif (peningkatan penerimaan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum Nasional); segi kualitatif (penggunaan dana otsus ditentukan secara spesifik persentase minimal penggunaannya dalam aspek-aspek strategis yang mendorong pembangunan kesejahteraan); dan segi akuntabilitas (penggunaan dana otsus diatur untuk dipergunakan dengan mengedepankan prinsip pengelolaan keuangan yang baik melalui pengawasan secara koordinatif).
Dalam UU Otsus Papua terbaru, ketentuan Pasal 76, perihal pemekaran wilayah, diubah. Kini terdapat lima ayat dalam aturan tersebut. Misalnya, dalam ayat 3 menyebutkan “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.”
Artinya, ayat tersebut semakin mencerminkan bahwa UU Otsus Papua bersifat lex specialis derogat legi generali. Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan berpendapat formula Pasal 76 UU Otsus baru sama dengan UU Otsus lama, yakni atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.
Bedanya, di UU Otsus baru, selain pemekaran menjadi wilayah provinsi, parlemen dapat pula menyetujui pemekaran kabupaten dan kota. “Artinya, sekarang itu posisi MRP dan DPRP lebih kuat,” ujar dia kepada reporter Tirto, Jumat (16/7/2021). Perihal ayat (3), ada pengecualian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Jika merujuk kepada UU Pemda, maka pemekaran wilayah adalah kehalalan. Namun, harus melewati mekanisme ‘Daerah Persiapan’ dan ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Daerah Persiapan adalah bagian dari satu atau lebih daerah yang bersanding, yang dipersiapkan untuk dibentuk menjadi daerah baru.
Daerah Persiapan akan dievaluasi per tahun selama 3 tahun. Bila daerah administratif itu memenuhi persyaratan pembentukan daerah baru, maka pemerintah bisa meresmikannya menjadi daerah otonom.
“Untuk Papua, dikecualikan. Jika tak menggunakan mekanisme Daerah Persiapan, (pemerintah pusat) harus betul-betul selektif dalam pembentukan daerah otonom. Jangan sampai daerah itu tidak berkemampuan, (lalu) dipaksa dan gagal jadi daerah otonom baru. Hati-hati,” kata Djohermansyah.
Indikator keberhasilannya tercantum dalam ayat (2), yakni “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.”
“Itu ukuran yang harus dipedomani ketika pemekaran di Tanah Papua,” imbuh Djohermansyah.
Isu pemekaran wilayah Papua adalah bahasan klasik, bahkan kelahiran Provinsi Papua Tengah pun sering dibicarakan. Namun, ada juga yang ingin wilayahnya menjadi daerah otonom baru yakni masyarakat adat Tanah Tabi dan Saireri.
Peneliti masalah Papua dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyatakan pemekaran baru akan lebih bermanfaat bagi masyarakat pendatang. Itu kegelisahan yang harus diperhitungkan, karena jumlah orang Papua tak banyak. Contohnya, orang pendatang mengisi bangku birokrasi.
“Ada kekhawatiran sebagian orang bahwa ini proyek orang-orang tertentu atau kepentingan elite, tak punya proyeksi jangka panjang menyelesaikan permasalahan kesejahteraan,” ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat (16/7/2021).
Papua adalah daerah konflik. Lantas bila pemerintah punya kepentingan strategis nasional dalam konteks pemekaran, bagaimana memberitahukan kepada orang Papua?
Tantangan lainnya, pemerintah harus bisa mengkomunikasikan rencana itu kepada orang Papua. Misalnya, perihal pembangunan pangkalan militer di daerah otonom baru. Tentu bagi rakyat Papua, keberadaan militer bukan lah sekadar pembawa kedamaian lantaran aparat pun melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang asli Papua. Hal itu memperkuat traumatis penduduk.
Pemerintah mesti lihat betul kondisi riil Papua saat ini. Sementara tuntutan daerah baru masih sama, yaitu ada pemerintahan yang berjalan, pengelolaan anggaran, harus membangun ini-itu, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Orang asli Papua mesti dibantu. Kalau daerah baru itu mau dibuat seperti apa? Konflik di antara Papua juga lumayan tinggi,” tutur Adriana. “Sebelum sampai ke pemekaran, harus selesaikan dahulu masalah-masalah yang ada selama ini.”
Jalan Baru Genosida?
Pemekaran dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi,dan perkembangan pada masa mendatang. Namun ada kendala.
“Pengusulan daerah otonom baru tidak betul-betul dari rakyat. Pemekaran akan menyulitkan orang asli Papua. Pemekaran yang ada, tidak berdampak signifikan,” kata anggota Komisi I DPRP Nioluen Kotouki, kepada reporter Tirto, Jumat (16/7). Meski ada otonomi khusus, kesejahteraan orang asli Papua (OAP) belum meningkat.
Ia mencontohkan di kota-kota besar di Papua, penduduk asli tidak memiliki kios bakal berdagang. Sebaliknya, para pendatang lah yang memiliki toko. Kesenjangan ini adalah bukti nyata. Papua butuh desain utama perihal pembangunan sumber daya manusia agar orang Papua bisa bertumbuh optimal, kata dia.
Bahkan Nioluen berpendapat, pemekaran ini adalah kemauan dari pejabat setempat yang memimpin dua periode. Misalnya, bupati yang tak ingin kehilangan jabatannya. Masalah lain soal pemekaran adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang ia rasa dapat menjadi beban.
“Jakarta (pemerintah pusat) hanya melihat dari ideologi bangsa, jadi kesejahteraan tak benar terjadi. Mari bangun Papua dengan hati, jangan hanya analisis,” kata Nioluen.
Pada Minggu (18/7/2021), kepada reporter Tirto, aktivis dari Bumi Cenderawasih, Filep Jacob Semuel Karma, menyatakan orang Papua sampai hari ini tidak dianggap sebagai manusia. Orang Papua punya buah pikiran ihwal kesejahteraannya, tapi tidak dipandang. Sementara pemerintah pusat merasa lebih tahu apa yang membuat orang Papua sejahtera.
Bahkan pemberlakuan UU Otsus terbaru membuktikan pemerintah Indonesia membeda-bedakan orang Papua. “Ini pemaksaan politik, Devide et Impera di era modern. Karena kepentingan dari kapitalisme yang dipertahankan lewat kolonialisme yang rasis dan diskriminatif,” kata Filep.
Diskriminatif yang Filep maksud karena pemerintah pusat tak meminta aspirasi rakyat Papua, dan pemerintah pusat sesuka hati memekarkan daerah. Salah satu masalah yang timbul akibat pemekaran: perang suku. Misalnya, pembagian kabupaten tak memperhatikan bahwa tanah tersebut milik suku lainnya.
“Ini strategi untuk me-genosida-kan orang Papua secara kasar maupun halus. Sebab orang Papua merasa punya harga diri, kalau dia punya tanah adat. Tapi kalau tanah adat dirampas, maka hidupnya terlunta seperti pengemis di Jakarta.” Meski secara kacamata pembangunan, pemekaran adalah sebuah kemajuan. Tapi dari sisi sosial, lanjut Filep, pemekaran merupakan kehancuran.
Papua ia anggap sebagai wilayah jajahan Indonesia, pemerintah pusat memaksakan kehendaknya sehingga rakyat tanah jajahan tak berhak didengar. Meski isu pemekaran ini belum tahu kapan dilaksanakan, Filep mengklaim dirinya tetap konsisten dengan upaya yang ia lakukan.
“Saya akan tetap konsisten, perjuangan Papua Merdeka. Hanya itu solusi bagi orang Papua. Jika tidak dengan itu, kami musnah,” kata Filep.
Hal senada diungkapkan mantan tahanan kasus dugaan makar, Buchtar Tabuni. Ia menolak jika kawasan Papua dimekarkan. “Tidak mungkin saya setuju, karena pemekaran bukan untuk orang Papua. Itu penciptaan lahan untuk marginalisasi orang Papua. Orang Papua disingkirkan, orang lain datang isi,” ujar dia kepada Tirto, Minggu (18/7).
Bagi Buchtar, konflik Papua turut membesar seiring dengan lahirnya daerah-daerah otonom baru di tanah kelahirannya. Ia menawarkan solusi bagi pemerintah, yakni dialog antara pemerintah Indonesia dengan Provisional Government of West Papua (Pemerintah Sementara West Papua, terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat), sebelum eksekusi pemekaran.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz