tirto.id - Salah satu kebijakan yang tengah diupayakan pemerintah pusat terhadap Papua dalam konteks otonomi khusus (otsus) adalah melakukan pemekaran. Mereka mau ada provinsi lain di luar Papua dan Papua Barat, yaitu Papua Tengah. Sebagaimana otsus jilid II, rencana pemekaran pun mendapatkan penolakan.
Selasa (23/2/2021) lalu berlangsung aksi serentak dari para mahasiswa di Malang, Bandung, dan Pontianak.
Koordinator aksi dari Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua se-Malang Raya Warius Wilil menyatakan pemekaran tak membawa kesejahteraan sebagaimana juga otsus secara umum. Menurutnya otsus yang berlangsung sejak 2001 tidak memberikan keistimewaan apa pun bagi rakyat, malah menimbulkan pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang aspirasi menuntut referendum.
"Ini menjadi bukti kuat bahwa otsus jilid I yang diberlakukan di atas Tanah Papua gagal total," ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa.
Penolakan juga datang dari Ketua Ikatan Mahasiswa se-Tanah Papua Bandung Yudas Paragaye. Ia meminta pemerintah menghentikan membuat kebijakan yang tidak melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda Papua termasuk pembentukan Provinsi Papua Tengah. Bagi dia, bila ada Provinsi Papua Tengah, akan semakin banyak pendatang yang menguasai sumber daya dan sumber penghidupan lain sehingga orang asli Papua tersingkir.
Sedangkan Solidaritas Mahasiswa/i Papua Wilayah Adat Lapago dan Meepago Kota Pontianak menentang munculnya Provinsi Papua Tengah karena menurutnya itu tidak sesuai dengan prosedur.
Menanggapi segala tuntutan tersebut, Wakil Ketua I DPRD Dogiyai Simon Petrus Pekei mengatakan "kalau masyarakatku tolak pemekaran Provinsi Papua Tengah, maka kami DPRD Dogiyai secara kelembagaan juga ikut mendukung keinginan masyarakat." "Jadi kami tolak pemekaran itu," katanya, mengutip Jubi.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Nioluen Kotouki juga menolak usul pemekaran. "Dalam posisi ini rakyat Papua akan dimarjinalkan sekalipun di atas tanah sendiri," tutur dia kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).
Salah satu alasan penolakan terkait syarat yang menurutnya tak terpenuhi. Persyaratan pemekaran daerah tercantum dalam Pasal 33-43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan khusus Papua juga diatur dalam UU Otsus. Dalam dua regulasi itu, "DPRP dan MRP (Majelis Rakyat Papua) berwenang untuk menimbang dan menyetujui," yang itu "tak dijalankan".
MRP adalah representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, demikian tercantum dalam UU Otsus.
Nioluen mengatakan alih-alih aspirasi masyarakat, usul pemekaran adalah upaya pusat untuk meredam kemarahan orang Papua karena diperlakukan rasis dan agar mereka tidak menolak otsus diperpanjang.
Cahyo Pamungkas, peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, mengatakan memang yang paling diuntungkan dari pemekaran adalah elite Papua, bukan warga biasa. "Jika provinsi baru, mungkin akan mengulang Irian Jaya Barat. Kemungkinannya tidak akan mencapai sasaran karena tidak didukung oleh masyarakat Papua," jelas Cahyo kepada reporter Tirto, Rabu.
Pada akhirnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat pun terus muncul dan menurut Cahyo sulit hilang.
Di samping yang menolak, ada pula yang setuju. Dalam acara Forum Kepala Daerah Se-Tanah Tabi dan Saireri serta Tim Pemekaran DOB di Provinsi Papua di Jakarta, 22 Februari, Ketua Persekutuan Wanita Gereja Kristen Injili Papua Dorince Mehue mengatakan "Papua mesti dimekarkan untuk mencapai keadilan sehingga tidak hanya sejumlah wilayah dan wilayah adat saja yang mendapatkan dana otsus yang cukup."
"Kami siap untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat," tambahnya.
Meski setuju, dia menegaskan pusat perlu mengevaluasi penggunaan dan pengelolaan dana otsus hingga kini. Ia juga berujar pusat perlu mengevaluasi otsus bersama MRP--sesuatu yang tak pernah dilakukan.
Menanggapi itu, dalam forum yang sama, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan berjanji menindaklanjuti. Dia bilang akan melakukan pemetaan agar wilayah pemekaran tepat dan mengkaji usulan dari para kepala daerah dan tokoh.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino