Menuju konten utama

Pemekaran Papua: Ambisi Jakarta yang Ditolak Warga

Pusat mau Papua dimekarkan jadi lima provinsi. Rencana ini ditolak perwakilan adat, juga dianggap tak bermanfaat bagi orang banyak menurut akademisi.

Pemekaran Papua: Ambisi Jakarta yang Ditolak Warga
Ilustrasi HL Indepth Pemekaran Provinsi Papua Selatan. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pemerintah ingin membuat tiga provinsi baru di Papua sehingga total menjadi lima. Rencana pemekaran ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Menko Polhukam Mahfud MD menegaskannya kembali usai rapat bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta perwakilan TNI-Polri di Gedung MPR/DPR, Jakarta, 11 September 2020.

Mahfud bilang pemekaran ini adalah perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. “Penegasan terhadap pasal 76 tentang pemekaran Papua yang rencananya dimekarkan menjadi lima, ditambah tiga dari yang ada sekarang,” katanya.

Pasal 76 UU Otsus menyebutkan, “pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Di sinilah masalah bagi pusat. Syarat dalam pasal 76 tak bakal terpenuhi karena Ketua MRP Timotius Murib sudah tegas menyatakan “kami menolak rencana pemekaran Papua.” Sikap ini ia sampaikan kepada ketika dihubungi reporter Tirto pada Selasa (15/9/2020).

MRP atau Majelis Rakyat Papua, menurut Pasal 1 huruf g UU Otsus, adalah “representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua.”

Murib mengatakan Presiden Joko Widodo tak pernah sekalipun menemui mereka meski sudah bolak balik ke Papua. Oleh karena itu ia menyimpulkan pembangunan di Papua terlalu ‘atas ke bawah’. Ia tak mendengar aspirasi orang asli, dalam banyak hal, termasuk perkara pemekaran ini. Pemerintah gagal membangun Papua karena seluruh kegiatan tidak dikontrol oleh komunitas.

Model pembangunan ‘atas ke bawah’ ini pula yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan dari orang Papua dan membuat anggapan Indonesia tengah mencengkeram Papua semakin kuat, katanya.

Ia juga mengkritik orang-orang Papua yang pro terhadap pemekaran. Ia menyebut mereka sebagai “golongan yang secara tidak langsung sedang melakukan genosida atau pembasmian orang asli Papua di Tanah Papua.”

Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mengatakan sejak pertama kali Papua Barat dikuasai Indonesia tahun 1960an, ada lebih dari 500 ribu warga yang jadi korban genosida. Sementara Jim Elmslie, akademisi dari University of Sydney, mengatakan secara demografi orang asli Papua terancam punah. Jumlahnya terus menurun terutama di perkotaan. Ia menyebut ini sebagai ‘slow-motion genocide’.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan “harusnya MRP itu didengar oleh pemerintah” bukan hanya karena itu kewajiban undang-undang, tapi karena merekalah yang paham situasi dan kondisinya. Bila MRP enggan menerima usulan pemekaran, maka rencana itu sebaiknya ditunda saja.

“Meski ada masyarakat adat yang mendukung, tapi harus didiskusikan bersama. Pemerintah harus dengar langsung dari mereka. Harusnya MRP itu didengar oleh pemerintah,” katanya, Rabu (16/9/2020).

Jika dipaksakan, maka rakyat Papua bakal semakin curiga ada maksud jahat, entah itu kepentingan politik, eksploitasi sumber daya, atau kontrol keamanan.

Semuanya hanya akan menambah luka orang Papua. “Luka lama belum sembuh, ada luka baru. Apakah dengan pemekaran akan semakin baik? Belum tentu pemekaran meningkatkan kesejahteraan.”

Hanya Menguntungkan Elite

Elvira Rumkabu, pengajar di FISIP Universitas Cenderawasih, Jayapura berpendapat serupa. Pertama, menurutnya pemekaran ini kerap kali tak melibatkan masyarakat Papua--pola yang sejak dahulu tak berubah. Bahkan evaluasi dari pemekaran pun tak ada, misalnya dari kelahiran provinsi Papua Barat atau kabupaten. Akibatnya adalah tidak ada kemajuan.

“Justru angka kekerasan meningkat, indeks pembangunan manusia Papua tetap di bawah rata-rata nasional. Dilihat secara umum, sebenarnya [dampak pemekaran] semakin buruk, bukan membaik,” kata Elvira, Rabu (16/9/2020). “Jika sejahtera, orang Papua tidak akan seresisten ini. Kalau memang sejahtera, suara-suara [yang menolak pemekaran] itu bisa berkurang.”

Kekerasan, selain dari aparat secara langsung, juga berasal dari intimidasi dari korporasi yang tidak berkaitan dengan Organisasi Papua Merdeka. Konflik horizontal juga makin banyak seiring dengan arus migrasi.

Namun tetap saja ada yang diuntungkan dari kebijakan ini. Itu adalah para elite.

“Kebijakan ini akan semakin menguntungkan elite-elite tertentu. Semakin banyak pemekaran, pembangunan, dan banyak korporasi yang datang. Ini kebuntuan, seolah pemerintah tak bisa tawarkan hal lain,” katanya.

Baca juga artikel terkait PEMEKARAN PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino