tirto.id - “Kita membangun di Merauke untuk timbulkan bencana. Satu kali menggali tanah, dua kali bencana. Di utara [Jayapura], orang merusak gunung bisa dua kali untung. Di sini tak ada gunung.”
Pernyataan ini disampaikan Xaverius Bavo Gebze, ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-Imbuti yang membawahi masyarakat adat Merauke di wilayah kota, saat saya menemuinya pertengahan Desember 2019.
Ungkapan ini berasal dari fakta geografi bahwa di Merauke tanpa gunung, cuma pesisir pantai dan hamparan rawa. Tanah datar di Merauke berketinggian maksimal 60 meter di atas permukaan laut.
Hal ini berbeda dengan kawasan Papua di utara yang konturnya bergunung-gunung. Sebagian gunung telah dikepras untuk pelebaran jalan Jayapura. Pasir dan batu bisa dipakai untuk bahan bangunan, meski ada bencana yang mengintai di balik praktik ini.
Gebze berkata penggalian pasir marak terjadi di wilayah Kota Merauke akibat masyarakat adat tak lagi memiliki tanah; sebagian dijual, sebagian “dirampas” oleh negara maupun perusahaan.
Gebze menggambarkan tanah [pasir] di kota dijual oleh pemiliknya kepada sopir truk senilai Rp150ribu sampai Rp300ribu dalam satu bak/rit. Lalu, sopir menjualnya lebih mahal. Biasanya tanah dipakai untuk peninggian bangunan seperti rumah.
“Setelah tanah digali akan jadi rawa setelah hujan datang. Air laut di pesisir masuk ke pemukiman. Sekarang mungkin baru 1 hektare di dalam kota, nanti kalau ada provinsi baru, mungkin jadi 10 hektare,” ujar Gebze.
Peralihan tanah secara adat, katanya, perlu ada pengesahan dari lembaga masyarakat adat (LMA). Di Merauke, ada lima LMA, salah satunya di bawah Gebze.
“Hukum adat ini tersirat. Tanah yang sudah dilepaskan dari pemilik adatnya harus diketahui LMA karena kami tahu silsilah tanah dan akan jadi saksi di pengadilan saat ada gugatan. Tanpa ini, peralihan tanah adat tra sah. Jadi, tak cukup hanya sertifikat tanah,” terangnya.
Apa yang dilakukan warga di Kota Merauke merupakan gambaran aktual dari eksploitasi lahan secara masif tanpa terkendali di ujung selatan Papua.
Warga mengabaikan potensi perusakan lingkungan akibat lubang tambang dari pengerukan tanah secara mandiri. Mereka mengutamakan pendapatan untuk menyambung hidup. Perburuan rente dari eksploitasi lahan telah menjadi cerita umum di Merauke.
Kisah besarnya berupa eksploitasi lahan di Merauke secara masif bermula sejak 2010 lewat program Merauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE), proyek perkebunan raksasa pemerintah Indonesia, saat itu di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mengalokasikan potensi lahan seluas 1.283.000 hektare kepada 36 perusahaan di Merauke, menurut MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind, buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka pada 2011.
Luas potensi lahan garapan para pengusaha ini setara dua kali luas Jakarta atau sepertiga luas Kabupaten Merauke.
Pemerintah meluncurkan MIFEE dengan proyeksi ketahanan pangan dan energi dalam negeri. Namun, menurut Yayasan Pusaka, MIFEE hanya kedok pemilik modal dan pemerintah untuk mencari rente lewat sektor investasi bidang perikanan, sawit, kedelai, jagung, padi, sorgum, dan tebu.
Di Merauke saat ini pertanian meningkat pesat. Gudang-gudang Bulog di Merauke telah penuh sehingga tak ada ruang menampung beras petani. Ribuan ton beras akhirnya dikirim ke kabupaten tetangga, sebagian kecil ke Papua Nugini yang berbatasan Merauke.
Pemerintah Indonesia dan elite lokal di Merauke memproyeksikan daerahnya menjadi provinsi baru di Papua melalui rangkaian pernyataan di media pada September 2019, sebulan setelah protes antirasisme meluas di Papua.
Rencana ini telah muncul dari pernyataan Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mantan Kapolri dan Kapolda Papua, serta elite politik lokal di Merauke.
Deklarasi bakal calon provinsi pun telah berlangsung di Merauke oleh para bupati setempat. Mereka sepakat menyematkan nama bakal calon provinsinya sebagai Papua Selatan.
Pemekaran Papua Selatan sudah di depan mata. Thus, perlu banyak tanah untuk infrastruktur pemerintahan. Artinya, butuh peralihan tanah adat dalam jumlah besar.
Pola-Pola Perampasan Tanah Adat di Papua
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Samperantemenilai ada banyak cacat proses peralihan lahan yang mengindikasikan Merauke tidak siap menjadi Provinsi Papua Selatan.
Pada saat kepala daerah di selatan Papua telah mendeklarasikan usulan pemekaran provinsi baru meliputi Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel, ada ancaman perampasan hutan dan lahan adat, ujar Franky.
Posisi hukum hutan adat telah diperkuat Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan hutan adat adalah hutan dalam wilayah masyarakat adat dan bukan lagi hutan negara.
Putusan ini diikuti Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 1/Menhut-II/2013 kepada Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan Kepala Dinas Kehutanan seluruh Indonesia. Namun, hingga kini, nyaris nihil pemerintah daerah yang merespons putusan itu, termasuk di Papua.
Akibat kekosongan hukum ini, negara dan korporasi-korporasi perkebunan dan pertambangan raksasa menggerogoti kawasan hutan Papua.
Hal ini tercatat dalam temuan Yayasan Pusaka, organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi perampasan tanah adat/ulayat Papua selama beberapa tahun terakhir. Temuannya, ada pola-pola perampasan lahan adat di Papua.
Pada saat perlindungan terhadap hutan adat Papua kendor, Kementerian Kehutanan melepaskan 206.800 hektare hutan dari area perlindungan di daerah perbatasan Merauke dan Boven Digoel pada 2018. Rupanya, hutan yang dilepaskan ini sekarang dikuasai oleh PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) agar kayunya dibabat.
Yayasan Pusaka juga mengungkap perusahaan di Boven Digoel memalsukan tanda tangan izin lingkungan pada 2014 untuk usaha pengolahan kayu. Kepala dinas penanaman modal Boven Digoel telah mengeluarkan surat untuk menghentikan seluruh operasi perusahaan modal asing ini sejak November 2019.
Dalam laporan The Gecko Project, organisasi nirlaba yang berfokus pada jurnalisme investigasi, selama beroperasi dengan izin palsu, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) telah membabat 8.300 hektare hutan. Namun, MJR berkilah telah mengantongi izin dan tidak memalsukan tanda tangan.
Laporan Yayasan Pusaka pada September 2019 menyebut kawasan hutan di Merauke dan Boven Digoel yang dialihkan jadi kebun sawit telah menggusur sumber pangan masyarakat adat, mulai dusun sagu, dusun buah, tempat berburu hewan liar, hingga tempat keramat dan sakral yang punya peran sosio-religius bagi masyarakat adat.
Tanah adat di kawasan hutan Papua yang beralih dari masyarakat ke perusahaan kini telah menjadi kebun sawit.
Hingga 2019, ada 1.389.956 hektare kebun sawit di Papua dimiliki 52 perusahaan. Sebanyak 1.082.505 hektare di antaranya dimiliki 42 perusahaan di kawasan hutan dan telah mengantongi surat pelepasan dari pemerintah Indonesia.
Akibatnya, terjadi deforestasi besar-besaran alias penghilangan hutan seluas 228.510 hektare pada 2019, didominasi wilayah Merauke dan Boven Digoel.
Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo MSC, mengatakan ada juga modus perampasan tanah berupa memanfaatkan beberapa orang yang tak memiliki tanah adat tapi dari faam atau marga yang sama.
Perusahaan mengantongi tanda tangan dari oknum yang setuju pengalihan tanah tapi warga adat yang menolak dibiarkan, ujar Amo.
“Oknum ini seolah bertindak atas nama marga atau pemilik tanah. Padahal tidak. Jadi proses peralihan cacat. Ini disebut perampasan karena tak patuh standar internasional dalam perkebunan sawit,” ungkapnya.
Akibatnya, masyarakat sudah tak bisa hidup dari hutan dan menyerah dengan sistem industrial. Mereka bekerja sebagai buruh perusahaan. [PDF]
Franky Samperantemenyebut ada sejumlah pola perampasan tanah adat lainnya. Ia mengukurnya dari proses peralihan dari pemilik tanah ulayat ke tangan perusahaan.
Pelaku perampasan tanah adat di selatan Papua terutama Merauke dan Boven Digoel didominasi oleh korporat, yang biasanya menjanjikan pembangunan di lokasi konsesi kepada pemilik tanah adat, ujar Franky.
“Ada juga model pemilik lahan dibawa ke kota, lalu tanda tangan kesepakatan peralihan lahan di kota. Juga ada intimidasi oleh aparat keamanan Indonesia,” katanya saat kami bertemu di Jayapura pada medio Desember 2019.
Dalam proses peralihan, ada tanah ulayat dihargai sangat rendah cuma Rp75 per meter. Jadi, satu hektare hanya dihargai Rp200.000 hingga Rp250.000.
“Di Merauke atau Boven Digoel, ada kepemilikan perusahaan hingga ribuan hektare yang dibeli dari tanah warga setempat senilai Rp2 miliar sampai Rp3 miliar,” katanya.
Dengan fakta yang ditemukannya, Franky berpendapat pembentukan Provinsi Papua Selatan bakal memperluas praktik perampasan lahan.
Ia menilai negara berpotensi menjadi aktor perampasan secara sistematis lewat pemekaran via penerbitan aturan atau perizinan lokasi.
Modusnya, tanah warga ditetapkan menjadi objek ekonomi dan kepentingan nasional untuk keperluan pemekaran karena elite-elite lokal, yang bersekongkol dengan perusahaan-perusahaan, juga membutuhkan tanah untuk infrastruktur.
Hal ini terjadi dalam kasus Bandara Internasional Mopah Merauke. Tanah ulayat untuk infrastruktur bandara seluas 60 hektare guna apron bandara belum lunas dibayar oleh pemerintah.
“Masalah tanah bandara saja belum selesai, su bicara pemekaran,” ungkapnya.
‘Deforestasi Terparah di Papua ada di Merauke’
Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib menyebut deforestasi terparah di Papua ada di Merauke. Banyak hutan dan lahan adat yang kepemilikannya sudah beralih.
Menurut Murib, perusahaan main klaim, masyarakat kehilangan tanah.
“Seharusnya setelah putusan Mahkamah Konstitusi, pemda bersemangat buat selamatkan tanah rakyat dan adat. Jadi, jangan kasih izin tambang, hak tanaman industri, dan hak pengusahaan hutan. Ini semangatnya kendor, bahkan tak terlihat. Sekarang masyarakat jadi korban,” ujarnya.
Majelis, lanjutnya, telah mengeluarkan Maklumat Nomor 04/MRP/XII/2018. Isinya imbauan agar tanah di Papua tak boleh disertifikasi, tidak boleh dijual dan, bila ada, sertifikasi untuk kepemilikan komunal. Namun, ini tak dipatuhi.
Papua memang memiliki peraturan daerah khusus bernuansa proteksi tanah adat dari praktik culas pengelolaan, yakni Perdasus 21/2008, Perdasus 22/2008, dan Perdasus 23/2008. Namun, menurut analisis Yayasan Pusaka, perdasus ini belum sepenuhnya mengakui tanah adat bahkan cenderung meminggirkan hak masyarakat adat Papua.
Kasus terbaru adalah hibah tanah 90 hektare di Kabupaten Jayawijaya oleh Kepala Suku Besar Pegunungan Tengah Papua Alex Doga. Masyarakat adat menolak hibah karena hanya sepihak.
Dampak dari peralihan tanah ini mengulang kenestapaan yang dialami masyarakat Merauke.
Menurut tokoh Marind, suku asli Merauke, Harry Ndiken, masyarakat pemilik tanah sudah jadi korban berkali-kali: tanah dirampas, tak juga dibayar, dan kini menganggur.
“Mereka kalau sudah terdesak biasanya palang sana-sini. Menggembok bangunan atau memblokir jalan dan bandara. Mereka seperti ini karena tak punya sesuatu untuk bertahan hidup,” ujar Ndiken.
Perempuan dan Anak Paling Rentan
Di sisi lain, kelompok rentan yang paling terkena dampak pemekaran adalah perempuan dan anak. Beatrix Gebze, aktivis perempuan Merauke, menyebut dampak investasi ke perempuan dan anak adalah perubahan pola makan akibat penyempitan ruang hidup.
Kerentanan terjadi pada perempuan karena mereka bertanggung jawab pada urusan dapur, sedangkan laki-laki tidak.
Ketika terjadi situasi itu, perempuan di kampung-kampung bertahan dengan bercocok tanam di pekarangan rumah, hutan yang tersisa, atau kebun yang ada, ujar Beatrix.
“Misalnya hutan marga sendiri habis, mereka bergandengan tangan, mencari makan dari tanah di dusun tetangga, terlepas dari marga yang tak mengizinkan. Tapi karena mereka perempuan, masih diberi kesempatan.”
Isu pemekaran menurut Beatrix bagi mama-mama Papua di Merauke tak sepenting kebutuhan pangan, kesehatan, dan sekolah bagi anak-anaknya.
“Mereka tak menolak pembangunan, namun tak ingin ada pemekaran. Tapi, menuntut kesejahteraan di kampung-kampung seperti penerangan 24 jam, perumahan layak, dan jalan bagus,” ujar Beatrix, yang bekerja di SKP Keuskupan Agung Merauke.
Kehidupan di luar kebun dipilih para perempuan karena situasi bekerja di perkebunan sawit tidak ramah bagi mama-mama Papua.
Laporan Yayasan Pusaka tentang "Setahun Moratorium: Mendesak Negara Memulihkan Hak Masyarakat" pada September 2019 menggambarkan kondisi buruh perempuan di kebun sawit di Sorong, Papua Barat.
Mereka menjadi karyawan tetap setelah bertahun-tahun menjadi buruh harian lepas. Status ini diperoleh tanpa mekanisme industrial. Mereka berdemo untuk jadi karyawan tetap.
Seorang perempuan di Distrik Klasari, Papua Barat, tak bisa berobat penyakit asam lambung ke rumah sakit karena perusahaan sawit. Tempatnya bekerja tak menjalin kerja sama dengan rumah sakit, meski gajinya telah dipotong untuk BPJS Kesehatan.
Respons Gereja: ‘Konflik Lahan itu Tak Mungkin Dihindari’
Dampak negatif pemekaran ke penduduk Papua akibat pembukaan lahan besar-besaran menjadi kekhawatiran Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke Anselmus Amo.
Terutama setelah ia mendengar calon lokasi daerah pemekaran untuk kabupaten berada di Diskrik Muting, daerah kebun sawit berbatasan Kabupaten Boven Digoel, lewat penetapannya sebagai pusat pengembangan wilayah dalam Perpres 57/2014.
“Jadi ke depan pengembangan Merauke ada di Muting. Mau tak mau, pembangunan ke depan akan membuat masyarakat adat di Muting harus merelakan tanah mereka,” ungkapnya.
Padahal penduduk Papua di Muting, yang sebagian besar beragama Katolik, telah menunjukkan sikap penolakan perampasan lahan, sebagaimana ditunjukkan oleh Suku Mahuze Besar di Muting yang menolak penggunaan tanah ulayat untuk perusahaan sawit.
Lokasi lain yang kemungkinan menjadi kabupaten baru adalah daerah Muyu di Kabupaten Boven Digoel sejak ada kunjungan tim dari Kementerian Dalam Negeri pada 2013.
Pada saat penduduk Papua di selatan yang mayoritas adalah umat Katolik menolak pencaplokan lahan, petinggi gereja bersikap lain.
Vikaris Jenderal (Vikjend) Keuskupan Agung Merauke Hendrikus Kariwob berkata konflik lahan sebagai realitas manusia dari satu pembangunan sehingga tidak mungkin dihindari. Orang kedua di Keuskupan Merauke ini justru mendukung pemekaran Papua Selatan dengan dalih pemerataan pembangunan tanpa peduli dampaknya.
“Pasti ada [dampak pembangunan]. Hanya skala besar-kecil [konflik] bisa diminalisir. Di selatan tidak sekeras di wilayah Papua lain. Tingkat pemahaman cukup. Orang sini lemah lembut, menerima dan menyerap dengan baik. Ini pengaruh gereja Katolik,” ujarnya.
Perampasan lahan bagi Bupati Merauke Frederikus Gebze sepertinya bukan masalah besar. Ia justru menyebut perkebunan berpotensi mendatangkan investasi bila ada pemekaran Provinsi Papua Selatan.
Hal ini tak mengherankan mengingat Bupati Merauke periode 2000-2010, John Gluba Gezbe, adalah tokoh penggerak MIFEE menjelang akhir masa jabatannya. Ia juga disebut motor penggerak pemekaran Papua Selatan sejak 2002.
Namun, kondisi keuangan Merauke yang payah tak diperhatikan oleh Frederikus untuk melanjutkan hasrat pemekaran sejak 17 tahun silam.
Di tengah pembiayaan daerah yang bergantung ke pemerintah pusat, Frederikus justru berupaya melanjutkan proyek seperti MIFEE.
Ia bilang pajak dari investasi sektor perkebunan dan sumber daya alam bisa untuk membiayai operasional provinsi baru dan menambal kekurangan pendapatan asli daerah Merauke yang saat ini hanya berkisar Rp100 miliar atau 5 persen dari APBD.
“Jadi menurut hemat kami [pembiayaan provinsi baru] cukup sebenarnya,” katanya.
==========
Laporan ini terbit berkat kolaborasi antara Tirto dan Jubi. Sejak santer usulan pemekaran provinsi Papua dilontarkan oleh pemerintahan Jokowi, mungkin demi menutupi protes antirasisme di seluruh Papua, para elite lokal yang bersekongkol dengan para pencari rente di Jakarta mulai serius menanggapi usulan tersebut. Laporan ini merupakan salah satu seri liputan yang menguji usulan pemekaran itu sekaligus masa depan seperti apa yang dihadapi rakyat Papua dan Indonesia.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Fahri Salam