tirto.id - Gubernur Papua Lukas Enembe memutuskan langkah awal pemekaran provinsi dengan menggandeng akademisi Universitas Cenderawasih. Sejumlah dosen yang bergabung dalam Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua di kampus itu telah bekerja sejak Oktober lalu.
Anggota Tim, Prof. Melkias Hetaria menyebut tak ada batas waktu terkait kajian tapi harus bekerja cepat. Berselang dua bulan bekerja, tim belum berhasil merampungkan kajian.
Namun, dari hasil sementara, dari sisi keuangan, semua daerah di Provinsi Papua tak memenuhi syarat untuk dimekarkan. Sumbangsih pendapatan asli daerah (PAD) ke APBD di bawah 50 persen. Kabupaten Timika sekalipun, tempat PT Freeport Indonesia, tambang emas terbesar dunia, PAD-nya menyumbang 35 persen ke APBD, menurut hitungan Hetaria.
“Dari sisi APBD dan pendanaan tidak memenuhi syarat. Begitu juga dengan provinsi dengan kabupaten/kota hanya mengandalkan pusat lewat dana alokasi umum dan dana alokasi khusus,” katanya.
Hetaria menemukan ada kabupaten hasil pemekaran dengan PAD sangat rendah kurang dari 1 persen dari APBD. Karena itu seharusnya kembali bergabung ke kabupaten induk. Di antaranya Nduga, Yakuhimo, Pegunungan Bintang, dan Mulia.
“Logikanya, kalau tidak memenuhi syarat meski sudah dimekarkan, maka dikembalikan ke induknya. Pasti akan sangat berat kalau dikembalikan. Karena mau tak mau ada pembangunan meski sedikit,” ujar dia.
Secara nasional, pemekaran sejak era otonomi daerah tak menggembirakan. Menurut Hetaria, ada sekitar 85 persen daerah otonom yang seharusnya tak memenuhi syarat meski sudah berjalan.
Aturan pemekaran tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2007, turunan dari UU Pemda lama. Sementara dalam UU Pemda terbaru tahun 2014 hingga kini belum ada turunan PP terkait pemekaran.
“PP 78 itu pemerintah daerah bisa langsung memekarkan provinsi, kabupaten atau kota. Sedangkan UU Pemda baru yang belum ada PP-nya, harus ada semacam daerah otonom sementara. Ini pun harus dibentuk gubernur, bupati atau wali kota bila ada usulan,” kata Hetaria.
Dalam pemekaran, ada sejumlah variabel yang merujuk PP 78/2007 berupa rumusan, di antaranya terkait luas wilayah harus memenuhi skor tertentu, yang semua daerah di Papua telah memenuhi syarat itu.
“Tapi, sisi keuangan masih sulit. Jadi dari sisi akademis memang agak sulit untuk memenuhi persyaratan pembentukan daerah otonom baru di Papua,” ujar dia.
Banyak Kabupaten, Banyak Masalah
Sejak desentralisasi pada 1999, tumbuh kabupaten secara bertahap di Papua dan ada satu provinsi baru di bagian barat.
Semula ada empat kabupaten baru di Papua pada 1999: Puncak Jaya, Mimika, Paniai, dan Kota Sorong. Pada 2002 ada 14 kabupaten yang dimekarkan. Pada 2003, terbentuk Provinsi Papua Barat di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kali terakhir pemekaran Kabupaten Manokwari Selatan di Papua Barat pada 2012.
Pada 2013 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada usulan pemekaran dua provinsi baru, yakni Papua Selatan dan Papua Tengah, serta 21 kabupaten baru. Tapi usulan ini ditolak oleh Gubernur Papua karena 60 persen masyarakat tak setuju.
Dalam analisis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dipimpin peneliti konflik Sidney Jones, pemekaran di satu sisi memberi kesempatan penduduk asli Papua memimpin dan menjadi elite politik. [PDF]
Tapi, di sisi lain, daerah otonomi baru diwarnai konflik internal dalam pemilihan bupati dan kekerasan bersenjata serta kasus korupsi.
Kabupaten Nduga adalah gambaran aktual pemekaran yang bermasalah sejak awal. Ia dimekarkan pada 2008 bersama 4 kabupaten lain dari induknya, yakni Kabupaten Jayawijaya di pusat pegunungan tengah Papua. Kekerasan di Nduga terjadi tak lama setelahnya hingga sekarang.
Dalam laporan IPAC, konflik terjadi jelang pilkada pertama pada 2011 dan pilkada 2013. Kekerasan pecah pada 2013 berupa perang suku selama 4 bulan yang bermula dari tarik menarik penetapan daftar pemilih tetap untuk pilkada 2014. Total 8 orang terbunuh dan ratusan orang terluka. Konflik berakhir damai dengan kompensasi Rp18 miliar kepada korban sebagai "uang darah."
Di luar masalah politik, kekerasan bersenjata adalah dampak pembangunan jalan Trans Papua di Nduga. Dalam rentang 2016-2018, ada 25 orang terbunuh. Pembunuhan terhadap 20 orang terdiri dari 19 pekerja PT Istaka Karya dan 1 prajurit TNI. Ia mengubah wajah Nduga hingga kini.
Perburuan oleh aparat TNI-Polri terhadap pelaku pembunuhan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mendorong lebih dari 30.000 warga Nduga mengungsi, 182 meninggal di kamp pengungsi dan hutan karena kelaparan.
Kekerasan bersenjata berlanjut pada 2019 di Nduga menjelang Hari Natal.
Menurut laporan tabloid JUBI, terjadi baku tembak antara TNI-Polri dan OPM di Jalan Kenyam-Batas Batu. Pada saat bersamaan, 20 Desember 2019, Hendrik Lokbere menjadi korban penembakan aparat karena menyorotkan lampu di jalan tanjakan ke arah aparat yang berjaga.
Pemicu penembakan tak jelas karena kepolisian dan militer masih menyelidiki. Namun, hal ini membuat Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge, mundur. Lokbere adalah sopir dan ajudan wakil bupati. Usai keputusan mundur, muncul kabar Wentimus mengembalikan surat keputusan pembentukan Kabupaten Nduga.
Gagal Bila Bergantung Pusat
Wacana pemekaran provinsi bergulir lagi sejak September 2019, sebulan setelah protes antirasisme secara meluas di Papua.
Setidaknya ada tiga kelompok kepala daerah di Papua telah mendeklarasikan sebagai calon daerah pemekaran berdasarkan wilayah adat. Mereka adalah Provinsi Tabi meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Mamberamo Raya, Keerom, dan Sarmi; Papua Selatan atau wilayah adat Ahim Ha mencakup Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel; dan Papua Tengah mencakup kawasan adat Meepago meliputi Nabire, Puncak, Timika, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, dan Deyai.
Pemerintah memberi sinyal pemekaran dua provinsi yakni Papua Selatan dan Papua Tengah. Kini mereka sedang menimbang kelayakan pemekaran di antaranya dari sisi keuangan, jumlah penduduk, hingga luas wilayah.
Namun, kenyataannya, semua daerah yang akan dimekarkan tak layak dari sisi keuangan karena ketergantungan yang akut terhadap pemerintah pusat melalui dana alokasi umum dan otonomi khusus Papua, menurut Prof. Melkias Hetaria, anggota Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua dari Universitas Cenderawasih.
Empat kabupaten yang akan dimekarkan di wilayah Selatan Papua mengalami hal sama berdasarkan data Kementerian Keuangan.
Gabungan postur APBD 2018 Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel, yang diproyeksikanmenjadi Provinsi Papua Selatan, punya kontribusi rendah, cuma 4 persen dari realisasi pendapatan daerahnya. Rinciannya, PAD Merauke (5% dari pendapatan), Mappi (2%), Asmat (5%) dan Boven Digoel (2%).
Sedangkan total persentase belanja pegawai empat kabupaten itu 20 persen dari realisasi pendapatan tahun anggaran 2018. Rinciannya, Merauke (26% dari pendapatan), Mappi (18%), Asmat (18%), dan Boven Digoel (15%).
Untuk membiayai kebutuhan pembangunan, termasuk belanja pegawai yang tak mampu dipenuhi dari pendapatan asli daerah, masih bergantung pada dana alokasi umum dengan persentase di atas 50 persen dari total pendapatan. Rinciannya, Merauke (60,9%), Mappi (58%), Asmat (58%) dan Boven Digoel (63%).
Secara umum kemampuan menggali PAD pemerintah di kabupaten hasil pemekaran di Papua dan Papua Barat juga mengenaskan.
Berdasarkan data postur APBD 2018 yang dirilis Kementerian Keuangan: ada 7 kabupaten di Provinsi Papua dengan PAD di bawah 1 persen yakni Sarmi (0,3%); Puncak (0,9%); Dogiyai (0,5%); Intan Jaya (0,9%); Deiyai (0,2); Mamberamo Tengah (0,5%); dan Mamberamo Raya (0,6%)
Di Provinsi Papua Barat ada 3 kabupaten dengan kondisi serupa, yakni Tambraw (0,3%); Pegunungan Arfak (0,7%); dan Maybrat (0,6%).
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyebut tak semua PAD dicatatkan ke kas daerah. Sebagian pendapatan yang diperoleh langsung digunakan untuk kepentingan instansi sehingga tak tercatat dalam PAD.
“Kabupaten gagal kalau tidak mampu mencari PAD. Tiap tahun bergantung dengan APBN. Ini lebih baik gabung ke induk. Negara harus tegas supaya bupati bekerja benar,” katanya.
Diakui Para Bupati
Bupati Merauke Frederikus Gebze bukannya tak menyadari ketergantungan ini. Tapi, dia mengaku optimis terhadap pemekaran Papua Selatan.
Ia mengklaim sudah berbicara dengan pejabat Kemendagri soal kebutuhan dana awal untuk Provinsi Papua Selatan.
“Saya sudah bicara dengan Dirjen Otonomi Daerah untuk wilayah selatan. Mereka sanggup membiayai daerah kita [Provinsi Papua Selatan] per tahun Rp2 triliun sampai Rp3 triliun bahkan sampai Rp6 triliun. Nanti bisa sharing [pendanaan]. Kami punya gas, punya tambang, punya pertanian, punya perkebunan, punya perikanan. Jadi menurut hemat saya, cukup sebenarnya,” ungkap dia kepada saya di Merauke, Desember 2019.
Ia bahkan kelewat optimis dengan ada pemekaran maka bisa membuat investor berdatangan ke Merauke.
“Kami sekarang memang baru Rp100 miliar, Rp200 miliar sampai Rp300 miliar untuk PAD. Belum cukup. Ya kami harus mulai mengelola lagi dari pajak, retribusi, dan pendapatan-pendapatan lain,” katanya.
Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengakui kendala keuangan serupa. Apalagi dana APBD tersedot untuk agenda Pekan Olahraga Nasional 2020 di Papua sebagai tuan rumah meliputi Jayapura, Mimika, dan Merauke.
Dari APBD Jayapura per tahun sekitar Rp1,3 triliun, hampir 40 persen untuk keperluan birokrasi, termasuk belanja pegawai.
“Kami bagi sudah kacau. PON [2020] saja ini kami harus fokus. Rakyat? Ya... terbengkalailah sedikit. Tapi dana kampung, pendidikan, kesehatan jangan diganggu,” katanya.
Awoitauw menilai peluang investasi di Jayapura terbuka lebar bila wilayah adat Tabi, yang meliputi Jayapura, menjadi provinsi baru di Papua. Jayapura, katanya, bisa memasok logistik ke negara-negara Pasifik lewat Pelabuhan Depapre.
Namun, saat Jayapura dimekarkan menjadi beberapa kabupaten saja problem keuangan terjadi.
Mantan Bupati Kabupaten Jayapura Yan Pieter Karafir berkata saat pemekaran pada 1993, daerahnya disubdisi Pemkot Jayapura selama dua tahun.
“Saat itu belum ada perusahaan di Sentani [Jayapura]. PAD kita saat itu rendah. BUMD ada, nilainya Rp1 miliar. Kami juga investasi ke Bank Papua di Kota Jayapura sebagai modal dasar. Dari situ dapat dividen bisa untuk pendapatan daerah,” ujarnya kepada saya di rumahnya, Kota Jayapura, pada Desember 2019.
Menurut pengalaman Karafir, bila para kepala daerah "tanpa kreativitas untuk menggali PAD," lebih baik mengubur niat untuk memekarkan provinsi.
Bakal Digugat Jika Pemekaran Dipaksakan
Majelis Rakyat Papua, lembaga orang asli Papua setara DPRD yang dipimpin Timotius Murib, menyiapkan langkah bila pemekaran dipaksakan pemerintah, terutama saat MRP diabaikan.
Berkaca pada pemekaran tahun 2003, Provinsi Irian Jaya Barat (bernama Papua Barat sejak 2007), MRP tak berperan karena saat itu pembentukannya terganjal kepentingan politik sehingga baru lahir pada 2004. Padahal, sesuai Pasal 76 UU 21/2001 tenang Otonomi Khusus Papua, pemekaran provinsi harus berdasarkan rekomendasi MRP.
Pola pemekaran Papua Barat, kata Murib, dimungkinkan berulang. "Kalau ini terjadi kami akan gugat, meski tahu akan kalah. Kami gugat sebagai harga diri orang asli Papua,” kata Murib.
MRP menyarankan evaluasi Otonomi Khusus Papua sebelum ada pemekaran. Bila dalam evaluasi, memang ada kebutuhan pemekaran, ia akan menerimanya. Tanpa evaluasi Otsus, katanya, MRP tak akan memberikan rekomendasi pemekaran provinsi.
Saat ini DPR di Jakarta telah memasukkan RUU Otsus Papua dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Di sisi lain, akademisi Universitas Cenderawasih Jayapura tengah mengkaji Otsus Papua. Evaluasi otsus akan menentukan arah Papua ke depan.
___________
Laporan ini terbit berkat kolaborasi liputan antara Tirto dan Jubi ke Jayapura dan Merauke pada Desember 2019. Sejak santer usulan pemekaran provinsi Papua dilontarkan oleh pemerintahan Jokowi, mungkin demi menutupi protes antirasisme di seluruh Papua, para elite lokal yang bersekongkol dengan para pencari rente di Jakarta mulai serius menanggapi usulan tersebut. Laporan ini menguji usulan pemekaran itu sekaligus masa depan seperti apa yang dihadapi rakyat Papua dan Indonesia.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Mawa Kresna