tirto.id - Situasi krisis di Nduga selama 2019 menampakkan wajah nirkemanusiaan absolut di Papua. Sejak peristiwa kekerasan bersenjata oleh TPNPB/OPM pimpinan Ekianus Kogoya yang menewaskan 16 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, operasi militer oleh pemerintahan Joko Widodo telah mengirim lebih banyak kematian ketimbang kedamaian. Warga Nduga bahkan merayakan dua kali Natal dalam duka.
Operasi aparat gabungan TNI/Polri tanpa batas waktu itu berujung pengungsian massal warga Nduga demi mengemasi nyawa agar terhindar dari korban sasaran tembak dan kekerasan.
Sekalipun begitu, setidaknya pada 1 Maret 2019, sekitar 2.000 warga Nduga telah mengungsi ke Wamena, ibu kota Jayawijaya, pusat ekonomi pegunungan tengah Papua. Di antara ribuan warga itu, 610 pengungsi masih berstatus pelajar.
Hingga bulan Juli 2019, dalam laporan Investigation Report on the Growing of Nduga Conflict and Its Impact yang dirilis Tim Solidaritas untuk Nduga bersama Tim Relawan Kemanusiaan di Wamena, imbas dari konflik bersenjata di Nduga telah mendorong lebih dari 5.000 orang mengungsi dan 139 orang di antaranya meninggal dunia, demikian menurut Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem.
Pada 14 Agustus, Penanggung Jawab Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga bersama lembaga hak asasi manusia dan gereja, Pendeta Esmon Walilo, mengatakan sedikitnya 37.000 warga Nduga telah mengungsi dan mencari tempat aman ke beberapa kabupaten lain di sekitar pegunungan tengah Papua.
Lebih rinci, pengungsi tersebar di sejumlah distrik, meliputi 4.276 orang di Mapenduma, 4.369 orang di Mugi, 5.056 orang di Jigi, 5.021 orang di Yal, dan 3.775 orang di Mbulmu Yalma.
Selain itu, 4.238 orang mengungsi di Distrik Kagayem, 2.982 orang di Nirkuri, 4.001 orang di Inikgal, 2.021 orang di Mbua, dan 1.704 orang di Dal.
Tim Kemanusiaan menyebut sedikitnya 182 orang meninggal akibat kekerasan sejak Desember 2018 hingga Juli 2019, ujar Theo Hesegem.
“Korban jiwa yang terus bertambah kami melihat tak ada untungnya. Justru korban akan terus berjatuhan dan berdampak merugikan masyarakat sipil, yang sebenarnya tidak tahu masalah apa-apa ikut menjadi korban,” ujarnya.
Menurut laporan, 182 korban meninggal terdiri dari 69 laki-laki dewasa, 21 perempuan dewasa, 20 anak laki-laki, dan 21 anak perempuan. Konflik ini menewaskan 14 balita perempuan, 12 balita laki-laki, 17 bayi laki laki, dan 8 bayi perempuan. Jika ditotal, korban meninggal dunia didominasi perempuan dan anak sebanyak 113 orang.
Data kematian terus bertambah, seakan-akan melompati waktu.
Data per 27 Desember 2019 yang dihimpun oleh Tim Kemanusiaan mencatat sedikitnya 241 orang warga Nduga telah meninggal, termasuk Hendrik Lokbere, sopir yang ditembak mati oleh aparat keamanan Indonesia beberapa waktu lalu.
Theo berkata, jika ditambah 16 karyawan PT Istaka Karya, total kematian akibat operasi bersenjata di Nduga menjadi 257 orang.
“Mereka [karyawan PT. Istaka Karya] juga korban. Kami tak boleh egois. Laporan korban tersebut kami sudah kasih ke Panglima TNI, Kapolri, Kantor Staf Kepresiden, Komnas HAM, KPAI, tapi saya enggak tahu laporan ini sudah sampai ke Presiden Jokowi atau belum. Kami juga bingung,” kata Theo kepada Tirto, akhir pekan lalu.
Menyimpan Trauma
Salah satu daerah yang menjadi tempat pengungsian warga Nduga juga terkonsentrasi di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua.
Esther Haluk, Koordinator Relawan Pengsungsi Nduga di Jayapura, berkata sekalipun telah mengungsi sangat jauh, warga Nudga masih trauma dan ketakutan bertemu dengan orang-orang baru.
“Yang mengungsi ke Jayapura pun banyak tapi saya tak tahu jumlah pasti. Mereka tersebar ke rumah warga dan keluarga-keluarga orang Nduga di Jayapura,” kata Esther kepada Tirto via telepon.
Esther berkata kesulitan mendata berapa banyak pengungsi Nduga di Jayapura karena salah satu problemnya para pengungsi masih takut dan trauma sehingga sulit didekati dan cenderung tertutup.
Esther adalah anak seorang pendeta di gereja yang menjadi salah satu tempat penampungan para pengungsi. Ia mengisahkan, “susah untuk bertanya ke mereka. Buktinya saja banyak anak-anak yang bermain di halaman gereja, tapi melihat orang berpakaian seragam seperti polisi atau tentara di gapura, mereka langsung lari karena trauma seperti begitu parah.”
“Saya yakin banyak perempuan dan anak-anak yang meninggal saat perjalanan pengungsian, tapi saya tidak tahu pastinya berapa,” tambahnya.
“Pengungsi dari Nduga yang paling rentan adalah dari perempuan dan anak-anak. Banyak korban dari perempuan dan anak-anak. Banyak anak-anak yang meninggal di tengah jalan. Perempuan yang melahirkan saat di tengah jalan, jadi sesampainya di Wamena anaknya pas melahirkan tidak ada kain. Itu semua sepanjang 2019.”
Korban Bertambah, Wakil Bupati Nduga Mundur
Theo Hesegem menilai banyak korban dari warga sipil sepanjang 2019 di Papua, terutama dari krisis kemanusiaan di Nduga, seharusnya menjadikan evaluasi bagi pemerintahan Jokowi untuk sesegera mungkin menarik pasukan non-organik TNI dan Polri dari Papua. Ia menilai pemerintah Indonesia harus mulai menghapus pendekatan keamanan yang militeristik di Papua.
“Saya pikir pendekatan keamanan dengan militer tidak pernah selesaikan masalah di Papua. Pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan LSM terus-menerus telah sampaikan ke pemerintah pusat untuk tarik pasukan dari Nduga. Tapi, pemerintah pusat tak bertindak sama sekali,” kata Theo.
Ia khawatir jika pemerintah pusat minim bertindak dan mengabaikan pendekatan dialogis atas krisis kemanusiaan di Nduga, makin besar pula ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah. Hal ini telah ditunjukkan oleh Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge yang mengundurkan diri.
Pada 23 Desember, Nimiangge menyatakan mundur dari jabatannya di depan warga Nduga di Lapangan Terbang Kenyam. Ia kecewa atas sikap abai pemerintahan Jokowi menangani krisis kemanusiaan di Nduga. Ia merasa telah gagal melindungi warganya sendiri, terutama setelah seorang sopir bernama Hendrik Lokbere ditemukan tewas tertembak peluru. Theo Hesegem menyaksikan pengunduran diri tersebut.
Theo mengirim beberapa foto dan video evakuasi korban Hendrik Lokbere dan momen pengunduran diri Nimiangge kepada Tirto. Sejak pekan lalu, Tirto kesulitan mengontak Nimiangge untuk memberikan konfirmasi mengenai pengunduran dirinya.
Theo berkata Nduga mengalami krisis kemanusiaan yang luar biasa. Ia mendesak aparat keamanan Indonesia harus transparan dan terbuka dalam penyelesaian korban kematian Hendrik Lokbere. “Jika tidak,” kata Theo, “krisis kepercayaan akan terus meningkat.”
Namun, pemerintah Indonesia menanggapi lain. Menteri Polhukam Mahfud MD menyebut pengunduran diri Nimiangge sebagai “manuver politik.” Mahfud juga berkata pemerintahan Jokowi tidak akan mengubah pendekatan kebijakan dalam menyelesaikan konflik Papua.
"Secara umum tidak ada kebijakan baru dalam penanganan Papua karena memang itu masalah rutin saja. Pendekatannya kesejahteraan,” ujar Mahfud.
Dengan kata lain, kebijakan yang sama yang selama ini dijalankan pemerintah Indonesia: membangun infrastruktur di Papua, mengabaikan manusia Papua.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Fahri Salam