tirto.id - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut korban tewas dalam kasus dugaan pembunuhan di Nduga, Papua, mencapai 20 orang. Sebanyak 19 orang korban adalah pekerja PT Istaka Karya, seorang lagi anggota TNI.
"Informasi sementara adalah 20 [korban]," kata Tito saat memberikan keterangan pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/12/2018). Pembunuhan itu diduga dilakukan kelompok bersenjata di Jalan Trans Papua, Ahad (2/12/2018) lalu.
Kasus kekerasan seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi sejak jalan Trans Papua dibangun di kawasan Nduga pada 2015.
Kasus pertama terjadi pada 5 September 2016. Kala itu, dua pekerja PT Seakan Bumi Persada ditemukan tewas di daerah Puncak Albu, Nduga. Lokasi kejadian tak jauh dari Distrik Yall, tempat kejadian perkara Ahad lalu.
Dua pekerja yang tewas adalah Dian Kusuma (41) dan Ade Suhanda (25). Keduanya diduga dibunuh 15 orang. Motif pembunuhan diduga karena kecemburuan sosial lantaran perusahaan tempat mereka bekerja kurang memperhatikan pekerja asal Papua.
Setahun kemudian, tepatnya 12 Desember 2017, seorang operator eskavator bernama Yovicko Sondak (34) juga ditemukan tewas di Kecamatan Mugi, Nduga. Yovicko diduga tewas diserang kelompok bersenjata.
Beberapa bulan sebelum peristiwa di Distrik Yall, tepatnya 28 Juni 2018, sepasang suami istri juga menjadi korban kekerasan. Mereka tewas ditembak, yang juga diduga dilakukan kelompok bersenjata.
Jika dihitung dengan peristiwa Ahad lalu, jumlah korban tewas selama tiga tahun terakhir dari versi kepolisian mencapai 25 orang.
Namun jika merujuk pada laporan Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi Victor Mambor yang menyebut jumlah korban dalam peristiwa Ahad adalah 24 orang, maka jumlah korban jiwa dalam tiga tahun mencapai 29 orang.
Terus Berulang
Banyaknya korban tewas di Nduga menjadi perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisioner Komnas HAM Amirudin Al-Rahab menyebut korban biasanya berasal dari masyarakat lokal atau pekerja yang kebetulan ada proyek di sana.
Amiruddin mengaku tak tahu berapa jumlah pasti korban meninggal. Namun, dari beberapa kasus yang telah terjadi tahun ini, peristiwa Ahad lalu adalah yang terbesar dan terbanyak menelan korban.
"Ini kan mengerikan," kata Amir saat konferensi pers di Komnas HAM, Rabu (5/12/2018) siang.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua Gustaf Kawer mengatakan salah satu efek dari kasus-kasus ini adalah banyaknya sipil yang mengungsi.
"Sebelum Pilkada kemarin ada dua orang warga tewas. Itu yang membuat banyak warga Nduga diungsikan ke luar wilayah pasca Pilkada 2018," kata Gustaf saat dihubungi reporter Tirto, Rabu siang.
Hal tersebut sesuai dengan ucapan Direktur PT Istaka Karya Sigit Winanto. Saat perusahaannya sedang melakukan pembangunan jembatan, katanya, pernah ada seorang warga yang tewas. Itu membuat pekerjaan terganggu.
Sigit mengaku, pengerjaan proyek memang tak selalu mulus. Beberapa kali ia berkonflik dengan warga lokal, tetapi masih bisa diatasi dengan negosiasi.
"Sebelum kejadian ini juga pernah ada gangguan. Satu-dua kali mungkin kita hentikan pengerjaan, mungkin pekerja kami tarik dulu ke Wamena. Kami carikan solusi dan kembalikan ke tempat itu," kata Sigit, Selasa (4/12/2018) kemarin.
Melihat Akar Masalah
Adriana Elisabeth, mantan Kepala Pusat Peneliti Politik LIPI yang sudah mengkaji isu Papua sejak 2004, mengatakan apa yang terjadi beberapa tahun terakhir di Nduga tak bisa dilihat secara parsial. Ia menilai masyarakat dan pemerintah perlu melihat kondisi masyarakat Papua secara menyeluruh.
"Jadi menurut saya, selain paham akar soal di sana, kita juga harus mengerti ada korelasi antara satu isu dan isu lain yang tidak bisa ditangani secara parsial," kata Adriana kepada reporter Tirto, Rabu pagi.
Ia menilai pemerintah memang telah membangun infrastruktur, namun belum di luar itu. Termasuk bagaimana pendekatan keamanan masih diutamakan.
"Kalau kita mendidik orang Papua jadi lebih baik tapi dengan situasi politik dan keamanan yang tak stabil, ya enggak ada gunanya juga," tegasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino