Menuju konten utama
Pemekaran Daerah

Saat DPR & Pemerintah Tancap Gas Bentuk DOB Papua Barat Daya

Masyarakat Papua perlu mengawal penerapan RUU itu bila diundangkan, misalnya ada persoalan terkait akses sumber daya alam.

Ilustrasi HL Indepth Tak Memenuhi Syarat Pemekaran Provinsi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Rapat kerja antara Komisi II DPR dengan pimpinan DPD RI dan pemerintah pada Senin, 12 September 2022 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Sembilan fraksi di DPR satu suara agar pembahasan RUU ini diteruskan ke tingkat dua untuk disahkan menjadi undang-undang.

Provinsi Papua Barat Daya rencananya terdiri atas Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong yang direncanakan sebagai ibu kota provinsi anyar itu.

Jika dilihat dari prosesnya, pembahasan RUU ini terbilang cepat. Sebab, RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya ini baru disetuji sebagai inisiatif DPR pada 7 Juli 2022. Saat itu, pemerintah baru sepekan mengesahkan RUU pembentukan daerah otonom baru di Bumi Cendrawasih, yakni: Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera mengatakan, ada dua alasan pembahasan RUU itu tergolong cepat. Pertama, ide dan panitia pemekaran Papua Barat ada sejak 2006.

“Bahkan saat kami ke sana [bulan lalu] plakat, kantor, plang, papan nama masih ada,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat, 23 September 2022.

Alasan kedua, kata Mardani, kajian akademis, filosofis, sosiologis, ekologis sudah lengkap; bupati dan wali kota, DPRD cum gubernur Papua Barat telah menandatangani persyaratan. Ditambah masyarakat setempat pun berharap, klaim Mardani; dan yang terpenting adalah kemauan politik dari pihak eksekutif dan legislatif.

“Awalnya, waktu saya konfirmasi ke pemerintah, mereka merencanakan [pembahasan RUU Papua Barat Daya] setelah [pemilu] 2024. Tapi melihat adanya ruang fiskal dan ini adalah turunan UU Otsus Tahun 2021, maka bisa kami jalankan,” terang Mardani.

Mestinya RUU ini disetujui pada 6 September, tapi karena ada beberapa hal yang belum rampung dibahas, kata dia, maka keputusan tingkat II diundur.

Pembahasan RUU ini dimulai sejak Juli 2022. Bahkan Mardani bilang ada orang Papua yang merasa pemerintah berat sebelah lantaran hanya memekarkan Provinsi Papua. Lagi-lagi, dia menyatakan karena ada kemauan politik pemerintah inilah pembahasan RUU bisa dilakukan.

Bahkan pembahasan Mardani cs lebih mulus karena pada 31 Agustus 2022, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang diajukan oleh Majelis Rakyat Papua. Pemohon meminta Mahkamah menguji Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Otsus Papua.

Putusan Nomor: 47/PUU-XIX/2021 ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Saldi Isra. Hal ini berkenaan dengan tidak diberikannya kedudukan hukum bagi Pemohon dalam pengujian terhadap norma Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, serta Pasal 77 UU 21/2001.

Mardani menyatakan Fraksi PKS menerima masukan Majelis Rakyat Papua agar perihal pemekaran tidak dibahas sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi. “Kesimpulan rapat, tidak mengapa kami paralel, nanti kalau MK membuat keputusan, maka keputusan kami disesuaikan dengan putusan MK. Ternyata keluar (putusan) menolak (permohonan MRP)” kata dia.

Diskusi Lain Melaju

Papua kini memiliki lima daerah otonomi lantaran tiga undang-undang pembentukan provinsi baru di Bumi Cenderawasih resmi diundangkan usai ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin, 25 Juli 2022.

Tiga regulasi tersebut adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan. Jika RUU Pembentukan Papua Barat Daya disahkan, maka itu menjadi provinsi keenam di Papua.

Badan Legislasi DPR pun kini tengah membahas soal pembentukan Provinsi Papua Utara.

“Saat ini masih menunggu Rapat Pengambilan Keputusan Tingkat I, (lalu) masuk ke Banmus untuk disetujui, baru naik ke (tahap) paripurna untuk pengambilan tingkat II,” ucap pengusul RUU Papua Utara yang juga anggota Badan Legislasi DPR RI, Yan Permenas Mandenas, kepada Tirto, Jumat, 23 September.

Pada 21 September 2022, Panitia Kerja RUU Pembentukan Provinsi Papua Utara Badan Legislasi DPR melakukan harmonisasi RUU. Baleg melakukan penyesuaian terhadap RUU tersebut, sehingga pasal yang semula berjumlah 27 menjadi 23 pasal.

Berdasar penyesuaian itu, wilayah Papua Utara yang dalam draf awal terdiri lima wilayah, maka di draf terbaru menjadi empat wilayah, yaitu Kabupaten Biak Numfor (calon ibu kota Papua Utara), Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Supiori.

Legitimasi Secara Politik Dinilai Lemah

Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas berkata, proses pembentukan daerah otonom baru berdasar Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, tidak melibatkan aspirasi dan masyarakat Papua. Maka legitimasi secara politik akan berkurang.

“Meski secara hukum tidak bermasalah, tapi secara politik legitimasinya rendah di mata masyarakat,” ujar dia kepada reporter Tirto, Jumat, 23 September 2022.

Dampak lain dari pemekaran Papua Barat Daya yakni problem sumber daya manusia, karena ada ketidakseimbangan indeks pembangunan manusia. “Dengan SDM yang rendah, jangan sampai anggaran untuk infrastruktur provinsi baru, melupakan anggaran pendidikan dan kesehatan masyarakat,” imbuh Cahyo.

Pemerintah juga perlu mengantisipasi ancaman depopulasi di Papua Barat Daya lantaran banyak pendatang. Masalah lainnya yang mungkin saja bisa lahir adalah polemik adat karena pemekaran di sana tidak dilakukan berdasarkan wilayah adat, kata Cahyo.

Ada dua wilayah adat di Papua Barat, yaitu Domberai dan Bomberai. Masyarakat Papua harus menuntut pemerintah dan memperjuangkan hak rakyat agar pembangunan dalam segala aspek di Papua Barat Daya bisa maksimal, bila RUU itu disahkan dan kemudian diterapkan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy berpendapat, masyarakat Papua Barat tak pernah dilibatkan dalam pembahasan daerah otonom baru. Dia menyayangkan betapa kilatnya Komisi II DPR RI membahas RUU tersebut.

“Apakah ini keinginan dari rakyat atau keinginan elite politik di sini?” ujar dia kepada Tirto, Jumat, 23 September. “Partisipasi publik tidak berjalan. Kalaupun berjalan, hanya elite-elite politik lokal yang diajak bicara.”

Masyarakat Papua juga perlu mengawal juga penerapan RUU itu bila telah diundangkan, misalnya ada persoalan terkait akses sumber daya alam. Contohnya, lahan yang akan dibangun gedung Komando Daerah Militer atau Kepolisian Daerah, dan kantor-kantor pemerintahan.

“Itu hal yang harus diwaspadai masyarakat, jumlah tanah-tanah adat akan berkurang,” kata Yan.

Pria yang juga menjadi Juru Bicara Jaringan Damai Papua itu pun tak yakin pemekaran Papua Barat Daya akan efektif; sama saja dengan penerapan Otonomi Khusus Papua yang telah berjalan 21 tahun.

Ia mencontohkan dalam ranah hukum, misalnya Kejaksaan Negeri Manokwari yang harus menerima konsultasi dari polisi daerah Teluk Wondama, maka si polisi itu harus satu hari perjalanan laut untuk bisa bertemu dengan jaksa.

“Pelayanan hukum tidak terlalu efektif, demikian juga sisi ekonomi. Orang harus naik kapal satu malam untuk membelanjakan keperluan, lalu dijual lagi di Teluk Wondama," tutur Yan.

Yan menambahkan, “Harga BBM naik dan sebagainya, itu jadi faktor-faktor yang tidak terpecahkan setelah adanya Provinsi Papua Barat dari 2003 sampai sekarang. Saya tidak yakin itu bisa dipecahkan satu dua tahun dengan adanya Provinsi Papua Barat Daya untuk menjangkau daerah yang lebih luas.”

Baca juga artikel terkait DOB PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz