Menuju konten utama

Gelombang PHK Karyawan e-Commerce di Tengah Maraknya Bisnis Online

Saat ini startup dinilai tengah mengatur strategi bisnis baru untuk mengejar kestabilan bisnis.

Gelombang PHK Karyawan e-Commerce di Tengah Maraknya Bisnis Online
Ilustrasi BIsnis Startup. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari perusahaan rintisan (startup)kembali terjadi. Terbaru adalah e-commerce atau layanan belanja online PT Shopee Indonesia yang melakukan pengurangan karyawan dengan alasan efisiensi.

Head of Public Affairs Shopee Indonesia, Radynal Nataprawira menuturkan, hingga saat ini jumlah karyawan yang diputus hubungan kerjanya mencapai 3 persen dari jumlah total karyawan di Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk membuat perusahaan lebih sehat.

Dia mengklaim keputusan tersebut merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh, setelah melakukan penyesuaian melalui beberapa perubahan kebijakan bisnis.

“Kondisi ekonomi global menuntut kami untuk lebih cepat beradaptasi serta mengevaluasi prioritas bisnis agar bisa menjadi lebih efisien. Ini merupakan sebuah keputusan yang sangat sulit,” kata Radynal dalam keterangan tertulis, Senin (19/9/2022).

Lebih lanjut, dia menuturkan, langkah tersebut sejalan dengan fokus perusahaan secara global untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan. Hal itu merupakan dua komponen penting dalam menjalankan bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.

“Perusahaan akan berfokus ke pertumbuhan bisnis yang mandiri serta berkelanjutan, dan kami ingin memperkuat dan memastikan operasional perusahaan kami stabil di situasi ekonomi saat ini,” kata dia.

Mengacu pada data iPrice, karyawan Shopee ada 6.232 atau terbesar kedua setelah Tokopedia. Kalau yang di-PHK 3% dari total karyawan, maka angka PHK ini diperkirakan sekitar 200-an orang. Menurut sumber internal Shopee, mereka yang kena PHK adalah usia sangat produktif, dan banyak di antaranya masih lajang, jadi belum ada beban keluarga.

Sebelum Shopee, ada beberapa perusahaan e-commerce lain yang sudah melakukan PHK. Berdasarkan catatan Tirto, JD.ID melakukan PHK karyawan pada 26 Mei 2022. Mereka mengambil langkah ini agar perusahaan dapat terus beradaptasi dan selaras dengan dinamika pasar dan tren industri di Indonesia. Namun, sejauh ini belum ada informasi mengenai jumlah karyawan yang di-PHK.

Selain itu, ada pula startup pendidikan, Zenius yang melakukan PHK terhadap 200 orang pegawainya pada Mei 2022. Hal ini tak terelakkan lantaran kondisi makro ekonomi yang memburuk sehingga mendorong perushaan melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis.

Industri keuangan digital juga terdampak PHK. Lebih tepatnya perushaan e-wallet BUMN, LinkAja yang harus melepas sejumlah karyawannya. Menurut pihak LinkAja, jumlahnya jauh lebih kecil dari 200 orang seperti yang dikabarkan sebelumnya.

Pengurangan karyawan dilakukan dalam upaya terus menyesuaikan diri dengan keadaan, terus bisa lincah dan adaptif dalam melakukan penyesuaian bisnis. Hal ini untuk memastikan pertumbuhan perusahaan yang sehat, positif, dan optimal.

Pada awal Maret 2022, TaniHub yang mendistribusikan komoditas pertanian juga harus melakukan penyesuaian jumlah karyawan. Mereka menghentikan semua layanan business to customers (B2C). Mereka juga menghentikan gudang operasional di Bandung dan Bali yang mengakibatkan PHK bagi karyawan.

Persaingan Pasar yang Lebih Kompetitif

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal menjelaskan, para startup yang saat ini sudah eksisting di Indonesia harus berebut pasar yang semakin terbatas di tengah bermunculannya startup baru sehingga persaingan menjadi lebih kompetitif.

“Karena konsumen yang masuk ke platform digital ini, kan, masih ya paling belasan persen, sebagian besar itu masih pakai offline. Dengan pasar yang segitu, pasarnya sih enggak kecil dan berkembang, tapi pelakunya lebih banyak, jadi dia artinya mereka harus saingan antara yang satu dengan yang lain,” kata Faisal kepada Tirto, Selasa (20/9/2022).

Terlebih strategi bisnis yang dilakukan startup biasanya membutuhkan modal besar untuk promosi atau biasa dikenal dengan bakar uang. Karena itu, kata Faisal, saat keuangan venture capital sudah tidak bisa lagi memberikan modal besar, salah satu strategi yang dipilih untuk menjaga operasional tetap berjalan dan fondasi bisnis lebih kuat adalah mengurangi jumlah karyawan.

Faisal menyebut, terlebih kebijakan ini dikeluarkan saat pemerintah selesai mengumumkan kenaikan harga BBM dan bank sentral menaikkan suku bunga acuan.

“Ketika ada suatu intervensi kebijakan dari pemerintah, sedikit ini bisa mengganggu dari sisi cash flow mereka. Karena sudah tipis nih persaingannya, karena mereka kalau mau tambah promo enggak bisa, jadi kalau dia naikin harga ini, kan, dia akan kalah dengan saingannya. Jadi dengan kondisi seperti itu. Apalagi misalnya kalau Shopee, Shopee ini saya lihat masih dalam tahap membakar uang,” kata dia.

Shopee saat ini, kata Faisal, masih harus mengeluarkan promosi karena strategi yang dilakukan saat ini belum bisa cukup mengubah kebiasaan masyarakat dalam berbelanja.

“Gopay sudah duluan Gojek, kemudian juga OVO sudah duluan ya yang e-money-nya. Nah itu, kan, mereka sudah duluan ya bakar uangnya. Shopee itu belakangan, jadi dia masih dalam fase bakar uang, tapi pada kondisi tahun ini dengan inflasi tinggi. Nah ini yang membuat dia jadi lebih berpikir untuk tidak seroyal bakar uang seperti yang sebelumnya,” kata dia.

Pendapat Faisal ini tergambar dalam laporan keuangan perusahaan induk Shopee, Sea Group. Mengutip laman resmi Sea Grup, total pendapatan Sea Group per kuartal II 2022 mencapai 2,9 miliar dolar AS, naik 29,0 persen secara tahunan (YoY).

Namun, Sea menanggung pembengkakan rugi bersih. Total kerugian bersihnya mencapai 931,2 juta dolar AS per kuartal kedua 2022, dibandingkan dengan 433,7 juta dolar AS pada periode yang sama pada 2021. Naikknya kerugian Sea tersebut sebagian disebabkan beban operasional Sea yang tumbuh 52,3% yoy menjadi 1,92 miliar dolar AS.

Dalam laporan keuangan terbarunya, Sea Group menunjukkan kenaikan beban umum dan administrasi sebesar 95,9 persen menjadi 476 juta dolar AS pada Q2 2022. Angka ini meningkat dibanding Q2 tahun sebelumnya yang mencapai 243,0 juta dolar AS pada kuartal kedua 2021. Peningkatan ini termasuk diakibatkan karena kenaikan biaya staf dan fasilitas kantor yang lebih tinggi untuk mendukung pertumbuhan bisnis.

Selain beban umum, beban penelitian dan pengembangan Sea juga meningkat sebesar 115,0 persen menjadi 370,9 juta dolar AS pada kuartal kedua 2022, dari 172,6 juta dolar AS pada kuartal kedua 2021. Hal ini terutama disebabkan oleh biaya staf yang lebih tinggi seiring peningkatan pertumbuhan jumlah karyawan.

Untuk segmen e-commerce, yakni Shopee secara umum, beban penjualan dan pemasaran meningkat sebesar 3,8 persen menjadi 674,1 juta dolar AS di kuartal kedua 2022 dari sebelumnya 649,2 juta dolar AS pada kuartal kedua pada 2021.

Sea dalam rilis laporan keuangan menyatakan, peningkatan [beban e-commerce tersebut] terutama disebabkan oleh pengeluaran event dan media yang lebih tinggi dan peningkatan biaya staf disebabkan oleh pertumbuhan jumlah karyawan. Kondisi itu tak hanya dialami Shopee, ada beberapa startup kelas global juga melakukan efisiensi.

Misalnya Shopify, platform e-commerce asal Kanada yang menjadi pesaing Amazon, harus melepas 1.000 karyawannya pada akhir Juli 2022. Jumlah ini mencakup sekitar 10 persen dari tenaga kerja mereka, yang mencapai lebih dari 10 ribu orang per 31 Desember 2021.

Ledakan e-commerce akibat pandemi menjadi sebabnya. Penurunan transaksi daring yang lebih cepat dari proyeksi mendorong Shopify melakukan PHK ke seluruh divisi perusahaan, utamanya bagian perekrutan, dukungan, dan penjualan.

Salah satu raksasa e-commerce asal China, JD.com juga dikabarkan memberhentikan sekitar 400 orang karyawannya pada akhir Maret 2022. Lockdown di Shanghai dan Beijing akibat penyebaran virus Corona yang berkepanjangan menjadi penyebab mundurnya bisnis mereka.

Divisi Group Buying, yang memberikan layanan pembelian barang secara grosir untuk komunitas yang kabarnya mendapat pengurangan tenaga paling besar. Sementara, berdasar info dari Nikkei, sebagian besar departemen JD.com harus memangkas karyawan 20 persen sampai 40 persen. Hal ini juga berdampak ke unit bisnis mereka di Indonesia, JD.ID yang memberhentikan karyawan sebagai bagian dari strategi restrukturisasi perusahaan.

iPrice Group, startup e-commerce berbasis di negara-negara Asia Tenggara juga dikabarkan melakukan PHK terhadap 20 persen karyawannya pada Juni 2022. Hal ini terpaksa mereka lakukan sebagai langkah untuk memfokuskan bisnis perusahaan.

Pihak iPrice mengatakan kalau keputusan PHK ini dilakukan agar mereka dapat mempertahankan misi utama perusahaan, membantu pembeli menghemat harga saat berbelanja online.

Gejolak Ekonomi Global Jadi Pertimbangan Lakukan PHK

Langkah efisiensi yang dilakukan di Indonesia bukan hanya perkara imbas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dan Bank Sentral menaikkan suku bunga. Namun juga karena strategi bisnis untuk mencegah gejolak yang terjadi secara global.

Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan, saat ini startup tengah mengatur strategi bisnis baru untuk mengejar kestabilan bisnis.

“Saat ini dengan cara itu dia berusaha untuk menguatkan fondasi bisnisnya sehingga kalau ada gejolak, mereka tidak akan terlalu kesulitan. Kalau dari startup itu sendiri memang mereka mulai mengarahkan pada sustainability dan profibility, tapi di sisi lain kita juga lihat bahwa faktor eksternal juga cukup berpengaruh,” kata dia kepada Tirto, Selasa (20/9/2022).

Fithra menilai, iklim dari eksternal saat ini tengah mengarah pada demand distraction, growing demand yang terjadi di negara berkembang dan maju. Hal itu coba ditahan pertumbuhannya oleh negara-negara, terutama negara maju.

“Misalnya di AS menaikan suku bunga kebijakan moneter diperketat dan di sisi lain ada semacam penarikan konsentrasi dana yang sebelumnya diberikan stimulus, itu mulai kemudian dikurangi. Sedikit demi sedikit, karena demand-nya sudah overshoot. Sementara supply-nya terbatas, sementara kalau kita lihat mayoritas negara-negara besar di dunia ini mengalami kesalahan input produksi,” kata dia.

Kondisi menjadi lebih parah karena harga komoditas jadi lebih tinggi, kata dia. Selain itu, dari sisi tenaga kerja juga terjadi masalah. Di Amerika Serikat bukan angka pengangguran tinggi, malah angka pengangguran yang terlalu rendah. Hal tersebut menyebabkan keketatan pasar tenaga kerja, sehingga upahnya menjadi lebih kompetitif.

“Nah ini yang menjadikan mayoritas dari negara maju, di AS ini melakukan pengetatan-pengetatan. Demand distruction, supaya demand-nya tidak terlalu melonjak agar tidak terlalu dekat dengan suplainya. Konsekuensinya apa? Suku bunga di beberapa negara maju ini lebih tinggi dan kemudian ini mengurangi proses return ke negara-negara berkembang, sehingga terjadilah capital reversal,” kata dia.

Jika ditilik lebih spesifik, kata Fithra, ketika investor melihat prospek keuntungan dari negara berkembang sudah tidak lagi berkembang sesuai dengan yang sebelumnya, maka investor juga mulai melakukan reorientasi.

“Reorientasi ini, entah itu mereka balik lagi ke AS, atau melakukan pengetatan. Pengetatan karena, kan, apalagi di 2023 World Bank menunjukan bahwa mayotitas negara di dunia ini akan mengalami resesi. Jadi tekanan eksternal yang seperti itu, venture capital ini sudah melihat ada bahaya dan sudah saatnya sekarang mengejar profit, enggak zaman lagi kejar bakar duit,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PHK KARYAWAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz