tirto.id - Ada perasaan 'tidak enak' ketika dering ponsel Riko (bukan nama sebenarnya) berbunyi. Sebuah panggilan masuk datang dari Human Resources Business Partner (HRBP) tempat ia bekerja, di perusahaan ekspedisi. Dengan nada penuh penekanan, Riko diminta datang ke kantor cabang di Jalan KH Abu Bakar, Setiadarma, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
“Kami disuruh datang ke gudang buat tandatangan,” ujar Riko mengawali perbincangan dengan reporter Tirto, Senin (14/3/2022).
Setibanya di lokasi, Riko terkejut. Empat lembar kertas putih tiba-tiba disodorkan oleh admin dan HRBP. Surat itu, berisi keterangan pengunduran diri dari perusahaan. Riko bersama empat orang lainnya, diminta menandatangani pada Jumat (11/3/2022). Masing-masing orang, dua kali tandatangan.
“Semua tandatangan karena keterpaksaan, soalnya di situ ada pihak admin dan orang HRBP kita yang maksa buat tandatangani,” kata dia bercerita.
Kabar adanya efisiensi dari perusahaan ekspedisi itu, sudah datang dari jauh-jauh hari. Setelah atasannya memberikan informasi bakal terjadi pengurangan karyawan sebanyak dua orang. Keduanya diambil dari mereka yang habis masa kontraknya. Atau dengan kata lain, tidak diperpanjang.
Tidak ada kecurigaan sama sekali awalnya. Bagi pria lulusan SMK itu, pengumuman tersebut mungkin biasa terjadi di perusahaan umum lainnya. Apalagi masa kontrak Riko baru akan berakhir dalam beberapa bulan ke depan.
“Tiga bulan pertama saya training, habis itu tandatangan kontrak enam bulan kerja, cuma kami masih tiga bulan lagi sudah dicut," kata pria berusia 23 tahun itu.
Sampai hari ini, tidak ada kejelasan dari pihak manajemen perihal kejadian tersebut. Riko hanya mengetahui alasan kuat perusahaan mengakhiri masa kerjanya karena adanya efisiensi. Para pegawai kontrak belum waktunya habis, diminta mundur secara paksa.
“Sebelumnya atasan saya menjanjikan untuk freelance setelah tandatangan resign. Cuma sampai detik ini belum ada kabar dan kejelasannya," ujarnya.
Lewat akun Instagram @sicepat_ekspress, perusahaan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. Namun tidak dijelaskan alasan permintaan maaf tersebut apakah ditujukan terkait dengan kejadian ini atau bukan.
“Menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di sosial media baru-baru ini, dengan ini kami manajemen PT SiCepat Ekspres Indonesia memohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan yang terjadi,” demikian tulis akun tersebut.
Perusahaan berlogo merah itu juga tengah menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan dan sesuai aturan yang berlaku.
“Kami juga berharap untuk semua Sahabat SiCepat agar tetap saling memberikan dukungan penuh dalam penyelesaian kasus ini, agar semuanya dapat berjalan dengan baik. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih banyak,” begitu penjelasan perusahaan.
Redaksi Tirto berupaya mengkonfirmasi ulang ke pihak perusahaan untuk mendapatkan penjelasan secara utuh. Namun hingga berita ini dirilis, manajemen tidak menanggapi baik dalam bentuk telepon hingga pesan singkat WhatsApp.
Ada Indikasi Lepas Tanggung Jawab
Riko memang bukan satu-satunya orang yang mendapat ketidakjelasan dari manajemen terkait surat pengunduran diri tersebut. Media sosial Twitter sebelumnya, sempat heboh dengan postingan @arifnovianto_id. Akun tersebut menginformasikan telah terjadi gelombang PHK massal di SiCepat. Ada 365 kurir yang dipecat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Tetapi mereka diberikan surat pengunduran diri. Tujuannya, agar perusahaan tidak membayar pesangon dan hak-hak lainnya bagi kurir,” tulisnya.
Arif juga menyertakan potongan gambar yang menampilkan isi sebagian surat pengunduran diri tersebut. “Bermaksud untuk mengundurkan diri dari PT SiCepat Ekspres Indonesia terhitung sejak 11 Maret 2022,” demikian isi bagian awal surat.
“Saya bersedia untuk melepaskan segala sesuatu hak dan telah menerima kebijakan perusahaan SiCepat Ekspres Indonesia, serta tidak akan menuntut SiCepat Ekspres Indonesia baik secara kaidah hukum ketenagakerjaan maupun secara kaidah hukum perdata dan/atau kaidah hukum lainnya di kemudian hari,” demikian isi surat.
Pakar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono menyatakan, SiCepat telah melakukan pemutusan hubungan kerja secara tidak sah. Apalagi hal tersebut dilakukan di bawah tekanan dan paksaan.
“Enggak sah itu, berarti ada paksaan. Itu tidak diperbolehkan. Jangan sampai menandatangani suatu perjanjian pengunduran diri," tegas Aloysius dalam pernyataannya.
Secara ketentuan hukum, terdapat beberapa hak yang harus dipenuhi perusahaan kepada karyawan yang di-PHK. Termasuk di antaranya pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Adapun tata cara pemberiannya sudah diatur di Pasal 154A Ayat (3) dan Pasal 156 Ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan laporan terakhir pada Desember 2021, SiCepat telah didukung oleh sekitar 70.000 karyawan, 1.500 gerai, 149 pick up drop point (PUDO), 84 sortation, dan lebih dari 7.000 titik SiCepat Point.
Efisiensi Tidak Tepat di Tengah Bisnis Online Tumbuh
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai, kejadian menimpa kurir ekspedisi SiCepat begitu memprihatinkan. Sebab, pengurangan pegawai dilakukan perusahaan di tengah meningkatnya bisnis perdagangan online.
“Kita ketahui bersama dengan peningkatan perdagangan online dibutuhkan jasa kurir untuk mengantarnya," kata Yusuf saat dihubungi reporter Tirto.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan nilai transaksi dagang-el atau e-commerce sepanjang 2021 mencapai Rp401 triliun. Ini berkembang sangat signifikan seiring dengan meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring.
Sementara pada tahun ini, BI memperkirakan transaksi e-commerce akan mencatatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan 2021, yaitu mencapai Rp526 triliun.
“Saya mengatakan ini membingungkan kalau seandainya pengurangan ini diukur dari perkembangan bisnis digital online yang sekarang ini terjadi,” ujarnya.
Akan tetapi, kata dia, berbeda jika sudut pandangnya dari efisiensi yang bisa saja dilakukan oleh SiCepat. Karena perusahaan ini dikabarkan akan masuk unit bisnis baru. Mulai dari makanan hingga produk kosmetik. Sehingga diperlukan penyesuaian dan strategi.
“Sayangnya memang kebijakan tersebut untuk melakukan penyesuaian terutama di pos SDM. Itu merupakan salah satu seringkali dilakukan oleh perusahaan ketika melakukan pengembangan usaha atau justru melakukan efisiensi itu hal biasa sebenarnya," ujarnya.
Terkait adanya dugaan PHK sepihak, memang harus dilihat secara utuh dan perlu dievaluasi. Jika memang terjadi PHK, maka harus ada uang pesangon yang dikeluarkan oleh perusahaan. Namun jika memang dipaksa untuk resign, maka tidak ada yang perlu dibayarkan oleh perusahaan.
“Akhirnya perlu dilihat secara utuh bagaimana arahnya, kalau mau lakukan pengembangan usaha tidak jadi masalah asalkan hak dari pekerjanya harus dipenuhi," ujarnya
Dari kejadian ini, Yusuf melihat sekiranya terdapat pelajaran bersama baik dari pekerja dan perusahaan untuk mulai perhatikan kesejahteraan dan sistem jaminan sosial yang ada. Saat ini, sistem jaminan sosial pekerja umumnya hanya diberikan kepada para pekerja di kantor. Tapi pekerja di lapangan seperti kurir, driver ojek online jarang mendapatkan.
“Ini momentum juga untuk membenahi sistem jaminan sosial untuk pekerja kurir dan online yang sebelumnya belum pernah dapatkan seperti ini,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz