tirto.id - Standar murah bagi pelanggan belanja online atau marketplace bukan hanya soal harga barang, tapi juga soal ongkos kirim (ongkir). Sejumlah penjual saling memberikan penawaran menarik agar pelanggan bisa membeli dengan harga yang lebih murah. Bahkan penyedia lapak seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia hingga JD.ID selalu memberikan promo gratis ongkir.
Berkat ongkos kirim yang murah, pelanggan tidak mempermasalahkan bila barang yang diinginkan harus dikirim dari tempat yang sangat jauh, alias impor. Faid (30 tahun) bercerita pernah membelikan "mainan kecantikan anak" untuk putrinya di marketplace. Si penjual beralamat di Jakarta, tapi ternyata barang dikirim dari Cina karena ia hanya dropshipper.
"Saya tahu kalau barang dikirim dari Cina setelah lihat di riwayat pengiriman. Biasanya paket dari Jakarta-Magelang dua hari sampai rumah, ini [paket] hingga semingguan lebih," kata Faid kepada reporter Tirto, Jumat (17/9/2021).
Pengalaman serupa dituturkan Andry (27 tahun). Ia yang kerap kali belanja di marketplace juga harus jauh-jauh membeli slingbag dari Cina. Sebenarnya, Andry tak sengaja membeli barang yang belakangan baru diketahui pengiriman berasal dari luar negeri.
Andry mengaku, baru mengetahui barang yang dibelinya dikirim langsung dari luar negeri usai tiga hari menunggu, tapi barang yang dipesan belum juga tiba di Yogyakarta, tempat tinggal Andry.
“Aku enggak tahu awalnya pas beli dikirim dari mana? Karena kan harganya murah saat itu Rp20 ribu, terus ongkirnya juga Rp10 ribu. Ya, sudah langsung beli saja. Ternyata barangnya agak lama datang, aku cek, eh baru tahu ternyata pengirimannya dari luar negeri,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (16/9/201).
Andry yang sabar menunggu akhirnya menerima pesanannya dalam dua pekan usai transaksi. Slingbag yang ia nantikan datang dengan kondisi sesuai foto. Dari pengalaman pertamanya tersebut, hingga saat ini ia malah ketagihan membeli barang-barang bagus serta murah dari luar negeri.
“Ya meskipun memang lama ya. Tapi murah dan bagus-bagus. Casing HP cuma nunggu seminggu pas dilihat langsung dikirim dari Shenzen China, aksesoris HP, charger itu murah dan kualitas barangnya lumayan,” kata dia.
Penjelasan Andry mengenai harga dan ongkos kirim ternyata benar adanya. Tirto pun menelusuri salah satu marketplace asal Singapura yang menjadi toko online favorit Andry belanja. Di situ, ditemukan beberapa casing handphone android polos yang dijual dengan harga Rp9.999 dengan ongkos kirim dari luar negeri yaitu hanya Rp9.000.
Adapun saya menelusuri casing polos dengan tipe sama yang readystock di Jakarta Pusat, casing tersebut ditawarkan dengan harga Rp12.665. Adapun ongkir yang ditawarkan adalah Rp15.000.
Beberapa barang yang reporter Tirto telusuri seperti karpet bulu, charger sampai headset menawarkan biaya ongkir Rp4.000-Rp9.000. Sementara itu, barang dengan tipe sama yang dijajakan marketplace dengan lokasi penjualan di dalam negeri, kebanyakan menawarkan ongkos kirim dari Rp0, Rp5.000-Rp15.000.
Mengetahui hal itu, tentu siapa saja akan terpanggil rasa penasarannya. Mengapa biaya kirim dari Cina bisa sama murahnya, bahkan lebih murah dengan biaya ongkos kirim antardaerah di Indonesia?
Mengoptimalkan Angkutan Kargo
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menjelaskan, murahnya ongkos kirim barang dari Cina ke Indonesia bisa terjadi karena jumlah barang yang datang dari negara tersebut sangat banyak.
Skema kirim yang digunakan juga efisien dengan mengoptimalkan angkutan kargo, baik udara maupun laut. Dengan volume angkut yang optimal alias penuh dan beragam, maka ongkos kirim akan semakin murah karena dibagi dengan banyaknya jumlah barang yang diangkut.
Sederhananya, kata dia, bila ada 100 barang yang diangkut dengan biaya kapal Rp500, maka masing-masing barang akan menanggung biaya kirim Rp5/barang. Sementara, bila barang yang diangkut mencapai 500 barang dan biaya angkut kapal sama Rp500, maka masing-masing barang hanya akan menanggung biaya kirim Rp1/barang.
“Kondisi tersebut bisa terjadi karena banyaknya barang yang dikirim ke Indonesia. Artinya barang yang datang dari Cina itu banyak sekali volumenya. Nah volumenya itu membuat dia bisa bargain kepada alat angkutya, apakah dia lewat udara, apakah lewat laut,” kata Mahendra kepada reporter Tirto, Kamis (16/9/2021).
Banyaknya barang impor dari Cina yang masuk ke Indonesia bisa dengan mudah diperoleh dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Cina menjadi pemasok barang impor non-migas tertinggi sepanjang Januari- Agustus 2021, dengan total transaksi sebesar 34,67 miliar dolar AS atau setara 32,25 persen dari total impor non-migas selama 8 bulan terakhir. Adapun dalam catatan tersebut barang non-migas yang dimaksud adalah barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal.
Namun, besarnya volume pengiriman bukan satu-satunya alasan mengapa biaya angkut dari Cina bisa lebih murah. Ada kebijakan pengaturan harga yang diterapkan pelaku usaha di Cina yang diperkuat dengan penguasaan data pasar yang sangat spesifik dan cukup akurat.
Data yang dimaksud mencakup kecenderungan selera barang yang tengah tren dicari hingga rerata harga pasar yang berlaku untuk masing-masing produk yang dicari.
Memanfaatkan data-data tersebut, para pelaku usaha di Cina bisa menerapkan praktik dumping alias menerapkan harga lebih murah dari harga jual produk yang sama di dalam negeri.
Tak masalah mereka merugi di awal karena praktik pengaturan harga tersebut. Sebab, tujuan utama mereka adalah merebut hati konsumen yang dalam jangka panjang bisa mendatangkan keuntungan berlipat. Belum lagi banyak subsidi yang diberikan pemerintah Cina bagi para pengusahanya yang melakukan ekspor ke negara lain termasuk Indonesia.
“Makanya big datanya dia ini bukan main dan kemudian dia selalu menguasai pasar dengan dia merugi dulu abis itu dia masuk ke Indonesia. Adapun banyak subsidi yang diberikan pemerintah [ke eksportir]” kata Mahendra.
Di sisi lain, industri logistik di tanah air menghadapi masalah biaya tinggi yang membuatnya semakin sulit bersaing dengan industri jasa logistik dari luar negeri, kata dia. Permasalahan biaya tinggi yang dimaksud salah satunya datang dari biaya tol yang mahal. Pilihan lainnya adalah jalur non-tol yang cenderung memutar dan memakan waktu lebih lama.
“Jadinya kami pakai jalur yang gak tol saja, toh masih bisa,” kata dia.
Ada Intervensi Pemerintah Cina
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, faktor lain yang menghambat industri logistik dalam negeri bersaing dengan industri serupa dari negara lain seperti Cina adalah ketersediaan transportasi, baik laut maupun darat.
"Jadi memang kita nggak mengalami efisiensi biaya logistik yang signifikan, 23,5 persen dari GDP. Di sana ada masalah infrastruktur daratnya kemudian kapasitas pelabuhannya, yang berikutnya adalah salah satu trik yang dilakukan oleh eksportir Cina itu ketika mereka mengirim barang ke satu negara itu dalam bentuk bulk," kata Bhima kepada reporter Tirto, Kamis (16/9/2021).
Bhima juga memperkuat penjelasan Mahendra perihal subsidi dari Pemerintah Cina bagi para eksportirnya. Pemerintah negeri tirai bambu itu, lanjut Bhima, berani 'menalangi' sebagian biaya pengiriman. Belum lagi, ada insentif bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor, pemerintah Cina berani memberikan subsidi pajak pertambahan nilai (PPN).
"Praktik subsidi ini sudah cukup lama sebenarnya. Jadi kenapa sih ongkirnya bisa murah? Itu karena sebagian coast yang ditanggung pengusaha itu tidak dibebankan pada konsumen, tapi disubsidi oleh pemerintah. Termasuk biaya masuk PPN untuk produk yang berorientasi pada pasar ekspor. Jadi mereka sangat komit untuk mendorong ekspor," terang dia.
Dengan ketersediaan infrastruktur dalam negeri yang ada saat ini, kata Bhima, tentu hal yang mustahil bagi pelaku industri logistik dalam negeri bersaing secara harga. Urusan menekan biaya logistik tak bisa diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar yang mengandalkan peran swasta dan pengusaha.
Justru dalam hal ini, lanjut Bhima, dibutuhkan peran aktif pemerintah sebagai pihak yang punya kontrol penuh dalam menetapkan kebijakan guna melindungi pelaku usaha di dalam negeri. Bila pemerintah tak turun tangan, hanya masalah waktu sampai Indonesia kebanjiran barang impor dari Cina.
"Hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi produk lokal dari gencarnya kiriman barang impor adalah memperketat," tegasnya.
Selain memperkuat regulasi, Bhima menyarankan pemerintah bisa memaksimalkan peran Direktorat Jendral Bea Cukai untuk mengawal gerbang masuk barang impor. Para petugas juga diminta tak segan mengembalikan barang dari Cina bila ada indikasi dumping yang bisa merugikan pelaku usaha di dalam negeri.
"Saran saja. Kan pemerintah itu bea cukainya sudah ada jalur merah dan hijau ya. Nah itu safeguard efektif untuk menahan kiriman dari Cina. Kalau perlu bisa ada standarisasi ada double cek, harus ada standarisai. Karena gini, barang kita saja ikan dikirim ke Cina pakai inspeksi COVID-19, itu gak fair. Bahkan beberapa kali kan barang kita diretur (dikembalikan)," tutur dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz