tirto.id - Presiden Joko Widodo tidak berminat dan tak punya niatan menjadi presiden Republik Indonesia tiga periode. Hal itu disampaikan melalui Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman pada Minggu (12/9/2021).
Menurut Fadjroel, Jokowi menghormati amanah konstitusi yang menyatakan masa kepresidenan hanya dua periode. Meski demikian, kata dia, Jokowi mempersilakan pembahasan amandemen UUD 1945 yang belakangan menjadi perbincangan publik.
“Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah domain dari Majelis Permusyawaratan Rakyat,” ujar Fadjroel dalam keterangan video.
Wacana perpanjangan masa kepresidenan menjadi tiga periode mendapat penolakan. Salah satunya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) --parpol oposisi pemerintah-- yang menilai hal tersebut dapat menciderai reformasi dan demokrasi Indonesia.
“Terserah Pak Jokowi. Tiga periode kami tolak. Amandemen tidak saat ini. Masa pandemi membuat susah argumentasi yang berkualitas,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera saat dihubungi reporter Tirto, Senin (13/9/2021).
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrat Syarief Hasan. Ia mempertanyakan sikap Jokowi dalam isu amandemen UUD 1945 dan seolah mendukung hal tersebut terjadi.
Padahal, kata Syarief, Jokowi sempat mengkhawatirkan wacana amandemen UUD 1945 akan melebar ke hal-hal lain, di luar rencana menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Kalau sekarang mendukung, artinya sudah tidak khawatir melebar ke yang lain termasuk presiden periode tiga kali,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (13/9/2021).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin menyambut positif pernyataan Jokowi tersebut. Ia juga meminta seluruh pihak terutama partai koalisi pemerintah untuk mengakhiri wacana amandemen UUD 1945.
"Salah satu yang bisa kita tangkap dari pernyataan itu adalah presiden bermaksud memberikan peringatan kepada para pengusung dan pendukung gagasan tersebut untuk menyudahi wacana itu," ujar Said dalam keterangan tertulis dikutip Senin (13/9/2021).
Said meminta seluruh partai koalisi pemerintah untuk mendukung komitmen presiden tersebut. Ia juga mengimbau agar setiap partai pendukung menyampaikan ketegasan sikap dalam isu ini.
"Bagi PKP, pernyataan presiden tersebut menunjukkan bahwa beliau sungguh-sungguh ingin menjaga amanat reformasi dan ingin konsisten pada kehendak konstitusi untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial," tukasnya.
Pernyataan Bersayap Jokowi
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Jokowi yang disampaikan melalui Fadjroel tidak tegas. Jokowi mesti mengakhiri penggunaan kalimat “bersayap” dan ia mesti mengatakan secara langsung bahwa menolak wacana perpanjangan masa kepresidenan tersebut.
“Kalau Jokowi kan jelas, kalau konstitusi masih dua periode dia akan patuhi, tapi itu kan kalimat bersayap. Kalau konstitusi 3 periode berarti dia mau dong,” ujar Feri kepada reporter Tirto, Senin (13/9/2021).
Jokowi juga mesti tegas menyatakan amandemen UUD 1945 dan PPHN tidak diperlukan saat ini. Lebih baik fokus saja terhadap penanganan pandemik Covid-19, kata Feri.
“Jika betul-betul pengikut Bung Karno. maka konstitusi dilarang Bung Karno diubah dalam keadaan tak stabil. Mengubah konstitusi itu di masa yang tenang dan keinginan rakyat bisa diakomodir,” tukasnya.
Sementara Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini juga menilai wacana tiga periode masa kepresidenan akan menimbulkan banyak persoalan. Antara lain lemahnya regenerasi politik dan menghambat partisipasi kelompok muda dan perempuan dalam mengakses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Hal itu juga akan berakibat pada melanggengnya dinasti politik di level nasional dan daerah. Sebab masa jabatan yang kian lama akan mengukuhkan kekuatan politik dalam segala lini.
Mencuatnya wacana tiga periode kepresidenan ini, menurut Titi, perlu ditolak sebab muncul dalam kondisi politik yang tidak proporsional, saat partai koalisi pemerintah kian menggemuk.
Sehingga menurutnya masa jabatan dua periode kepresidenan sudah tepat dan sesuai dengan kultur politik Indonesia; tidak terlalu pendek dan tidak terlalu lama.
“Tidak terlalu pendek untuk mengukur kinerja presiden berkuasa. Tidak terlalu lama, untuk memberi kesempatan rakyat menilai kinerja dan kepemimpinan presiden yang menjabat,” ujar Titi dalam diskusi daring, Senin.
Peneliti Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, Jokowi sengaja menggunakan kalimat “bersayap” untuk membawa masyarakat ke arah ambiguitas. Hal ini akan berguna untuk menyaring pihak-pihak yang pro dan antipemerintah.
“Hal itu memudahkan bagi koalisi pemerintahan sekarang untuk memetakan basis-basis pemilih: mana yang setia jadi loyalis dan mana pula yang masih bimbang sehingga nanti didekati dengan berbagai produk kebijakan sehingga jadi pro pemerintah,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Berdasarkan penelusuran Tirto, rencana amandemen UUD 1945 sempat disuarakan pada Oktober 2019. Kala itu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Keduanya sepakat untuk mengamandemen UUD 1945 secara menyeluruh.
Paloh menyoroti beberapa poin dalam rencana amandemen itu. Pertama, menghidupkan lagi GBHN; kedua, mengatur ulang keserempakan dalam pemilihan umum.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebut memang Partai Nasdem-lah yang paling gencar mendorong agar masa jabatan presiden ditambah jadi tiga periode, sementara PKB ingin presiden kembali dipilih MPR.
Wacana itu menghilang seiring penegasan Jokowi menolak penambahan masa jabatan presiden dan kembali mengemuka sekarang.
Wacana ini mengemuka kembali saat MPR RI yang diketuai Bambang Soesatyo berniat mengubah atau amandemen secara terbatas UUD 1945. Bamsoet berdalih agar MPR memiliki ketetapan hukum dalam melaksanakan PPHN yang bersifat filosofis dan arahan dalam pembangunan nasional.
Rencana MPR RI untuk mengamandemen UUD 1945 memang sempat muncul. Apalagi amandemen dikaitkan dengan tujuannya untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Bamsoet mendaku wacana amandemen hanya untuk memasukkan PPHN, meski dalam praktiknya menjumpai penolakan dari sejumlah fraksi. Ia mengklaim wacana tersebut tidak pernah dibarengi dengan rencana memperpanjang masa kepresidenan menjadi tiga periode. Bahkan ia tidak mengetahui isu itu tetiba mencuat dan bergulir begitu saja.
“Saya tegaskan, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan konstitusi. MPR tidak pernah membahas apa pun untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden,” ujar Bamsoet dalam diskusi daring bersama LHKP PP Muhammadiyah.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz