tirto.id - Presiden Joko Widodo meninjau pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bagi masyarakat yang digelar di Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) Kota Blitar, 7 September 2021. Ia didampingi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Wali Kota Blitar Santoso, Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta, serta Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Suharyanto.
Ketika mobil yang ia tumpangi keluar dari gapura PIPP Kota Blitar, warga setempat melambaikan tangan dan memotret Kepala Negara. Sontak, seseorang merebut kertas karton putih dari tangan seorang pria. Lantas seorang polisi mengambil kertas yang sudah diremas itu, kemudian membawa si pembentang karton. Dia dipisahkan dari warga lain dan dibawa menuju ke mobil polisi.
Kalimat di karton itu menjadi pemicu, tulisannya “Pak Jokowi, bantu peternak beli jagung dengan harga wajar." Pria itu kemudian diperiksa di Mapolres Blitar Kota. Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Gatot Repli mengatakan pria yang ditangkap adalah seorang peternak ayam petelur yang mengeluhkan harga telur anjlok.
Keluhan si peternak pun telah dimediasi oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah dan akan ditindaklanjuti. Namun si peternak tetap menyuarakan aspirasinya ketika Presiden Jokowi melintas.
Si peternak tak ditahan meski ditangkap dan diperiksa polisi. “Langsung dipulangkan saat itu juga,” ucap Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Gatot Repli saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/9/2021).
Namun demikian, pemeriksaan peternak karena membentangkan poster saat Jokowi lewat tersebut menuai kritik. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Abdul Wachid Habibullah menyatakan yang dilakukan oleh si peternak adalah ekspresi warga menyampaikan aspirasi ke pemerintah.
“Hakikatnya itu adalah ekspresi warga yang sebenarnya sah-sah saja dalam negara demokrasi,” kata Wachid kepada reporter Tirto, Kamis (9/9/2021).
Ia menilai polisi telah represif kepada si peternak. Wachid juga mengingatkan soal mural wajah yang mirip dengan Jokowi, namun pada bagian matanya ditulisi “404: Not Found” dengan latar belakang hitam, yang tergambar di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang, Banten.
Gambar dinding itu viral, bahkan polisi langsung turun tangan memburu si pelukis. Mural itu, lanjut dia, juga merupakan ekspresi rakyat. Kedua perkara ini jika dikaitkan bukanlah termasuk tindak pidana.
“Jika dimasukkan ke ranah hukum, apa pasal yang digunakan? Kalau itu hanya berkaitan dengan menyampaikan ekspresi,” kata Wachid. Kepolisian memiliki diskresi, mestinya polisi bisa menggunakan ‘kelebihan’ itu di lapangan.
Dalam perkara si peternak, kepolisian bisa menilai dengan jernih. Bila tidak ada aturan yang dilanggar oleh si demonstran, maka tidak ada tindak pidana yang dilancarkan saat itu. Kecuali si peternak menyerang rombongan kepala negara.
Mitigasi Tak Maksimal
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto mengingatkan polisi jangan reaktif berlebihan menghadapi masyarakat yang mengungkapkan aspirasinya.
“Selama itu tidak membahayakan keselamatan siapapun. Di sisi lain, itu menunjukkan kerja Intelkam tak maksimal karena tidak bisa memitigasi potensi ancaman keamanan. Seseorang yang menyuarakan aspirasinya dianggap sebagai ancaman bagi presiden,” ucap dia kepada reporter Tirto.
Penangkapan ini mengkhawatirkan karena Polri memiliki landasan kebijakan yang gamblang untuk menjalankan tugas sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Salah satunya yakni Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kejadian ini mengkonfirmasi lagi bahwa ada ketidakkonsistenan antara kemauan Presiden Joko Widodo yang mengklaim menerima kritik dengan Polri yang menafsirkan tindak pidana.
“Imbauan yang selama ini disampaikan presiden jadi melempem. Sangat disayangkan, karena imbauan itu menjadi angin segar di tengah kemunduran demokrasi,” kata Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/2021).
Dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 16 Agustus 2021, presiden menegaskan “Saya juga menyadari, begitu banyak kritikan kepada pemerintah, terutama terhadap hal-hal yang belum bisa kami selesaikan. Kritik yang membangun itu sangat penting, dan selalu kami jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat.”
Jokowi pun berterima kasih kepada seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif dan terus ikut membangun budaya demokrasi. Namun, ketika ia menjadi nomor wahid di negara ini, banyak individu hingga lembaga yang mengkritisi kebijakan pemerintah, tapi harus menghadapi proses hukum.
Adinda melanjutkan, tidak ada hal yang berlebihan dalam tuntutan si peternak. Polisi pun harus berkeras diri untuk mengetahui dan memahami HAM, agar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum tak melulu diberangus aparat.
Ada jalur komunikasi publik yang mandek, kalau masyarakat sampai turun ke jalan. Meski menurut penelusuran polisi bahwa si peternak telah dimediasi oleh Forkopimda setempat, namun masih ada masalah lantaran ia melihat kedatangan presiden sebagai momentum bersuara.
“Yang disampaikannya adalah isu riil. Apakah kritik warga dianggap ingin menjatuhkan pemerintahan?” jelas Adinda.
Partisipasi publik pun telah diatur, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Adinda mengingatkan, penangkapan bisa dilakukan jika ada ancaman yang bisa menimbulkan keonaran. Bahkan keresahan peternak dalam selembar kertas itu bisa jadi masukan bagi pemerintah.
Bagi pihak yang hendak mengkritik rezim ini bisa terancam pidana, namun aparat penyelidik dan penyidik harus awas menelusuri kritik.
“Secara pidana (pihak yang dapat diproses hukum) kalau menyangkut pribadi seseorang, tapi kalau (mengkritik) menyangkut kebijakan, tidak masalah dan sangat ditunggu,” tutur Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, kepada reporter Tirto, 16 Agustus 2021.
Bahkan jika orang yang bersangkutan tidak merasa kritik itu menghinanya, maka ia tidak perlu mengadukan kritikan itu kepada kepolisian. Sebaliknya, delik aduan berlaku ketika orang yang bersangkutan merasa tersinggung, terpojok, atau tercemar namanya lantaran kritikan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz