tirto.id - Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada 23 Juni 2021. Menkopolhukam Mahfud MD sebut hal ini sebagai respons suara publik yang menyebut UU ITE kerap makan korban karena mengandung pasal kare, melahirkan kriminalisasi, dan diskriminasi.
Melalui pedoman ini diharapkan agar penegak hukum tidak multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya keadilan perihal penegakan hukum UU ITE, sembari menunggu Rancangan Undang-Undang ITE masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2021.
Namun petunjuk teknis seperti Surat Edaran Kapolri atau Pedoman Jaksa Agung bisa terus berlaku.
Keputusan mereka yaitu memuat rencana revisi terbatas UU ITE, serta pedoman implementasi beberapa pasal UU ITE yakni Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. Meski SKB tersebut tidak ideal untuk menyelesaikan masalah yang terkandung di undang-undang itu, tapi setidaknya SKB ini bisa menjadi acuan aparat untuk tidak sembarangan menjerat warga yang dituding melanggar UU ITE.
Sayangnya, SKB UU ITE ini tidak berdampak apa pun terhadap kasus dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Saiful Mahdi. Pada 2 September 2021, Saiful Mahdi mulai menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menyatakan Saiful Mahdi bersalah dalam kasus pencemaran nama baik. Ia pun harus menjalani vonis 3 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 1 bulan kurungan.
Kronologi Kasus Saiful Mahdi
Saiful Mahdi dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah karena mengkritisi sistem tes CPNS untuk dosen Fakultas Teknik Unsyiah pada akhir 2018. Dalam keterangannya, Saiful tidak berniat mencemarkan nama baik seseorang, namun hanya mengkritik terkait kepentingan publik.
Kritik tersebut dibalas dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ia dijerat Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kala itu, Saiful menemukan ada seorang peserta yang mengunggah berkas yang di luar dari persyaratan, dan orang itu kemudian lulus administrasi. Maka Saiful menyampaikan temuan itu di grup WhatsApp, ia bilang “Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”
Jajaran fakultas menganggap "dikorup" itu bermakna korupsi, padahal korup yang dimaksudkan Saiful Mahdi ialah sistem yang salah. Lantas, Dekan Fakultas Teknik melaporkan Saiful ke Polresta Banda Aceh. Proses hukum berjalan, akhirnya Saiful harus mendekam di balik jeruji, serta pada 29 Juni 2021, permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Kasus yang menjerat Saiful Mahdi juga harus ditinjau ulang dengan menggunakan cara pandang SKB UU ITE tersebut. Seharusnya Mahkamah Agung memperhatikan SKB itu dan menggunakannya sebagai dasar untuk mengadili kasus ini. Kini tim litigasi koalisi advokasi untuk Saiful Mahdi akan mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan penegakan hukum di Indonesia seringkali penuh rekayasa dan peradilan sesat karena orang yang tidak bersalah secara hukum malah diputus bersalah. Hal itu juga tercermin dalam kasus yang menjerat Saiful Mahdi ini.
"Saiful Mahdi sejatinya mengkritik, dia membongkar permasalahan yang tersembunyi dalam rekrutmen PNS," kata Isnur, Kamis (2/9/2021). Ini merupakan serangan balik kepada si dosen. Bahkan ketika dalam persidangan, ahli dari Kominfo menyatakan bahwa kasus ini tidak bisa dipidana.
Saiful Mahdi adalah korban dari sistem UU ITE, maka tim kuasa hukum Saiful berencana mengajukan amnesti agar Presiden Joko Widodo bisa menghapuskan hukuman terhadap Saiful.
Mengapa kuasa hukum tidak mengajukan Peninjauan Kembali atau PK? "Di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, itu seragam. Kami melihat ada konservatisme di peradilan seperti itu," jelas Isnur.
Isnur berharap Presiden Jokowi dan pemerintah mengabulkan permohonan amnesti tersebut, sehingga hal-hal yang membungkam kebebasan akademis dan membungkam kebebasan berekspresi tidak terjadi lagi.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyorot soal pernyataan Saiful Mahdi dalam grup WhatsApp. Dalam SKB tersebut, salah satu fokus pada Pasal 27 ayat (3) ini adalah “Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.”
“Jika dia menyebarkan (kritik) di dalam grup WhatsApp yang kemudian jadi bahan pembicaraan mereka, seharusnya tidak dikenai (pasal) penghinaan. Karena itu tidak bermaksud untuk diketahui umum,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (3/9/2021).
Lantas dalam pasal itu menegaskan perihal ‘menyerang kehormatan seseorang’, sementara Saiful Mahdi mengkritik proses rekrutmen di Fakultas Teknik, kata Erasmus.
“Dia tidak menuduh, tidak menyebut orang, tidak merendahkan martabat orang. Pun mau menuduh, dia menyerang sistem (rekrutmen). Itu tidak termasuk dalam penghinaan. Kasus ini dituntut pun, aneh," kata Erasmus.
Erasmus menuturkan bahwa SKB hanyalah memperjelas konteks UU ITE. Artinya, secara mendasar memang seperti itulah seharusnya UU ITE diterapkan, seperti yang tertulis dalam SKB.
SKB Hanya Tong Kosong
Kuasa Hukum Saiful Mahdi, sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia berujar SKB ini tidak menjawab apa pun. Namun hanya mempertegas kembali norma yang ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan memperkuat kembali pasal tersebut pascarevisi.
“Tak ada norma baru dalam SKB itu. Keputusan Bersama bukan berarti bisa menganulir undang-undang, ini adalah cara negara merespons kegaduhan masyarakat sipil terhadap UU ITE,” kata Syahrul kepada reporter Tirto, Jumat (3/9/2021).
Peradilan pun dianggap tak adil, karena pihak polisi atau jaksa tak menghadirkan ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai bagian dari kejernihan perkara. Akhirnya pihak Syahrul yang menghadirkan ahli tersebut.
Keberadaan ahli dari Kominfo itu diperkuat dengan Surat Edaran [PDF] Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor B-1179/E/EJP/07/2008 bertanggal 1 Juli 2008 perihal Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana lnformasi dan Transaksi Elektronik, yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga.
Dalam Surat Edaran tercantum: Perluasan alat bukti yang telah ditetapkan dalam KUHAP bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU lTE, lnformasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya telah ditetapkan sebagai alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, lnformasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya yang selama ini hanya merupakan barang bukti dalam perkara tindak pidana, pada pokoknya harus memenuhi beberapa kriteria.
Salah satu kriteria itu adalah “Berkenaan dengan hal tersebut, sebelum lnformasi dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dijadikan alat bukti, harus dimintakan keterangan ahli dari Departemen Kominfo terlebih dahulu apakah informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU lTE.”
“Satu-satunya yang harus dilakukan negara adalah merevisi segera UU ITE sebelum warga negara dipidana semua. Kasus Saiful membuktikan Surat Edaran itu tidak berfungsi,” tutur Syahrul.
Menurut dia, tidak ada standar tindak pidana atau kritik. Dalam keabu-abuan regulasi, aparat penegak hukum menafsirkan sendiri perkaranya. “Negara harus menghapus ruang-ruang penafsiran sepihak.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz