tirto.id - Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) berencana memanggil dan menagih utang dari 48 obligor dan debitur. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut total utang tersebut sebesar Rp111 triliun.
Salah satu obligor yang paling disorot ialah putra Presiden RI ke-2 Soeharto, yaitu Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Pratowo sempat mencuit melalui akun Twitter pribadi, utang Tommy berdasarkan Penetapan Jumlah Piutang Negara Nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 sebesar Rp2,61 triliun.
Satgas menjadwalkan pemanggilan Tommy pada 25 Agustus 2021, di Gedung Syafrudin Prawiranegara Lantai 4 Utara, Kementerian Keuangan RI. Tommy dipanggil atas nama pengurus PT Timor Putra Nasional (TPN) bersama Ronny Hendrarto Rono Wicaksono. Namun Tommy tidak hadir dan hanya mengirim utusan.
Pada saat bersamaan, Satgas BLBI juga memanggil Agus Anwar selaku penjamin atas penyelesaian kewajiban debitur PT Panca Muspan sebesar Rp82,24 miliar; selaku penjamin penyelesaian kewajiban debitur PT Bumisuri Adilestari sebesar Rp22,32 miliar; dan untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI sebesar Rp635,44 dalam rangka PKPS Bank Pelita Istimarat.
Satgas BLBI terbentuk sejak 6 April 2021 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021. Perkara perdata ini berawal dari putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung. MA menyebutkan tidak ada unsur pidana dalam perkara tersebut. MA menolak Peninjauan Kembali (PK) KPK. Sehingga KPK pun menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3).
Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola meragukan cara pemerintah menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan memanggil para obligor akan efektif. Sebab, kasus BLBI bermula sebagai kasus pidana kemudian menjadi perdata.
"Jalur perdata yang ditempuh pemerintah, amat bergantung sepenuhnya pada itikad baik para debitor atau obligor," ujar Alvin saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/8/2021).
Alvin juga meragukan kemampuan Satgas BLBI dalam hal melacak dan merampas aset para obligor dan debitur. Terlebih aset mereka yang tercecer hingga ke luar negeri.
"Terlebih hingga saat ini kita belum punya Undang-Undang Perampasan Aset sehingga akan menyulitkan langkah satgas," ujarnya.
Selain itu, Alvin menyayangkan sikap pemerintah yang tertutup. Sejauh ini, Satgas BLBI tidak pernah menginfokan proses penagihan tersebut.
"Jika ada debitur yang sulit ditagih, perlu dieksplorasi pilihan untuk mengalihkannya ke ranah pidana. Dengan pengalihan ke ranah pidana, kekuatan hukum pemerintah akan lebih kuat sehingga aset negara bisa dieksekusi," ujarnya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga menyatakan pesimis dengan upaya penyelesaian kasus BLBI dengan jalur perdata. Menurutnya hal itu tidak efektif dan pemerintah berpotensi kalah.
"Kalau dipidana, kan, bisa disita. Kalau pengadilan menyatakan bersalah karena korupsi. Hartanya dilelang," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (27/8/2021).
Sebab jika melalui perdata, menurut Boyamin, terlalu rumit: pemerintah perlu menagih, merampas aset, belum jika ada perlawanan dan aset rampasan tidak bisa dilelang.
"Saya fokus mendorong proses pidana korupsi. Karena ada dugaan pengemplangan, dugaan pembobolan, fiktif, dan perbuatan pidana lainnya," ujarnya.
Kendala Penuntasan Kasus BLBI
Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi mengatakan penyelesaian kasus BLBI mengalami kendala, terutama soal aset-aset obligor dan debitur yang berada di luar negeri. Sementara pijakan hukum di Indonesia belum mumpuni untuk menyelesaikan hal tersebut.
"Saya mendorong kepada semua pihak untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset yang dapat membantu Satgas ini dan tugas lain di kemudian hari," ujarnya dalam konferensi pers perampasan aset di Tangerang, Jumat (27/8/2021).
Terlepas dari itu, ia mengaku akan berupaya semaksimal mungkin untuk menuntaskan kasus puluhan tahun tersebut. Satgas akan melakukan berbagai cara semisal dengan pendekatan hukum perpajakan, menjalin kerja sama internasional, pembekuan aset, dan termasuk mencoba perjanjian ekstradisi.
Sejauh ini, Satgas BLBI sudah merampas aset milik eks debitur PT Lippo Karawaci yakni 44 bidang tanah dengan total luasan kira-kira 251.992 meter persegi. Hal tersebut berkelindan dengan giat rampas di beberapa tempat semisal Jakarta, Tangerang, Medan, Pekanbaru, Bogor, Surabaya dan Bali. Dengan total hasil rampasan 114 bidang tanah dengan luas 5.324.346 meter.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membuka kemungkinan penyelesaian BLBI kali ini akan memakai jalur pidana. Hal tersebut akan bergantung pada hasil pemeriksaan terhadap obligor dan debitur.
"Misalnya ada yang memberikan keterangan palsu, pengalihan aset terhadap yang sah dan sebagainya," ujar Mahfud dalam kesempatan yang sama.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz