Menuju konten utama

Vonis Korupsi Bansos Juliari Batubara: Penggunaan Pasal Tak Tepat?

Para aktivis antikorupsi mempertanyakan vonis rendah kasus korupsi bansos Juliari Batubara. Semestinya Juliari dipenjara seumur hidup.

Vonis Korupsi Bansos Juliari Batubara: Penggunaan Pasal Tak Tepat?
Terdakwa korupsi bansos se-Jabodetabek tahun 2020 Juliari Batubara (kanan) bersiap mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/4/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (23/8/2021). Putusan tersebut lebih tinggi satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

Hakim juga memutuskan Juliari Batubara membayar uang pengganti Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara dan mencabut hak politik kader PDI Perjuangan tersebut selama 4 tahun.

Namun, para pegiat antikorupsi memandang vonis tersebut rendah dan tidak sebanding dengan kerugian yang dilakukan Juliari. Sebab, Juliari mengorupsi bantuan sosial Covid-19 dan menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari rekanan Kemensos.

Juliari menerima uang dari konsultan hukum, Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,28 miliar; Direktur Utama PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja, sejumlah Rp1,95 miliar; dan rekanan penyedia bansos Covid-19 lainnya senilai Rp29,2 miliar.

“Hakim tidak memberikan hukuman maksimal. Padahal perbuatan Juliari sangat serius dan dilakukan dalam kondisi bencana,” ujar Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman kepada reporter Tirto, Senin (23/8/2021).

Menurut Zaenur, semestinya Juliari bisa dihukum lebih tinggi dari vonis sebagai pasal yang dikenakan. Juliari dinilai bersalah melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 12 b memuat hukuman maksimal seumur hidup atau paling lama 20 tahun.

"Hakim tidak menggunakan kesempatan yang diberikan Pasal 12 b UU Tipikor tersebut,” kata Zaenur.

Dalam vonis tersebut, hakim menilai hal yang meringankan lantaran Juliari belum pernah dijatuhi pidana. Juliari kooperatif dalam membuat persidangan menjadi lancar. Serta ia menderita karena dirundung masyarakat akibat sikap koruptifnya.

Sementara hal yang memberatkan ialah Juliari tidak bersikap kesatria lantaran berani berbuat, tapi tidak berani bertanggung jawab. Bahkan Juliari kerap menyangkal perbuatan korupnya tersebut.

"Hakim bermain aman,” kata Zaenur.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga tak habis pikir. Menurutnya vonis tersebut tidak masuk akal dan akan melukai masyarakat selaku korban korupsi bansos Covid-19.

Semestinya Juliari bisa dipenjara seumur hidup, kata Kurnia. Terlebih ia melakukan korupsi saat bertugas sebagai pejabat publik. Terlebih lagi Juliari kerap tidak mengakui perbuatan koruptifnya.

“Sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP, hukuman Juliari mesti diperberat,” ujar Kurnia dalam keterangan tertulis.

Dalam Pasal 52 KUHP berbunyi: Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Menurut Kurnia, hal tersebut kian menunjukkan KPK tak serius menangani perkara bansos. Terlebih perkara ini sudah mengalami berbagai polemik sebelumnya: keterlambatan melakukan penggeledahan, keengganan memanggil sejumlah politisi sebagai saksi, hingga pemecatan Kasatgas Penyidikan dan Penyidik perkara bansos melalui Tes Wawasan Kebangsaan.

"Berangkat dari hal ini, maka semakin lengkap kebobrokan penegak hukum, baik KPK maupun pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos,” tukas Kurnia.

Menyikapi hasil vonis pengadilan, KPK justru mengapresiasi hal tersebut. KPK akan mempelajari vonis terhadap Juliari itu, kemudian mengambil langkah selanjutnya.

“KPK berharap putusan ini memberikan efek jera sekaligus menjadi upaya asset recovery hasil tindak pidana korupsi secara optimal,” ujar Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulis.

Penggunaan Pasal Tidak Tepat

Terlepas dari vonis Juliari yang dinilai masih rendah dan tak sebanding dengan dampak kerugiannya, Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai penggunaan Pasal 12 b UU Tipikor justru menyempitkan kasus, lantaran hanya terbatas pada perkara suap.

Semestinya sejak awal KPK menggunakan Pasal 2 UU Tipikor terhadap Juliari.

"Nama politisi Ihsan Yunus dan Herman Hery hilang dalam surat dakwaan. Nah penggunaan Pasal 2 itu memungkinkan untuk menjerat aktor lain karena sifatnya yang lebih luas,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (24/8/2021).

Perihal ini, KPK pernah berdalih perkara Juliari berawal dari penyelidikan tertutup. Sementara untuk penerapan Pasal 2 perlu penyelidikan terbuka.

Satu-satunya harapan untuk memberatkan hukuman Juliari dengan berharap pada gugatan para korban korupsi bansos. Pada Juni 2021, 18 warga Jabodetabek korban korupsi bansos mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, tapi ditolak hakim PN Jakarta Pusat. Kemudian mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 9 Agustus 2021.

“Berharap MA mengabulkan kasasi mereka. Dengan itu, masih ada kesempatan untuk pemeriksaan kembali terhadap kasus ini,” tukas Alvin.

Sementara untuk proses banding, hal tersebut kecil kemungkinan. Menurut Zaenur Rohman lantaran vonis hakim sudah lebih tinggi dari tuntutan JPU KPK.

“Vonis ini sepertinya sudah dipikirkan matang-matang oleh majelis halim untuk tidak dibanding JPU, karena sudah lebih tinggi dari tuntutan,” ujar Zaenur.

Baca juga artikel terkait JULIARI BATUBARA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz