tirto.id - Penyaluran bantuan sosial (bansos) saat pandemi COVID-19 dari pemerintah terdapat banyak permasalahan. Sengkarut data bansos menjadi penyebab utama yang akhirnya berujung pada penundaan penyaluran hingga pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh para pendamping.
Sengkarut data bansos ini adalah masalah lama, tapi kembali mengemuka saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sebelumnya pemerintah berjanji akan menyalurkan bansos pada minggu kedua Juni, tapi Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan pihaknya masih melakukan proses pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) secara berkala.
Sejumlah program bansos yang akan disalurkan Kemensos, antara lain: Bantuan Sosial Tunai (BST) sebesar Rp15,1 triliun untuk 10 juta KPM selama 2 bulan yakni Mei dan Juni 2021, yang cair pada Juli dengan indeks Rp600 ribu/KPM yang disalurkan oleh PT. Pos Indonesia.
Kemudian Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)/kartu sembako sebesar Rp42,3 triliun menyasar sebanyak 18,8 juta KPM dan mendapat tambahan dua bulan, yakni Juli dan Agustus dengan indeks Rp200 ribu/KPM perbulan yang disalurkan melalui Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara).
Selanjutnya Program Keluarga Harapan (PKH) dengan anggaran sebesar Rp28,3 triliun untuk 10 juta KPM dengan tiga komponen, yakni komponen kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial (kesos). Kemensos juga bermitra dengan Perum Bulog dalam penyaluran bantuan beras 10 kilogram untuk 10 juta KPM PKH, 10 juta KPM BST, dan 8,8 juta KPM BPNT/Kartu Sembako non PKH.
Selain itu, Kemensos juga memiliki program lain, yaitu memberikan bantuan kepada 5,9 juta KPM yang baru didaftarkan dengan data yang diusulkan dari pemerintah daerah dengan indeks sebesar Rp200 ribu/KPM selama Juli-Desember 2021. Untuk keperluan itu, Kemensos mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,08 triliun.
Kemudian, Kemensos juga menyalurkan bantuan beras sebesar 5 kilogram khusus disalurkan untuk pekerja sektor informal terdampak pandemi di Jawa dan Bali, yakni zona pemberlakuan PPKM dengan penerima adalah pemilik warung makan, pedagang kaki lima, pengemudi ojek, buruh lepas, buruh harian, karyawan kontrak, dan sebagainya, yang tidak bisa bekerja karena pembatasan aktivitas.
Kemensos menyiapkan total 2.010 ton beras dan sebanyak 122 pemerintah kabupaten/kota mendapatkan masing-masing 3.000 paket beras (per paket seberat 5 kg) dan 6.000 paket (per paket seberat 5 kg) untuk enam ibu kota provinsi.
Pada 13 Juli, Risma mengklaim telah menyalurkan BST kepada kepada KPM. "Sejak minggu lalu sudah disalurkan. Penyaluran melalui PT Pos,” kata Mensos melalui keterangan tertulisnya.
Namun kenyataannya, pada 16 Juli 2021, bansos tak kunjung disalurkan. Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Asep Sasa Purnama mengatakan pihaknya masih menahan BST karena masih dilakukan perbaikan data.
Akan tetapi, Risma membantah pernyataan itu, dia berdalih Kemensos tidak menahan BST, melainkan hanya ingin memastikan warga yang berhak menerima bantuan tersebut.
"Enggak ada, kami enggak nahan, cuma tadi kami harus mengecek kontrol kualitas, apakah orangnya ada, apakah namanya orangnya benar berhak, atau mungkin orangnya ada. Kami lagi cek itu," kata Risma di Kantor Kemensos, Jakarta Pusat, Jumat (16/7/2021).
Setelah menunggu lama, pada 19 Juli 2021, bansos jenis BST akhirnya cair, salah satunya di DKI. Dari total 1.007.379 KPM yang tercatat oleh Pemprov DKI, hanya 907.616 keluarga yang baru menerima bansos, sementara 99.763 penerima masih harus melakukan penyesuaian data antara Pemprov dengan Kemensos.
Masalah Data Bukan Hal Baru
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menyatakan permasalahan penyesuaian data memang kerap terjadi di setiap pemberian bansos. Dampaknya, penyaluran bansos diberikan saat PPKM Darurat sudah berjalan, di mana warga banyak kehilangan mata pencahariannya.
Padahal, kata Wawan, seharusnya bansos bisa didistribusikan sebelum atau pada saat hari pertama PPKM Darurat diberlakukan. Bahkan pada saat disalurkan oleh PTM Pos Indonesia, Kemensos sempat menahan penyaluran bansos, dikarenakan masih melakukan penyesuaian data.
Selain itu, 99.763 data penerima bansos di Jakarta juga ditunda, lagi-lagi karena Kemensos dan Pemprov DKI masih melakukan sinkronisasi data. "Jika seperti ini masyarakat yang terkena dampaknya," kata Wawan kepada reporter Tirto, Selasa (3/8/2021).
Akibat sengkarut data ini, dia menilai hingga kini masih terdapat warga yang terdampak, tapi tidak mendapatkan bantuan, begitu pun sebaliknya. Berdasarkan kajian yang dilakukan TII, ketidakakuratan itu disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, data tidak terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP. Kedua, lemahnya proses verifikasi dan validasi data yang dilakukan negara. Dia menyebut, masih ada data penerima bansos yang bekerja dan memiliki penghasilan.
"Ini verifikasi dan validasi data yang kurang. Seharusnya Kemensos, kerja sama dengan Kemendagri melalui dukcapil dan pemda untuk validasi data," kata dia.
Tak hanya itu, permasalahan lain juga muncul di lapangan, yakni ditemukannya kasus pungli oleh pendamping bansos di sejumlah daerah. "Hal ini memprihatinkan. Kesadaran mentalnya [pelaku pungli] sudah rusak," kata dia.
Berdasarkan data yang dihimpun Tirto, setidaknya terdapat sejumlah temuan soal pungli bansos COVID ini. Pemerintah Kota Tangerang misal, mencatat ada 47 aduan pungli dalam pembagian bansos sejak Kamis (29/7/2021).
Praktik pungli ini bahkan ditemukan Mensos Risma saat melakukan sidak di RT 03/ RW 03, Rabu (28/7/2012). Saat itu, salah seorang warga curhat kepada Risma, dia mengaku dimintai 'uang kresek' bantuan pangan non-tunai (BPNT) sebesar Rp23 ribu. Seharusnya warga menerima Rp200 ribu, namun hanya menerima Rp177 ribu.
"Jadi ada Rp23 ribu [yang dipotong]. Coba bayangkan Rp23 ribu dikali 18,8 juta," kata Risma.
Usai mendapat laporan itu, polisi langsung bergerak untuk menyelidiki kasus tersebut. Ada beberapa kasus yang mengarah pada praktik penyelewengan dana. Salah satu penerima bansos mengaku hanya mendapat bantuan satu kali pada 2021, padahal dirinya sudah terdaftar sebagai penerima PKH sejak 2017.
Tak hanya itu, satu warga hanya mendapat bansos Rp500 ribu per tiga bulan pada 2021, sedangkan empat warga lainnya mendapat bantuan Rp600 ribu pada 2018-2020. Artinya, kejadian pungli bansos ini sudah terjadi jauh sebelum pandemi.
Selain di Tanggerang Kota, pungli juga terjadi di Beji, Depok, Jawa Barat. Salah seorang warga RW 05 mengaku dana bansos miliknya dipotong Rp50 ribu. Ia hanya menerima Rp550 ribu dari total Rp600 ribu. Uang potongan tersebut diklaim sebagai 'uang bensin ambulan'.
Pihak RW lantas membantah dan mengklaim uang tersebut adalah sumbangan sukarela dan bukan potongan dari dana bansos.
Baru-baru ini, warga Mangga Besar, Jakarta Pusat juga mengaku diminta pungli BPNT sebesar Rp10 ribu oleh pengurus RT setempat untuk ongkos penyaluran bansos langsung ke rumah penerima.
Selain Jabodetabek, di Banyumas, Jawa Tengah juga terjadi kejadian yang sama. Polresta Banyumas mengaku tengah menyelidiki dugaan penyunatan dana BPNT. Polisi mengaku sudah menerima laporan 4 perwakilan penerima manfaat yang mengalami penyunatan bantuan.
Penyaluran Bansos Libatkan Pihak Ketiga
Wawan menilai maraknya praktik pungli, salah satunya lantaran Kemensos masih menggunakan PT. Pos Indonesia sebagai penyalur. Lalu, melibatkan orang ketiga untuk menjadi pendamping bansos melalui pengurus wilayah setempat seperti RT/RW.
"Iya benar, ini rentan. Oknum RT/RW yang melakukan dalih sumbangan sukarela, seikhlasnya," kata Wawan.
Dengan adanya pihak ketiga, kata Wawan, mereka akan meminta pungli kepada penerima dengan dalih 'uang capek,' sehingga baik program BST, PKH, hingga BPNT, pihak pendamping akan meminta potongan kepada penerima.
Wawan mendorong agar Saber Pungli di Kemenkopolhukam harus turun untuk menindak masalah tersebut. Ia mengingatkan aksi pemotongan tidak jauh berbeda dengan tindakan korupsi eks Mensos Juliari Batubara.
"Nggak usah lihatin orang kecil, nyatanya Juliari juga kena kok korupsi bansos. Ini kan korupsi juga kan? Motong [anggaran] kan? Sikat saja. Menkopolhukam lewat Kapolri dan Saber Pungli di daerah-daerah itu harus cepat untuk takeover ini," ucapnya.
Penyaluran bansos, kata Wawan, sebaiknya menggunakan jasa perbankan agar bisa langsung ditransfer ke rekening penerima manfaat masing-masing. Misalnya melalui Bank DKI seperti yang dilakukan Pemprov DKI, agar tidak ada pihak ketiga yang berpotensi menyunat bansos dan bansos pun langsung diterima oleh warga.
"Opsi lainnya, penyaluran bansos baik sembako maupun tunai bisa melalui dinsos setempat, mereka bisa door to door untuk mencairkan uang dengan dikawal TNI-Polri. Jokowi saja bisa kan door to door kasih bansos," tuturnya.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai terjadinya pemotongan bansos dikarenakan mental pungli masih cukup mengakar di birokrasi, bahkan hingga tingkat RT/RW.
"Ini menandakan bahwa reformasi birokrasi gagal," kata Sekjen FITRA Misbah Hasan kepada reporter Tirto.
Sementara Peneliti FITRA, Betta Anugrah menjelaskan berbagai pungli bansos akan selalu terjadi karena beragam faktor. Pertama, keterbatasan informasi yang bisa diakses penerima bansos. Kedua, tahapan yang banyak sebelum bantuan diterima penerima manfaat. Akhirnya masyarakat menyerah dengan pelayanan publik yang korup.
Situasi ini diperkuat dengan adanya pembiaran dan pembiasaan dalam pelaksanaan pembagian bansos. Ia menilai, pemberian bantuan sosial akan selalu menjadi sasaran untuk dipungli maupun dikorupsi.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Menkopolhukam Mahfud MD mengakui terdapat tantangan dalam pengelolaan bansos, seperti permasalahan administrasi data penerima hingga pungutan liar. Bahkan, kata dia, hal itu merupakan masalah yang sudah sejak lama terjadi.
"Cuma sekarang ini ketika terjadi COVID seperti ini, baru terasa, sehingga kalau mau diambil, atau hikmah dari COVID ini kami lagi mau menata administrasi kependudukan," kata Mahfud di Kantor Kemenpolhukam, Sabtu (31/7/2021).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjelaskan kasus pungli dan korupsi bansos kini telah diproses hukum. Seperti kasus pungli di Tangerang, Depok, Jakarta, hingga Banyumas.
Mahfud mengatakan, tidak sedikit pemerintah daerah takut keluarkan dana karena takut dianggap korupsi bila proses tidak dipenuhi sesuai standar formal BPK dan BPKP oleh menteri keuangan.
Lalu, kata Mahfud, presiden mengeluarkan kebijakan agar semua uang bansos diputuskan dikirim lewat rekening. Uang tersebut dilakukan agar tidak dikorupsi. Akan tetapi, pemerintah sadar ada tantangan dalam pemberian anggaran kepada warga desa.
"Tapi nggak bisa juga ternyata orang-orang desa itu nggak tahu rekening itu apa. Banyak yang nggak punya rekening," kata Mahfud.
Sementara itu, Mensos Tri Rismaharini menegaskan pendamping bansos tidak boleh melakukan pungutan liar, sebab mereka telah diberikan gaji.
"Tidak bisa ditoleransi tidakan oknum pendamping PKH [Program Keluarga Harapan], karena kan sudah diberikan gaji. Jadi tidak bisa melakukan pemotongan dengan alasan apa pun," kata Risma di Jakarta, Selasa (3/8/2021). Namun dia tak merinci besaran gaji yang diberikan kepada pendamping bansos.
Sejauh ini, sejumlah kasus penyalahgunaan dana bansos sudah banyak ditangani baik oleh Bareskrim Polri maupun Kejaksaan. "Namun tidak mudah. Sebab banyak yang harus diperiksa, dan butuh SDM dan waktu yang banyak," ucapnya.
Politikus PDI-P itu mengaku sebenarnya berencana menyalurkan bansos melalui bank, misalnya penyaluran melalui Bank DKI seperti yang dilakukan Pemprov DKI agar lebih efektif dan menghindari pungutan liar.
Namun, karena Bank DKI menyatakan untuk membuat rekening baru membutuhkan waktu 1-1,5 bulan, dan bank lainnya juga membutuhkan waktu lama, sementara masyarakat sudah membutuhkan bantuan karena PPKM, maka akhirnya Kemensos memilih menyalurkan melalui PT. Pos Indonesia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz