tirto.id - Humas Mabes Polri pada 26 Juli 2021 merilis pernyataan tertulis bahwa Polda Sumatera Selatan mendapat bantuan dana penanggulangan COVID-19 dari keluarga Akidi Tio, pengusaha asal Aceh. Heriyanti (dalam giro bank tertulis Haryanty), anak bungsu si pengusaha, yang menyerahkannya.
Penyerahan bantuan Rp2 triliun secara simbolis itu diserahkan ke Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Eko Indra Heri dan disaksikan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Lesty Nurainy serta Danrem 044/Gapo Brigjen TNI Jauhari Agus Suraji.
Irjen Eko mengaku Akidi Tio adalah keluarga yang ia kenal saat bertugas di Aceh beberapa tahun silam. Ia pun terkejut ketika menerima bantuan itu. "Ini adalah amanah yang sangat luar biasa dan berat sekali karena uang yang diamanahkan ini besar dan pastinya harus dipertanggungjawabkan,” kata jenderal bintang dua itu.
Sepekan kemudian, 2 Agustus 2021, polisi menyambangi kediaman Heriyanti di Jalan Tugu Mulyo, Kecamatan Ilir Timur I, Kota Palembang. Kemudian polisi membawa perempuan itu ke markas kepolisian untuk dimintai keterangan perihal sumbangan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan.
Dalam pemeriksaan, terjadi kesimpangsiuran soal status Heriyanti. “Perlu digarisbawahi, kami undang (Heriyanti), bukan kami tangkap. Kami undang datang ke Polda untuk mengklarifikasi penyerahan dana Rp2 triliun melalui bilyet giro," kata Kabid Humas Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Supriadi saat memberikan keterangan pers kepada wartawan, Senin (2/8/2021).
Pernyataan juru bicara berbeda dengan yang disampaikan Direktur Intelkam Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Ratno Kuncoro saat bertemu Gubernur Sumsel Herman Deru pukul 14.20 WIB di kantor gubernur. Saat itu, Ratno menyebut Heriyanti telah menjadi tersangka dan dijerat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ihwal penyebaran berita bohong dan terancam 10 tahun penjara.
Pasal 15 regulasi tersebut menyatakan “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.” [PDF].
Jika merujuk kepada hukuman 10 tahun kurungan, sanksi selama itu terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, alias bukan pasal yang dipersangkakan oleh polisi. Bunyi pasal tersebut yakni “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, kedua pasal itu masih saling berkaitan. Bedanya, Pasal 14 soal penyebaran berita bohong, sementara Pasal 15 lebih “telah mengetahui” atau memiliki niat sengaja meski bagian dari kesengajaan itu adalah kelalaian.
Ia menjelaskan soal Pasal 15. “Pidana itu tidak bicara pembuat berita bohong, karena orang itu harus tahu atau menduga berita itu bohong. (Intinya) dia menyiarkan kabar bohong dengan konteks untuk menimbulkan keonaran,” kata Erasmus kepada reporter Tirto, Selasa (3/8/2021).
Selanjutnya, pada Pasal XIV [PDF]. Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, keonaran berarti “adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan membuat juga keonaran.”
“Ketentuan keonaran itu bukan hanya kegaduhan saja, tapi telah menimbulkan masalah besar di masyarakat. Konteks kemarin [Heriyanti] itu tidak menimbulkan masalah apa pun di masyarakat. Selain dampak tidak masif, ya, tidak ada keonaran,” kata Erasmus.
Menurut dia, wajar jika publik mengomentari perkara ini, tetapi itu bukan kategori keonaran, malah termasuk skeptis.
Mestinya kepolisian memverifikasi terlebih dahulu sebelum menerima sumbangan, bukan menggelar konferensi pers terlebih dahulu kemudian mengklarifikasi, kata dia.
Kepolisian bisa menelusuri dana Rp2 triliun itu berasal dari mana, misalnya pemajakan si penyumbang atau latar belakang si Heriyanti dan keluarga Akidi Tio, serta mekanisme pemberian sumbangan. Singkatnya, polisi tidak boleh gegabah bertindak.
“Polisi akan sangat sulit membuktikan penyiaran berita bohongnya karena harusnya ada kewajiban untuk memverifikasi. Ini adalah sumbangan, orang batal menyumbang bukanlah (termasuk) berita bohong, karena tidak ada keuntungan yang timbul,” kata Erasmus. Kecuali sumbangan itu ada hitam di atas putih, lantas hibah bersifat tidak wajib.
Jika polisi tetap menersangkakan si penyumbang, tindak pidana yang mendekati adalah penipuan sebagaimana dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Namun, siapa yang ditipu oleh Heriyanti? Dia memberikan itu kepada instansi, bukan kepada personal. Tidak ada hak yang timbul dari sumbangan itu. “Tidak ada unsur pidananya sama sekali (terhadap Heriyanti). Kalau polisi merasa malu, kembali lagi ke masalah verifikasi. Dalam kasus ini polisi sebagai penyebar informasi kepada publik perihal penyerahan bantuan secara simbolis. Kalau dia (polisi) mengklaim ada keonaran, yang dipidana adalah yang menyiarkan. Siapa yang menyiarkan?” kata dia.
Ketidakjelasan Status Heriyanti
Senin malam (2/8/2021), kepolisian tak menetapkan Heriyanti sebagai tersangka dalam perkara ini. Kepastian itu diungkapkan langsung oleh Direktur Reskrimum Polda Sumsel Kombes Hisar Siallagan setelah Heriyanti bersama suami dan seorang anaknya setelah delapan jam memberikan keterangan.
"Status sekarang wajib lapor," kata Hisar. Bahkan polisi berencana melanjutkan pemeriksaan Heriyanti keesokan harinya.
Beda omongan perihal status tersangka Heriyanti seolah mencerminkan siapa yang berwenang mengumumkan status tersebut.
“Soal ralat itu bisa saja dilakukan. Sebenarnya di antara Dir Intel dan Kabid Humas sama-sama tidak punya kewenangan karena kewenangan penetapan tersangka pada Direktorat Reserse, tentu sepengetahuan Kapolda. Perubahan pernyataan itu menunjukkan tidak adanya koordinasi yang bagus oleh Kapolda Sumatera Selatan kepada bawahannya,” kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto, kepada Tirto, Selasa (3/8/2021).
Perihal sumbangan, ada indikasi miskoordinasi antara Kapolda terhadap anak buahnya, kepolisian tak mengecek terlebih dahulu soal duit tersebut. Penelusuran rekening, bentuk sumbangan, ‘legal atau tidak legal’ uang itu, semuanya bisa diklarifikasi sebelum mempublikasikan kepada khalayak.
“Yang membikin kehebohan itu adalah Polda Sumatera Selatan. Karena sebelum cek dan ricek apa dan bagaimana mekanisme bantuan sosial yang sudah ‘diniatkan’ oleh penyumbang, buru-buru mempublikasikan. Ini tentunya kecerobohan yang fatal. Kepolisian adalah institusi yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan,” kata dia.
Kecerobohan Irjen Pol Eko Indra yang akhirnya membuat kehebohan di tengah pandemi ini, dan kalau mau adil, kata Bambang, Kapolda harusnya bisa dikenakan Pasal 45C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena sudah mempublikasikan kebohongan.
“Karena, sekali lagi, kepolisian diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Jadi sebelum publikasi menerima bansos Rp2 triliun harusnya sudah kroscek dan klir dahulu,” imbuh Bambang.
Sementara itu, pengajar Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berujar penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Heriyanti merupakan kewenangan kepolisian terhadap pihak yang diduga melakukan penipuan.
Penetapan tersangka itu juga bisa ditetapkan kepada mereka yang membantu seolah telah terjadi sumbangan dana tersebut. Dalam kasus ini, bisa saja polisi menjerat Heriyanti dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Penyebaran berita bohong. Demikian juga orang yang memungkinkan peristiwa itu terpublikasi harus menjadi tersangka karena membantu publikasinya,” kata dia kepada Tirto, Selasa (3/8/2021).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz