tirto.id - Kasus korupsi yang melibatkan eks Menteri Sosial Juliari Pieter Batubara kembali disorot. Kali ini, jaksa penuntut umum KPK malah menuntut Juliari yang dinilai terbukti bersalah dan menggarong dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 dengan tuntutan hukuman 11 tahun penjara. Padahal ia bisa dituntut hukuman maksimal karena terkait bansos bencana.
"Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 11 tahun dikurangi selama terdakwa berada di tahanan dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," kata JPU KPK dalam persidangan dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (28/7/2021).
Jaksa meyakini, Juliari menerima suap sekitar Rp32 miliar dari para pengusaha yang menggarap proyek pengadaan bansos untuk penanganan COVID-19. Uang tersebut diduga sebagai pelicin agar perusahaan mendapatkan proyek penanganan COVID dari PT Pertani, PT Mandala Hamonganan Sude, dan PT Tigapilar Agro Utama.
Semua uang tersebut diduga diterima lewat sejumlah jalur, yakni mantan Plt Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos Adi Wahyono, yang juga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan bansos COVID-19 Matheus Joko Santoso.
Jaksa KPK menilai, politikus PDI Perjuangan itu melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain soal tuntutan hukuman badan, Juliari dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar, tapi jika tidak akan diganti dengan hukuman penjara selama 2 tahun. Juliari juga dituntut untuk tidak menduduki jabatan publik dan kehilangan hak untuk dipilih, terhitung setelah ia selesai menyelesaikan masa pidana pokok selama 4 tahun.
Hal yang memberatkan dan menjadi sorotan adalah Juliari kerap memberikan keterangan yang semrawut dan kerap tidak mengakui perbuatan korupnya. Sehingga hal tersebut menjadi catatan pemberat bagi JPU KPK.
"Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN," demikian JPU KPK.
Tuntutan untuk Juliari Batubara Menuai Kritik
Tuntutan KPK terhadap Juliari lantas dikritik sejumlah aktivis antikorupsi karena dinilai tidak maksimal. Salah satunya advokat dari Visi Integritas sekaligus mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Ia menilai tuntutan tersebut terlalu rendah untuk pelaku korupsi dana bansos saat pandemi COVID. Hukuman Juliari seharusnya bisa mendekati hukuman maksimal.
"Di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini, tuntutan untuk terdakwa korupsi bansos COVID hanya 11 tahun, saya rasa tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban korupsi bansos. Apalagi ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun atau seumur hidup. Jauh sekali dari ancaman maksimal," kata Febri, Kamis (29/7/2021).
Sebagai catatan, Pasal 12 Undang-Undang 31 tahun 1999 jo 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan hukuman minimal 4 tahun penjara, sementara maksimal 20 tahun penjara. Pelaku yang dikenakan pasal ini dikenakan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Di sisi lain, dalam penelusuran Tirto, terdakwa korupsi dana bantuan sosial di Kabupaten Bengkalis, Jamal Abdillah dituntut 14 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal tersebut diungkapkan saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, Kamis (22/1/2016).
Febri mengingatkan, KPK punya pekerjaan rumah besar lain di luar masalah Juliari, yakni mengejar pihak lain yang menerima bansos. PR tersebut semakin jelas karena KPK justru memecat penyidik yang fokus pada perkara tersebut.
"Kita ingat penanganan kasus ini memunculkan sejumlah kontroversi, mulai dari nama-nama politikus yang muncul, tapi tidak jelas proses lanjutannya sampai pada para penyidik bansos yang disingkirkan menggunakan alat TWK yang bermasalah secara hukum," kata Febri yang juga mantan Kepala Biro Humas KPK.
Hal senada diungkapkan peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang menilai tuntutan tersebut ganjil. Kurnia menyinggung hukuman Juliari seharusnya bisa maksimal, apalagi Juliari berstatus pejabat publik yang layak dikenakan tambahan Pasal 52 KUHP; melakukan aksi suap-menyuap di saat negara krisis pandemi dan ribuan nyawa melayang; tidak mengakui perbuatan korupsi; dan aksi Juliari pengaruhi penerimaan bansos kepada rakyat yang buruk.
"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos COVID-19," kata Kurnia kepada reporter Tirto, Kamis (29/7/2021).
Kurnia mengingatkan, perbuatan korupsi yang diduga terjadi dalam distribusi bansos COVID-19 ini, diduga kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara. Potensi tersebut dapat muncul dari besaran keuntungan yang tidak wajar yang diambil oleh para penyedia, yang minim pengalaman atau bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali, sebagai produsen utama program bansos.
Menurut Kurnia, jika KPK menuntut rendah terhadap Juliari, maka dugaan publik selama ini terkonfirmasi, yakni KPK ingin melindungi pelaku korupsi bansos. Apalagi di era Firli Bahuri, KPK banyak disorot publik.
"ICW juga mensinyalir pimpinan KPK maupun Dewan Pengawas merasa terganggu dengan proses hukum perkara bansos," kata dia.
Oleh karena itu, ICW mendorong hakim melakukan tindakan progresif dengan menghukum Juliari secara maksimal. "Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di tengah pandemi COVID-19, akibat praktik korupsi ini," kata Kurnia.
Direktur Eksekutif PusaKo Feri Amsari juga mengritik isi tuntutan KPK terhadap Juliari. Fery bahkan berpendapat Juliari bisa dituntut hukuman seumur hidup hingga hukuman mati akibat mengkorupsi dana penanganan COVID.
"Sebenarnya kalau korupsi itu terkait dengan kebutuhan sosial masyarakat apalagi di tengah pandemi memang ancaman hukuman minimalnya adalah hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati," kata Feri kepada reporter Tirto.
Feri paham bahwa penuntutan hukuman mati tentu menjadi perdebatan jika diterapkan dalam kasus Juliari. Akan tetapi, penetapan hukuman seumur hidup bisa menjadi pertimbangan untuk membuat penjeraan seperti di masa lalu.
Selain itu, Feri juga menyoroti soal penghilangan hak dipilih selama 4 tahun setelah hukuman berakhir. Bagi pria yang juga dosen Universitas Andalas ini, hukuman tersebut terlalu ringan. Ia menilai hukuman 4 tahun masih membuat Juliari bisa ikut pemilu pada 2029.
"Jadi dia tidak akan dapat menggunakan hak politiknya termasuk untuk menjabat di kekuasaan pemerintahan, pelayanan publik dan segala macam hal yang terkait dengan itu agar bisa 2 periode dan itu berdampak betul kepada pelaku," kata Feri.
Dalih KPK: Tuntutan Juliari Sesuai Fakta Persidangan
Menanggapi kritik tersebut, Plt Juru Bicara bagian penindakan KPK Ali Fikri menegaskan tuntutan yang diberikan jaksa KPK sudah sesuai dengan fakta persidangan dan tidak ada desakan atau keinginan dari pihak tertentu.
"Perlu kami tegaskan kembali, dalam perkara ini terdakwa dituntut terkait pasal suap, bukan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Penerapan pasal tentu karena berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan," kata Ali dalam keterangan tertulis, Kamis (29/7/2021).
Ali mengatakan pertimbangan alasan memberatkan dan meringankan hingga penuntutan uang pengganti dan pencabutan hak politik juga dinilai dalam penjatuhan penuntutan. Is mencontohkan pemberatan tuntutan dengan menuntut uang pengganti yang dapat diganti hukuman penjara apabila tidak dibayarkan Juliari.
Ia menerangkan, sekalipun dalam beberapa perkara Tipikor, uang pengganti dibebankan kepada terdakwa dalam perkara yang berhubungan dengan penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor yaitu yang berhubungan dengan kerugian negara.
"Namun, Jaksa KPK tentu juga memiliki dasar hukum kuat dalam menuntut uang pengganti terhadap terdakwa Juliari P Batubara ini dan kami berharap majelis hakim akan mengabulkan seluruh tuntutan tim JPU," kata Ali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz