Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Satpol PP & TNI-Polri Jaga Warteg: Rawan Kekerasan kepada Pelanggan

Sejumlah pedagang warteg khawatir pemerintah terjunkan Satpol PP dan TNI-Polri untuk mengawasi warung makan saat PPKM Level 3 dan 4.

Satpol PP & TNI-Polri Jaga Warteg: Rawan Kekerasan kepada Pelanggan
Warga makan di Warteg Subsidi Bahari kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta, Sabtu (28/3/2020). ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.

tirto.id - Pemerintah melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dan TNI-Polri untuk berjaga di warung makan seperti warteg di daerah yang menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.

Hal itu dilakukan agar dapat memastikan pengelola warung makan menerapkan protokol kesehatan seperti makan di tempat sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan dibatasi 3 orang. Sekaligus mengawasi pelanggan yang makan di tempat dengan waktu maksimal selama 20 menit untuk mencegah penyebaran virus Corona.

Kebijakan tersebut tertuang di dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 24 tahun 2021 tentang pemberlakuan PPKM level 3 dan 4 Jawa-Bali. "Kami harapkan juga ada pengawas dari Satpol PP dibantu TNI dan Polri untuk memastikan bahwa aturan ini bisa tegak," kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam konferensi pers daring, Senin (26/7/2021).

Frans Pascaries, pemilik rumah makan Tegal Kharisma di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat gundah dengan kebijakan pemerintah itu. Dia khawatir aparat akan menggunakan kekuatan berlebihan untuk menertibkan warung makannya beserta pelanggan yang makan lebih dari 20 menit.

Ketika aparat menindak pelanggan saat makan dan pelanggan tidak terima, kata dia, maka akan terjadi gesekan yang menimbulkan keributan. Para pelanggan merasa tidak nyaman dan dampaknya mereka tidak ingin makan di warteg-nya lagi.

"Terus terang iya, khawatir setiap hari. Saya bakal kehilangan pendapatan, karyawan saja juga bakal kehilangan pendapatan kalau sampai itu terjadi," kata Frans kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Pada saat PPKM Mikro dan PPKM Darurat saja, kata dia, omsetnya sudah turun. Apalagi dengan adanya pelibatan aparat mengawasi rumah makan, khawatir omsetnya terus menurun.

Menurut Frans, cara pemerintah melibatkan aparat mengawasi rumah makan hanya menjadi kebijakan yang sia-sia saja. Sebab, tidak mudah mengarahkan kalangan bawah seperti ojek online, ojek pangkalan, pemulung, tukang parkir, sopir taksi dan sebagainya.

"Ini kebijakan sia-sia, yang dipilih oleh para petinggi di negeri ini, yang tidak paham kesulitan masyarakat bawah. Kenapa? Karena sebagian besar dari para pejabat itu saya duga, tidak pernah makan di warung-warung kecil seperti warteg," ucapnya.

Ketua Komunitas Warteg Indonesia (Kowantara) Mukroni mengkritik pelibatan aparat di rumah makan. Sebab, kata dia, hal itu akan merugikan pemilik warung dan membuat pelanggan tidak nyaman.

Menurut Mukroni, hal itu berpotensi membahayakan pengusaha warung yang menyiapkan tergesa-gesa. Selain itu, karena merasa diawasi, pengunjung terburu-buru makan yang bisa menyebabkan tersedak.

"Terus kalau orang tua makan, kan, enggak bisa cepat-cepat, kalau tersedak dan kenapa-kenapa siapa yang mau tanggung jawab? Kan jadi berabe. Ini memberikan solusi, tapi malah memberi masalah, jadi efek banyak negatif," kata Mukroni kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Mukroni menambahkan, "Kebijakan ini [adalah] kebijakan banci, kalau mau bebasin saja, jangan dibatasi waktu, taati prokesnya."

Pemilik warteg di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat dan Bekasi ini khawatir apabila aparat dilibatkan untuk mengawasi pelanggan, akan terjadi tindak kekerasan. Ia mencontohkan kekerasan yang dilakukan Satpol-PP berinisial MR kepada sepasang suami istri pemilik kafe di daerah Gowa, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.

Kekerasan itu akan semakin berakibat kepada penurunan omzet yang selama ini diderita para pemilik warteg dan warung makan lainnya. Apalagi, kata dia, penurunan omzet sudah mencapai 50 persen sampai 90 persen selama PPKM Darurat.

Mukroni memberi gambaran, omzet yang semula bisa mencapai Rp3 juta sampai Rp4 juta, kini turun hanya sekitar Rp300 ribu per hari. "Degan kebijakan tersebut khawatir turun omset lagi," kata dia.

Dibandingkan menerjunkan aparat, Mukroni menyarankan agar pemerintah sebaiknya mengawasi protokol kesehatan di rumah makan, seperti standardisasi penyediaan tempat duduk agar menjaga jarak, tempat cuci tangan, dan sebagainya.

Potensi Kekerasan Aparat

Kekhawatiran para pemilik warung makan cukup beralasan bila melihat data yang dipaparkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Selama pandemi COVID-19 memang ditemukan aparat yang kerap melakukan tindak kekerasan.

Hal itu berimplikasi pada rusaknya tatanan demokrasi dan maraknya pelanggaran HAM, serta tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengendalian pandemi.

Pada tahap PSBB dan PSBB Transisi misalnya, yakni April 2020-Januari 2021, KontraS mencatat ada 17 peristiwa kekerasan yang melibatkan Polisi, TNI, Satpol PP, dan Satgas Gabungan.

Peristiwanya pun beragam, seperti penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dengan water cannon, intimidasi, serta pembubaran paksa. Hal itu menimbulkan korban yakni 1 korban tewas, 2 korban luka-luka, dan 326 korban penangkapan. Mayoritas tindakan aparat itu ditujukan kepada masyarakat menengah ke bawah yang tengah mencari sumber penghidupan.

"Masyarakat terpaksa melanggar ketentuan PPKM karena imbas dari keengganan pemerintah dalam menjamin kebutuhan dasar warga negara," ujar Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldi, dalam konferensi pers daring, Selasa (27/7/2021).

Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai pelibatan Satpol PP dan TNI-Polri untuk menjaga warteg terlalu berlebihan. Mengingat TNI diterjunkan untuk pertahanan negara, dan dikerahkan apabila terdapat masalah keamanan yang perlu diperbantukan.

Dia menilai akan terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara. "Kan karakter mereka bukan persuasif, apalagi tentara. Bukan masalah orang, tapi memang didikan atau setting organisasinya," kata Asfin kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Tindak kekerasan oleh aparat TNI memang kerap terjadi kepada warga sipil. Asfin mencontohkan seperti tindak kekerasan yang dilakukan oleh dua anggota TNI Angkatan Udara (AU) kepada orang asli Papua (OAP) di Merauke. Dua anggota TNI AU itu memiting dan menginjak kepala korban yang disabilitas itu dengan sepatu pantofel.

Apabila aparat melakukan tindak kekerasan kepada pelanggan warteg atau rumah makan lainnya, kata dia, mereka sama saja melanggar beberapa peraturan, yakni: Pasal 28G ayat (2) UUD 1945; Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; dan Pasal 170 ayat (1) KUHP.

"Karena dilakukan aparat, potensi ada pelanggaran HAM, kalau ada kekerasan," kata Asfin.

Kemudian Asfin juga menyoroti kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang berencana memberikan kewenangan kepada Satpol-PP untuk jadikan penyidik. Hal itu tertuang dalam revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19.

Selain menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian dalam penegakan peraturan di daerah, hal ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Mengingat besarnya kewenangan yang diberikan kepada Satpol PP serta masih maraknya kekerasan dan praktik pungutan liar yang terjadi selama ini dalam korps tersebut.

"Sangat mungkin [Satpol-PP] akan semakin sewenang-wenang," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SATPOL PP atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz