tirto.id - Personel Komando Distrik Militer 1627/Rote Ndao yakni Serma MSB alias Boy, Babinsa Ramil 1627-03/Batutua dan Serka AODK alias Arbi, selaku Bintara Tinggi Administrasi Personel, diduga menganiaya Petrus Seuk. Bocah 13 tahun itu dituduh mengambil ponsel milik Arbi. Ferdy Faharudin, kerabat korban, menyatakan bahwa anak itu telah dicari-cari oleh Arbi selama sepekan.
Penganiayaan terjadi di kediaman Boy, pada 19 Agustus 2021. “Ada luka lecet seperti dipukul dengan bambu, sapu, juga (dipukul) dengan kepalan tangan. Ini informasi langsung dari anak kami (Petrus),” kata Ferdy ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (23/8/2021).
Akibat penganiayaan tersebut, bibir Petrus pecah, wajahnya memar, punggungnya lecet, dan ada bekas sundutan rokok di tangannya.
Perihal kemaluan Petrus yang ditempelkan lilin dan pasta gigi, lalu disulut api, Ferdy mengklaim tidak luka di area tersebut. “Saya bersama mama dan papanya periksa langsung, tapi tidak ada. Mungkin dipanasi untuk menakuti dia.”
Berdasarkan pengakuan Petrus, ia tidak mengambil ponsel milik aparat itu. “Barang tidak diketahui sampai sekarang,” imbuh Ferdy.
Lantas korban dibawa ke RSUD Rote Ndao Baa untuk diobati. Meski ada dugaan tindak pidana, keluarga korban merampungkan perkara ini dengan perjanjian tertulis. Surat kesepakatan perdamaian bertanggal 20 Agustus 2021 yang ditandangani oleh Serka Arbi Okto Dicvianus Kota (Pihak I) dan Joningrat Seuk (Pihak II) serta bermeterai Rp10 ribu itu jadi bukti keluarga Petrus enggan memperpanjang perkara ini ke ranah hukum.
Di surat itu tertulis “Atas kejadian ini kami kedua belah pihak telah mengadakan perdamaian secara kekeluargaan dengan kesepakatan sebagai berikut:
- Pihak I memohon sangat atas kekhilafan yang dilakukan kepada anak dari Pihak II untuk memberi maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan, serta berharap perkara ini tidak berlanjut.
- Pihak II membiarkan kesalahan Pihak I secara lahir batin, serta tidak akan melanjutkan perkara.”
Ferdy dan Jermias Menda jadi saksi perjanjian itu. Petrus bersekolah di SD Inpres III BA, dalam kondisi pandemi COVID-19, bocah kelas III itu kesulitan belajar daring dan ia pun masih kurang lancar membaca. Hanya ada satu ponsel milik bapaknya yang dipunyai keluarga itu. Sehari-hari ibu dan bapaknya kerja serabutan, menurut Ferdy jika keduanya tak bekerja di hari itu, maka nihil pendapatan.
Akibat penganiayaan ini Petrus trauma. Ferdy juga bilang kalau Petrus pernah beberapa kali mengambil barang atau uang orang lain. “Dia tidak setiap hari seperti itu, kami tidak menyangkal anak kami melakukan hal seperti itu.” Perihal surat pernyataan damai, Ferdy bilang memang keluarga korban menginginkan keadilan, tapi bukan berarti menghakimi orang lain.
Tidak ingin menyusahkan siapapun, termasuk terduga pelaku, jadi salah satu alasan keluarga Petrus tak membawa masalah itu ke meja hijau. Dalih lainnya yakni “Kami sudah anggap mereka (TNI) itu keluarga. Karena selama tinggal di sini, mereka melindungi kami. Mereka bagai saudara kami, cuma karena kesalahan ini yang mana anak kami sering demikian, sehingga terjadi dugaan itu. Tapi kami mengakui.”
Sementara itu, TNI AD memastikan Serma dan Serka AODK akan diproses hukum. “Sesuai perintah Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa kepada para pejabat TNI AD terkait, agar terus melakukan investigasi dan memproses secara hukum terhadap anggota TNI AD yang melakukan tindak pidana penganiayaan anak di bawah umur,” ucap Kadispenad Brigjen TNI Tatang Subarna dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/8/2021).
Pada Senin (23/8/2021), MSB dan AODK dipindahkan untuk diperiksa lebih lanjut.
“Sudah diperiksa dan masih melanjutkan pemeriksaan, dibawa siang ini ke Denpom IX/1 Kupang untuk dilanjutkan proses hukum,” ucap Dandim 1627/Rote Ndao Letkol (Inf) Educ Permadi Eko, ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (23/8/2021).
Jadi Prajurit, Bukan Dalih Pelenyap Hukum
Praktik relasi kuasa kembali dicerminkan dalam kasus ini, lantaran tentara dianggap berkuasa sehingga mampu berbuat sesuatu atau membuktikan sebuah peristiwa dengan sendirinya. Padahal itu menjadi tanggung jawab kepolisian untuk membuktikan dugaan tindak pidana.
Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar menyatakan pihak Polisi Militer Angkatan Darat bisa membawa perkara ini ke ranah hukum umum. “Lebih baik jika Komandan Polisi Militer menyarankan agar kasusnya langsung digeser ke ranah pidana agar bisa ditindak oleh kepolisian dan menjamin keluarga korban dapat pendampingan,” tutur dia kepada reporter Tirto.
Berdasarkan data yang dihimpun Kontras periode Juni 2020- Mei 2021, terdapat 80 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia. Angka tersebut tentu saja tidak menutup kemungkinan jumlah kasus riil yang lebih besar.
Dari 80 kasus penyiksaan tersebut, kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan (36 kasus), disusul oleh kejaksaan (34 kasus), yang mana didominasi oleh peristiwa penghukuman cambuk di Aceh. Selanjutnya, kasus penyiksaan juga masih dilakukan oleh institusi TNI (7 kasus) dan sipir (3 kasus). Kasus-kasus ini menimbulkan 182 korban dengan rincian 166 korban luka dan 16 korban tewas.
Bentuk-bentuknya pun beragam, mulai dari penyiksaan dalam tahanan, salah tangkap, penangkapan secara sewenang-wenang, tindakan tidak manusiawi, hingga pembiaran terhadap praktik-praktik penyiksaan.
Meski ada kesepakatan perdamaian, tapi proses penegakan hukum terus berlanjut hingga penjatuhan sanksi pidana.
“Sebab, rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh kedua prajurit TNI tersebut termasuk kategori penyiksaan, yang wajib dijatuhi sanksi pidana menurut Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pasal 4 dan Pasal 12 Konvensi Anti Penyiksaan,” kata peneliti Institute Criminal for Justice Reform Iftitahsari, Senin (23/8/2021).
Maka dalam hal ini, negara segera bertindak tegas terhadap pelaku penyiksaan dengan memproses penegakan hukum berdasarkan hukum pidana. Kemudian, anak seharusnya wajib mendapat perlindungan dari kekerasan. Kewajiban ini tercantum dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 juga secara tegas mengatur larangan kekerasan terhadap anak, khususnya dalam Pasal 76C.
Selain mengusut tuntas kasus ini, ICJR menekankan agar negara dapat hadir untuk memprioritaskan perlindungan terhadap korban anak dan keluarganya.
“Negara melalui lembaga terkait seperti LPSK dan KPPPA perlu memberikan perhatian khusus terhadap proses pemulihan bagi korban anak dan keluarganya yang mengalami trauma terhadap kejadian penyiksaan tersebut,” ujar Ifititahsari.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum Putu Elvina pun meminta agar proses hukum terhadap kedua pelaku terus berjalan. “Karena saya koordinasi langsung, disepakati untuk proses hukum kepada pelaku,” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (23/8/2021).
Berdasarkan koordinasi dengan pihak tentara, Kodim 1627/Rote Ndao siap membantu pengobatan korban. Dinas Psikologi Angkatan Darat akan menyiapkan tim psikologi untuk penanganan trauma bagi Petrus. Termasuk tim kesehatan bakal mengecek kondisi kejiwaan pelaku sekaligus membantu kesehatan korban.
Sementara berdasar data KPAI, anak sebagai korban kekerasan fisik masih ditemukan hingga saat ini. Berikut jumlah kasus periode lima tahun terakhir: 146 kasus (2016), 173 kasus (2017), 166 kasus (2018), 157 kasus (2019), dan 249 kasus (2020).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz