tirto.id - Pemilik akun Twitter @jeehantz mencuit pengalamannya perihal fetish mukena berkedok olshop atau penjualan daring. Semua bermula ketika ia mendapatkan tawaran menjadi foto model katalog mukena dari toko daring berinisial GM.
GM dimiliki oleh seseorang berinisial R, yang menawarkan Jeehantz untuk dipotret. Singkat cerita, usai kerjaan itu rampung, dia baru mengetahui bahwa D --pria yang mengaku sebagai adik pemilik GM-- adalah R. Jadi, D dan R adalah orang yang sama. Satu orang itulah pengelola akun daring GM.
Dia merasa dikelabui, apalagi ketika ia menemukan di Twitter bahwa akun itu adalah resmi “fetish mukena." "Ditemukan juga Twitter dimana akun tsb adalah OA fetish mukena sehingga foto kami digunakan sebagai bahan c*** mereka. Tentu saja, semua postingannya sangat *disgusting* perempuan memakai mukena yang merecord hal-hal asusila seperti akun fetish pada umumnya.”
Hingga kini polisi belum mengusut kasus tersebut. "Dasar untuk kami mengusut belum ada. Nanti infonya korban mau ke Polresta,” kata AKBP Budi Hermanto Kapolresta Malang Kota, ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/8/2021).
Sementara, terduga pelaku melalui akun Instagram @dimasalvian20 meminta maaf atas perbuatannya kepada para model yang bekerja sama dengan dirinya.
“Saya mengaku, saya bersalah telah menyebarkan dan tidak meminta izin kepada model yang bersangkutan dan saya mau mengklarifikasi bahwa foto tersebut adalah untuk konsumsi saya pribadi. Tidak dijual di manapun. Saya meminta maaf kepada korban saya dan saya akan menghapus semua foto yang ada di laptop saya,” ucap dia.
Jerat Hukum
Ada tiga konteks hukum dalam perkara ini. Pertama, benarkah pelaku menggunakan foto model dan akunnya untuk jualan daring? Jika niat pelaku mengunggah foto-foto itu untuk kebutuhan fetisisme di akun tertentu, selemah-lemahnya, dia bisa dijerat Pasal 378 KUHP tentang penipuan karena dia menggunakan identitas palsu.
“Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, barang di sini maksudnya adalah menyerahkan foto,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu saat dihubungi reporter Tirto.
Konteks berikutnya yakni foto. Jika foto itu digunakan untuk kebutuhan toko daring lantas disalahgunakan, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Konteks ketiga, perihal kesusilaan. Yang jadi masalah, undang-undang di Indonesia yang menitikberatkan kepada konten, bukan niat dan tujuan.
Dalam kasus ini, tidak ada konten pornografi atau kesusilaan. “Tujuan dia (si pelaku) kesusilaan. Ini bisa masuk pelecehan,” kata Erasmus.
Bahkan pendekatan Pasal 315 KUHP bisa saja dicoba meski bisa menimbulkan perdebatan. Pasal tersebut berisi soal penghinaan ringan yang merendahkan martabat orang, tapi dalam konteks Pasal 315 ada pro dan kontra, sebab pembentuk undang-undang menempatkannya di delik penghinaan, bukan di delik kesusilaan.
“Masalahnya di bab kesusilaan, yang dipidana bukan niat dan tujuannya. Tapi kontennya. Kecuali termasuk kekerasan atau ancaman kekerasan. Masalahnya, di Indonesia kekerasan atau ancaman kekerasan itu berupa fisik, tipu daya dia termasuk,” kata Erasmus.
Jangan Asal Klaim Gangguan Jiwa
Dosen Psikologi Universitas Gunadarma sekaligus anggota Asosiasi Psikologi Forensik Meity Arianty berujar fetish diartikan sebagai dorongan seksual yang diarahkan kepada milik lawan jenis kelamin. Misalnya, seorang pria terdorong hasrat seksualitasnya saat melihat pakaian dalam, sepatu, kaki, bahkan yang terbaru ini mukena.
“Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan hasrat seksual orang dengan gangguan fetish lebih diarahkan ke benda atau objek yang tidak hidup. Lebih jauh lagi pembahasan ini, seorang pria dengan (gangguan kelainan seksual) ini dapat masturbasi atau mengendus objek fetish untuk mendapatkan kepuasan seksual,” kata Meity kepada reporter Tirto, Jumat (23/8/2021).
Kasus “Gilang Bungkus” dan kasus kali ini seolah mencerminkan perilaku seperti ini marak di Indonesia. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi pergeseran norma di masyarakat. Meity berpendapat sebagian masyarakat bukan hanya kehilangan rasa malu, misalnya dengan terang-terangan korupsi atau melakukan kejahatan lainnya, namun masyarakat Indonesia juga mulai berkurang tatanan norma yang harus dijunjung.
“Perilaku yang seperti ini (fetish disorder) adalah salah satu bentuk pelecehan seksual secara psikologis. Korbannya jadi objek seksual terlepas itu hanya mukenanya, sepatunya atau yang ada di tubuh korban,” terang Meity.
Biasanya pelaku memiliki latar belakang trauma/korban seksual sehingga tak menutup kemungkinan ia akan merugikan, merusak, atau menyakiti orang lain dengan perilakunya, kata dia.
Dalam kasus D, sah-sah saja terduga pelaku dibawa ke ranah hukum agar ada efek jera. Jika dibiarkan, terduga pelaku serupa akan sulit dorongan seksualnya dan dilakukan dengan cara yang tidak senonoh dan tidak beradab. Namun, pada perkara ini pun tidak bisa langsung memvonis bahwa D mengalami gangguan.
“Itu harus diperiksa. Menerapkan seseorang sebagai pelaku dan mendiagnosis ia memiliki gangguan, harus berdasarkan pemeriksaan,” ucap Meity. Dia juga mengingatkan publik pentingnya kesepakatan, si model pun harus cermat dan hati-hati dengan bentuk kerja sama yang ditawarkan.
“Penjelasan dan persetujuan itu adalah langkah legalitas awal secara hukum. Kalau pegang ini di awal, maka jika ada masalah seperti ini bisa langsung diperkarakan, karena ada bukti legal yang jelas dilanggar dari sebuah kerja sama.”
Dampak bagi Korban
Jika persepsi korban mengenai dirinya sendiri terganggu, maka akan berdampak secara jangka panjang. Korban bisa cemas terus-menerus, bahkan dampak dari cemas adalah kecurigaan tingkat tinggi terhadap orang baru yang akan mengajak kerja sama.
“Dalam kasus ini korban akan mempertanyakan orang tersebut dan dirinya, dia akan sangat hati-hati sekali karena kejadian terdahulu tidak ingin terulang lagi,” kata Nur Hidayati Handayani, konselor dari Yayasan Pulih, kepada reporter Tirto, Jumat kemarin. Efek lainnya adalah depresi yang dapat turut mengganggu fungsi sosial.
Korban dapat meminta bantuan jika gangguan itu makin menjadi. Seperti bercerita kepada orang yang bisa membuat dia merasa aman dan tidak merasa menyalahkan korban. “Korban tidak salah, tapi ini pelaku yang memperdaya korban,” sambung dia.
Gangguan tidur, kesulitan atau berlebihan makan, dan kesulitan aktivitas fisik, bisa menghantui korban, maka bisa meminta bantuan kepada konselor, psikolog, atau psikiater.
Meski fetisisme adalah kewajaran seksualitas manusia, namun bisa menjadi disebut gangguan kejiwaan ketika ketertarikan seksual ini sangat intens kepada benda atau bagian tubuh yang secara tradisional tidak dipandang sebagai gairah seksual. Pun memiliki gangguan fetisisme itu tak mudah, pelaku cenderung menderita lantaran sulit mengelola rasa fetis sehingga mengganggu fungsi diri atau fungsi sosialnya secara signifikan.
Handayani mengingatkan jika ada seseorang yang merasa memiliki gangguan fetisisme, maka segera mencari bantuan, tapi semua harus ada asesmen sebelum memvonis orang tersebut memiliki gangguan tertentu.
“Tapi gangguan itu bukan jadi alasan seseorang menipu dan memanipulasi orang lain,” kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz