tirto.id - Penny Tri Herdhiani (28) adalah Pendamping Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Malang, di Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran. Ia menjabat sejak 12 September 2016-10 Mei 2021. Pada tahun anggaran 2017-2020, Penny diduga menggelapkan dana bantuan PKH untuk 37 Kelompok Penerima Manfaat (KPM) senilai Rp450 juta.
“Dia menggelapkan dana bantuan PKH dengan cara tidak memberikan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) kepada KPM yang sudah meninggal dunia dan pindah tempat/alamat; serta melakukan penarikan terhadap sebagian dana PKH milik KPM,” ucap Kepala Urusan Sub Bagian Humas Polres Malang Ipda Andi Agung dalam keterangan tertulis, Senin (9/8/2021).
Penny dijerat Pasal 2 ayat (1) sub Pasal 3 sub Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “(Hukuman) pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” sambung Andi.
Namun, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [PDF], Penny juga bisa terancam dipenjara seumur hidup. Berikut petikan pasal tersebut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."
Pada perkara ini, penyidik telah memeriksa 27 saksi yaitu 20 saksi KPM (keluarga penerima manfaat, 1 saksi dari Koordinator PKH Kabupaten Malang, 4 saksi dari pendamping, 1 saksi dari Dinas Sosial Kabupaten Malang, dan 1 saksi dari Bank Negara Indonesia.
Berdasarkan penelusuran kepolisian, Penny tidak memberikan KKS kepada 37, rinciannya: 16 KKS untuk KPM tidak pernah diberikan sama sekali; 17 KKS untuk KPM yang tidak ada di tempat/meninggal dunia; 4 KKS KPM untuk KPM yang hanya diberikan sebagian. Penny menyalahgunakan dana bantuan tersebut untuk kepentingan pribadi.
Polisi menyita barang berupa 33 KKS dari 33 KPM, dan 33 buku rekening BNI atas nama penerima manfaat; 6 buku rekening dan 6 kartu ATM atas nama Penny; 3 rekening koran atas nama Penny; 27 rekening koran BNI Pandai Bansos; uang tunai Rp7.292.000; serta Keputusan Direktur Jaminan Sosial Keluarga periode 2016-2021.
Tak hanya itu, Penny dianggap telah melanggar Pasal 10 huruf g, huruf h, huruf I, huruf j dan huruf k Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Nomor: 02/3/KP.05.03/10/2020 tentang Kode Etik Sumber Daya Manusia Program Keluarga Harapan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial [PDF], sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp450 juta.
Menteri Sosial Tri Rismaharini pun mengapresiasi Polres Malang mengungkap korupsi dana bantuan sosial ini, ia juga berpesan kepada publik. "Jangan main-main dengan tugas dan amanat yang sudah diberikan. Bantuan itu diberikan untuk masyarakat miskin yang beban hidupnya berat, apalagi di masa pandemi. Jangan lagi dikurangi dengan cara melanggar hukum," kata dia, Minggu (8/8/2021).
Hukuman Rendah Penggarong Hak Rakyat
Kasus korupsi bansos pun pernah dilakukan eks Menteri Sosial Juliari Pieter Batubara. Jaksa Penuntut Umum KPK malah menuntut Juliari, yang dinilai terbukti bersalah dan menggarong dana bansos COVID-19, dengan tuntutan hukuman 11 tahun penjara. Padahal ia bisa dituntut hukuman maksimal dalam perkara ini.
Politikus PDI Perjuangan itu melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selain soal tuntutan hukuman penjara, Juliari dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar, tapi jika tidak akan diganti dengan hukuman penjara selama 2 tahun.
Jaksa meyakini, Juliari menerima suap sekitar Rp32 miliar dari para pengusaha yang menggarap proyek pengadaan bansos penanganan Corona Uang tersebut diduga sebagai pelicin agar perusahaan mendapatkan proyek penanganan COVID dari PT Pertani, PT Mandala Hamonangan Sude, dan PT Tigapilar Agro Utama.
Semua uang tersebut diduga diterima lewat sejumlah jalur, yakni mantan Plt Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos Adi Wahyono, yang juga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan bansos COVID-19 Matheus Joko Santoso.
Juliari juga dituntut untuk tidak menduduki jabatan publik dan kehilangan hak untuk dipilih, terhitung setelah ia selesai menyelesaikan 4 tahun masa pidana pokok. Berbeda dengan kasus Juliari, Penny malah bisa terancam seumur hidup di balik jeruji.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat dua kasus ini mencerminkan hukum betul-betul telah tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum keras kepada masyarakat kecil dan lunak kepada politisi. Padahal Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Jika alasan memberikan ancaman pidana seumur hidup kepada Penny karena melakukan korupsi di masa bencana. Lalu kenapa Juliari tidak mendapatkan ancaman hukuman yang sama? Bahkan lebih berat karena korupsi Juliari lebih banyak,” ujar Feri kepada reporter Tirto, Senin (9/8/2021).
Korupsi di saat bencana bisa menghasilkan sanksi berat. Polisi harus melakukan itu, namun pihak Komisi Pemberantasan Korupsi harus introspeksi dan berkaca perihal penerapan pidana korupsi dalam situasi bencana dari kasus Penny.
“KPK terlihat mengistimewakan pejabat jika bandingkan kasus Penny. Kenapa KPK kehilangan nyali dan putus urat malu dengan tidak memberikan ancaman pidana berat bagi para politisi-politisi tersebut?” sambung dia.
Tuntutan ataupun vonis dalam perkara bansos bisa saja menjadikan kasus Juliari sebagai rujukan, selain karena kasus itu melibatkan menteri dan menggegerkan publik, KPK menangani perkara tersebut.
Namun, kata anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, bila mengacu kepada kualitas penanganan perkara KPK, maka masyarakat dengan mudah mengatakan sangat buruk. Baik dalam proses penyidikan maupun persidangan.
“Tuntutan 11 tahun bagi Juliari Batubara, itu sangat rendah, menghina keadilan, dan melukai hati korban korupsi bansos,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (9/8/2021).
“Akan sangat aneh kalau Kejaksaan Agung atau kejaksaan di tingkat provinsi dan negeri, menjerat pelaku korupsi bansos dengan tuntutan lebih tinggi dibandingkan dengan Juliari. Ketika itu terjadi, maka KPK benar-benar tidak bisa diharapkan lagi oleh masyarakat untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi,” kata Kurnia.
Para penegak hukum dapat menyertakan Pasal 52 KUHP dalam pengusutan perkara korupsi dan sebagai dasar pemberat hukuman ketika pejabat publik berulah seperti Juliari. Bunyi pasal itu yakni “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Apalagi jika kejahatan korupsi --yang termasuk dalam kejahatan jabatan-- dilakukan di tengah pandemi COVID-19, maka Pasal 52 KUHP dapat digunakan oleh seluruh penegak hukum.
Kriminolog dari Australian National University Leopold Sudaryono berujar dalam kasus Penny, pasal yang ditetapkan oleh polisi masih berbentuk ‘ancaman hukuman maksimal’ sesuai dengan isi undang-undang.
“Nanti besarnya nilai tuntutan dan putusan akan tergantung proses penyidikan dan pemeriksaan alat bukti di persidangan. Bisa saja Penny dihukum lebih rendah, tergantung apakah ada unsur-unsur yang meringankan,” tutur Leopold kepada reporter Tirto.
Dalam memutuskan kasus korupsi, hakim dipandu dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan dari adanya pedoman ini adalah untuk mencegah unjustified discrepancy atau inkonsistensi putusan. Leopold melanjutkan, dalam memutuskan pidana bagi mantan menteri sosial, hakim tentu harus mempertimbangkan tingkat kesalahan (posisi sebagai menteri), dan nilai materi korupsi (kerugian negara).
Dalam kasus Juliari nilai kerugian lebih dari Rp100 miliar, berarti masuk kategori pertama atau kategori paling berat, sedangkan perkara Penny berkategori ringan lantaran kerugian Rp200 juta-Rp1 miliar. Sementara itu, dari segi tingkat kesalahan, Juliari bertindak sebagai menteri ketika melakukan korupsi, sementara Penny hanyalah Pendamping Sosial di tingkat kecamatan.
“Merujuk dua pertimbangan tersebut, (Pasal 6 untuk nilai kerugian negara dan Pasal 7 atas peran dalam korupsi) bila hakim mengikuti pedoman pemidanaan, maka hukuman atas Penny akan jauh lebih rendah daripada Juliari yaitu sekitar 4-8 tahun,” terang Leopold.
Pasal 52 KUHP pun bisa disematkan juga kepada Penny karena ia menjalankan tugas mewakili negara saat menyalahgunakan wewenangnya, kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz