Menuju konten utama

Ironi KPK: Akan Jadikan Eks Koruptor sebagai Penyuluh Antikorupsi

Rencana KPK menjadikan eks napi korupsi sebagai penyuluh antikorupsi dinilai kontraproduktif. KPK didesak membatalkan rencana itu.

Ironi KPK: Akan Jadikan Eks Koruptor sebagai Penyuluh Antikorupsi
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memberikan penjelasan tentang gagasan para eks koruptor sebagai penyuluh antikorupsi. Plt Deputi Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Wawan Wardiana mengatakan kehadiran penyuluh ini sebagai media atau fasilitas masyarakat dalam rangka pemberantasan korupsi.

Wawan memastikan para penyuluh harus memenuhi 20 standar kompetensi seperti masalah nilai integritas, kejujuran, kemandirian dan mengimplementasikan dalam beraktivitas.

Di salah satu poin, Wawan ingin agar para eks koruptor yang menjadi penyuluh bisa berbicara soal pengalaman sebagai eks napi kasus korupsi. Ia pun memastikan koruptor yang bertestimoni bukan orang sembarangan.

"Kami berharap sebetulnya kalangan koruptor ini yang selektif tentunya, tidak sembarangan orang bisa melakukan ini. Kami ingin bisa sharing di situ. Belajar dari mereka, kenapa mereka bisa sampai begitu, apa akibatnya yang mereka rasakan, pada saat mereka mulai menjadi tersangka saja, apa yang terjadi pada dirinya, keluarganya, sosialnya dan seterusnya," ujar Wawan dalam diskusi yang ditayangkan Instagram KPK, Selasa (24/8/2021).

Testimoni tersebut lantas digunakan untuk pembelajaran agar masyarakat tidak bersikap koruptif. Koruptor yang dipilih pun harus melewati sejumlah tahapan. Dari ratusan napi, ada 7 yang masuk kriteria KPK. Akan tetapi, 7 koruptor tersebut belum tentu bisa langsung lolos semua.

"Nanti kalau dari 7 ini ternyata dari wawancara gugur semua, ya selesai, berarti tidak ada yang dijadikan testimoni atau nanti dari 7 misalkan lolos 4, setelah 4 itu yang direkam kemudian hasil rekamannya itu bisa dipakai, belum tentu juga," kata Wawan.

Wawan kembali menekankan bahwa aksi tersebut sebagai upaya KPK untuk ikhtiar dalam pemberantasan korupsi. Ia pun tidak masalah jika ikhtiar tersebut gagal.

"Kalau usaha kita ternyata dari sekian banyak napi belum tentu tidak memungkinkan secara akademisi atau secara ini, ya sudah, tidak jadi masalah juga, artinya memang belum ada, gitu, kan," kata dia.

Ditentang Pegiat Antikorupsi

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman meminta KPK membatalkan rencana agar para koruptor menjadi penyuluh. Ia menilai alasan apa pun yang dilontarkan KPK soal eks koruptor menjadi penyuluh sudah ditentang publik.

"Daripada KPK berusaha untuk mencari alasan pembenar terus menerus, menurut saya lebih baik KPK batalkan rencana tersebut," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (25/8/2021).

Alasannya, kata Zaenur, rencana tersebut jelas ditentang oleh masyarakat karena konyol, tidak logis dan menghina mereka-mereka yang selama ini berusaha meneguhkan integritas di tempat kerjanya masing-masing.

Zaenur mengingatkan kasus korupsi berbeda dengan kriminal lain seperti narkoba. Ia menerangkan, korupsi adalah kejahatan logis yang berusaha memperkaya diri sendiri. Hal ini berbeda dengan kejahatan seperti narkoba yang victimless crime. Oleh karena itu, logika mengajarkan publik tidak korupsi lewat testimoni eks koruptor tidak tepat.

"Saya berpendapat bahwa apa yang dijelaskan KPK itu justru kontradiktif. Di satu sisi mengatakan terpidana korupsi cacat integritas, di sisi lain mereka akan dijadikan sebagai penyuluh untuk menumbuhkan integritas. Itu jelas kontradiktif," kata Zaenur.

Zaenur menilai, publik lebih baik mencontoh tokoh yang sudah meninggal daripada koruptor. Ia mencontohkan Mohammad Hatta yang berintegritas dengan menjaga rahasia negara dari keluarga, bersikap sederhana dan tidak tergoda dengan kepentingan dunia. Zaenur pun menilai, penerimaan penyuluh antikorupsi dari eks koruptor tidak terpenuhi meski memakai kriteria dari lembaga standar.

"Soal distandarkan oleh BNSP, menurut saya karena sudah cacat integritas tidak akan bisa lagi distandarkan. Sudah tidak lagi memenuhi persyaratan. Jadi tetap saja itu merupakan satu kontradiksi dari KPK sendiri," kata Zaenur.

Menurut Zaenur, tidak mungkin orang cacat integritas dijadikan sebagai contoh keteladanan. Ia menilai metode tersebut lebih tepat diterapkan kepada eks pengguna narkoba yang tengah menjalani rehabilitasi. Hal itu akan memberikan pemahaman umum tentang bahaya narkoba. Ia pun menilai penyuluh sudah banyak sehingga tidak perlu eks koruptor.

"Kalau KPK tetap ngotot menjadikan eks terpidana korupsi sebagai penyuluh antikorupsi menurut saya itu memberi tempat yang istimewa terhadap eks terpidana korupsi, ya memberi tempat istimewa dan itu menurut saya juga menciderai akal sehat dan juga menghina mereka-mereka yang selama ini berusaha menjaga nilai integritas di tempatnya masing-masing," kata Zaenur.

Sementara itu, peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai aksi KPK dengan merekrut eks koruptor sebagai penyuluh adalah hal tidak masuk akal. Ia menilai, masih banyak masyarakat berintegritas yang bisa jadi penyuluh antikorupsi.

"Dari 270 juta penduduk Indonesia itu yang berintegritas masih banyak kalau mau dicari. Ngapain ribet eks koruptor dijadikan gini (penyuluh antikorupsi)? kurang kerjaan saja orang-orang KPK ini," kata Wawan kepada reporter Tirto.

Wawan menilai ide ini adalah wacana usang karena sudah digulirkan sejak 2020. Menurut Wawan hal tersebut tidak tepat karena koruptor belum merasakan hukum yang sebenarnya setelah dipenjara, yakni sanksi sosial.

Ia justru menilai warga yang tengah menuntut hak akibat tindakan koruptor lebih layak daripada koruptor menjadi penyuluh.

"Kalau mau dijadikan penyuluh, korban-korban korupsi itu yang misalnya hari ini sedang mengajukan gugatan warga class action korban bansos itu baru penyuluh tuh. Korban tuh. Ini kan penjahat. Masa penjahat disuruh jadi penyuluh?" kata Wawan.

Wawan pun menegaskan, alasan KPK yang hanya menggunakan testimoni untuk mencegah warga agar tidak korupsi, tak masuk akal. Ia menilai, korupsi adalah kejahatan kerah putih yang lebih baik dikenakan sanksi sosial.

Pengangkatan eks koruptor jadi penyuluh antikorupsi justru membuat eks koruptor lebih spesial karena hukuman yang belum tentu setimpal, uang negara yang belum tentu kembali, hingga belum adanya pelaksanaan pencabutan hak politik yang belum optimal.

Ia pesimistis warga mau mendengar suara eks koruptor sebagai pembelajaran untuk tidak korup, tetapi malah memicu orang belajar untuk korupsi.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz