Menuju konten utama

Bahaya di Balik Somasi Luhut & Moeldoko bagi Demokrasi Indonesia

Dua somasi yang dilayangkan oleh dua pejabat aktif era Presiden Jokowi ini dinilai menunjukkan kemunduran demokrasi.

Bahaya di Balik Somasi Luhut & Moeldoko bagi Demokrasi Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan didampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Kepala Staf Kantor Kepresidenan Moeldoko berjalan saat mengunjungi lokasi Food Estate di Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Selasa (6/4/2021). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.

tirto.id - Luhut Binsar Pandjaitan melalui kuasa hukumnya melayangkan surat somasi Nomor 6917/JGP/VIII/2021 bertanggal 26 Agustus 2021 kepada Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti. Penyebabnya, si pejabat publik merasa pernyataan Fatia dalam tayangan Youtube tidak benar dan tidak berdasar.

Kala itu, Fatia tampil dalam akun Youtube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!!" Kuasa hukum Luhut menyomasi Fatia dalam tempo 5x24 jam sejak surat tersebut diterbitkan.

Hal ini juga berkaitan dengan temuan koalisi masyarakat sipil perihal indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya, Papua. Riset yang diluncurkan oleh Walhi Eknas, Jatam Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, Kontras, Greenpeace, Bersihkan Indonesia, dan Trend Asia mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua dan industri ekstraktif tambang dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik.

Dalam kajian koalisi ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata'ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Mitratama (IU Pertambangan).

Dua dari empat perusahaan itu, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata'ain adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Asfinawati, kuasa hukum Fatia, merespons somasi tersebut. Menurut dia konflik kepentingan harus dijauhi oleh pejabat publik karena dua dimensi. Pertama, indikasi dari tindak pidana korupsi. "Tapi konflik kepentingan di dalam dirinya sendiri adalah perbuatan yang salah. Ini perbuatan yang diancam dengan pidana,” kata dia dalam konferensi pers daring, Selasa (31/8/2021).

Kedua, keterbukaan pejabat publik tidak hanya mengacu kepada dua dimensi tersebut, tapi ada pengaturan yang lebih detail di ranah bisnis. Kritik oleh Fatia merupakan hak konstitusionalnya untuk ikut serta di dalam mengawasi pemerintahan, kata dia.

“Ini terbalik. Harusnya yang mengawasi pemerintah adalah rakyat, bukan pejabat publik yang mengawasi dan menyomasi,” kata Asfinawati.

Julius Ibrani, yang juga merupakan kuasa hukum Fatia, berujar kliennya berbicara berdasarkan riset yang telah dibuat dan omongannya tak bisa dikutip setengah-setengah lantaran itu merupakan runutan advokasi publik.

“Kemudian, yang disasar bukan merupakan personal. Jika Bapak Luhut bukan pejabat publik, (maka) tidak akan masuk dalam pengawasan dan kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan,” terang Julius. Ia melanjutkan, tim kuasa hukum siap menjawab somasi yang diajukan Luhut dan pernyataan tertulis sudah dikirimkan ke kantor Juniver.

Juniver mengaku pihaknya telah menerima surat balasan dari Kontras pada 31 Agustus 2021. “Sudah diterima,” kata dia ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (1/9/2021).

Surat somasi pertama ia kirim pada 26 Agustus dan Kontras diberikan waktu 5x24 jam untuk meresponsnya. “Setelah kami cermati, surat jawaban itu belum menjawab substansi somasi," mkata Juniver. Menurut Juniver, tidak ada penjelasan motif soal mencemarkan nama baik kliennya dan belum ada bukti dan fakta kalau Luhur “bermain” tambang di Papua.

Jadi menurut dia itu adalah pernyataan tidak berdasar, sekadar opini, fitnah pencemaran, dan berita bohong. Maka ia berencana mengirimkan somasi kedua. Jika Fatia tak mau meminta maaf cum mencabut pernyataannya, maka Juniver bakal melaporkan peristiwa ini kepada polisi.

Pun omongan Fatia berdasarkan kajian, Juniver bilang Koordinator Kontras itu harus bertanggung jawab. “Kalau dikatakan temuan, dia harus mengklarifikasi betul atau tidak temuannya seperti itu. Yang menyampaikan ketidakbenaran itu dia," kata Juniver.

Somasi Moeldoko

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko juga melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) lantaran menyebutnya perihal perburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa. Ia telah tiga kali mengirimkan surat somasi kepada organisasi sipil tersebut.

Surat somasi dikirimkan pada 30 Juli, 6 Agustus, dan 20 Agustus. Pada somasi ketiga, kuasa hukum Moeldoko memberikan waktu 5x24 jam untuk ICW membuktikan tuduhan yang disasar kepadanya.

“Kami berikan 5x24 jam untuk mencabut pernyataan dan minta maaf kepada Pak Moeldoko," kata penasihat hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers virtual, Jumat (20/8/2021).

Sementara itu, Moeldoko berujar tuduhan terhadapnya merupakan pembunuhan karakter dan kebenarannya belum jelas, apalagi jika ICW “mencocokkan” dirinya dengan peristiwa. “Saya tidak terlalu banyak meminta. Anda minta maaf, klarifikasi, cabut pernyataan. Selesai. Tapi kalau itu tidak Anda lakukan, saya harus lapor polisi. Itu sikap saya,” ucap dia.

Kasus ini bermula ketika ICW merilis laporan hasil penelusuran dugaan keterkaitan anggota partai politik, pejabat publik, dan pebisnis dalam penggunaan obat Ivermectin untuk menanggulangi COVID-19. Polemik Ivermectin menunjukkan bagaimana krisis dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk mendapat keuntungan.

Ivermectin akan diproduksi oleh PT Harsen Laboratories, perusahaan yang bergerak dibidang farmasi, dengan merek Ivermax 12. Perusahaan ini dimiliki oleh pasangan suami-istri Haryoseno dan Runi Adianti. Kedua nama tersebut tercatat dalam dokumen Panama Papers dan diketahui terafiliasi dengan perusahaan cangkang bernama Unix Capital Ltd yang berbasis di British Virgin Island.

Sebelum pandemi COVID-19, PT Harsen Laboratories pernah menjalin hubungan kerja sama dengan PT Indofarma dalam pendistribusian obat. Berdasarkan laporan konsolidasi PT Indofarma tahun 2020, tercatat Indofarma memiliki hutang ke PT Harsen Laboratories sebesar Rp8.579.991.938 per 30 Juni 2020. Jumlah ini meningkat dari 31 Maret 2019 yang berjumlah Rp3.238.035.238.

Salah satu nama yang terafiliasi dengan PT Harsen Laboratories adalah Sofia Koswara. Ia adalah Wakil Presiden PT Harsen dan mantan CEO dari B-Channel. Sofia Koswara juga menjabat sebagai Chairwoman Front Line COVID-19 Critical Care (FLCCC) di Indonesia. Adapun warga Indonesia lainnya yang berada di FLCCC adalah Budhi Antariksa, bagian dari Tim Dokter Presiden, serta dokter paru-paru di Rumah Sakit Umum Persahabatan dan pengajar pulmonologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Budhi juga merupakan ketua tim uji klinis Ivermectin di Indonesia.

Keterlibatan pejabat publik diindikasikan melalui kedekatan antara Sofia Koswara dan Haryoseno dengan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Ketua HKTI. Sejak 2019, PT Noorpay Nusantara Perkasa, perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara, menjalin hubungan kerja sama dengan HKTI terkait program pelatihan petani di Thailand.

Pada awal Juni lalu, Ivermectin didistribusikan ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. Selain itu, anak Moeldoko, Joanina Rachma, merupakan pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Kuasa hukum ICW, Muhammad Isnur, menyatakan, ICW sudah berulang kali menjelaskan bahwa hasil penelitian itu tidak menuding pihak tertentu, terlebih Moeldoko, mencari keuntungan melalui peredaran Ivermectin. Kuasa hukum menyampaikan itu dalam tiga surat jawaban somasi kepada Moeldoko. Jika dicermati lebih lanjut, siaran pers yang berjudul “Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis” selalu menggunakan kata “indikasi” dan “dugaan."

Lagi pula Moeldoko salah melihat konteks penelitian tersebut lantaran yang digambarkan ICW adalah indikasi konflik kepentingan antara pejabat publik dengan pihak swasta, bukan sebagai personal.

Pejabat Haram Main Kekuasaan

“Ciri-ciri negara menuju kematian demokrasi ketika penguasa tidak mau dikritik dan menggunakan jalur kekuasaannya, termasuk hukum, untuk memburu atau membungkam orang yang kritik,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (1/9/2021). Seorang pejabat pun tak hanya terbuka dengan kritik, tapi juga menerima dan bisa mengubah kebijakan.

“Harusnya Moeldoko menghentikan kampanye-kampanye Ivermectin dan meminta maaf. PT Harsen Laboratories pun minta maaf atas kekeliruan kampanye Ivermectin. Kenapa dia (Moeldoko) tak minta maaf?” sambung Isnur.

Dalam surat somasinya, Moeldoko mengatasnamakan sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan, artinya ia bertindak sebagai pejabat.

Pejabat pemerintahan dilarang seenaknya menggunakan wewenangnya. Hal ini diperkuat dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang.

(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. larangan melampaui wewenang;

b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau

c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Moeldoko dan Luhut dianggap melanggar pasal tersebut. ”Itu potensial sekali, dugaan kami, bagian dari penyalahgunaan kekuasaan,” kata Isnur.

Kemunduran Demokrasi

Dua somasi yang dilayangkan oleh dua pejabat aktif era Presiden Joko Widodo ini menunjukkan kemunduran demokrasi. Somasi tersebut, kata Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar, mencerminkan ketidakkonsistenan antara presiden dan para bawahannya. Padahal Kepala Negara, ketika memberikan sambutan peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman Republik Indonesia Tahun 2020, mengklaim bahwa pemerintah membuka diri terhadap masukan dari masyarakat.

Presiden menegaskan bahwa “masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan.” Namun menurut Adinda, presiden dan pembantunya tidak sejalan. Apalagi selama era reformasi catatan kebebasan berekspresi di Indonesia buruk.

“Khususnya terkait kritik warga negara terhadap pemerintah. Ini bukan pertanda baik untuk mematangkan demokrasi. Orang jadi takut menyampaikan pendapat,” kata Adinda kepada reporter Tirto, Rabu (1/9/2021).

Menurut dia, bahkan orang-orang yang vokal terhadap pemerintah pun diproses secara hukum, artinya pemerintah tak memberikan ruang bagi partisipasi publik dalam ranah kebijakan.

Kritik publik dapat dianggap sebagai masukan, kepedulian warga negara terhadap proses kebijakan yang terjadi di negeri ini. Keluhan dan saran dari masyarakat, sambung Adinda, adalah kewajaran. “Demokrasi itu matang karena partisipasi. Partisipasi warga jelas bagian dari kebebasan sipil, hak konstitusional warga yang dijamin oleh undang-undang.”

Jika buntut kebebasan berekspresi adalah kriminalisasi, maka rakyat merasa terancam bersuara. “Bagi pemerintah ini bukan langkah tepat mengajukan somasi. Ini menjadi pemicu bagi masyarakat sipil, termasuk media, untuk mengkritik balik pemerintah,” terang dia.

Baca juga artikel terkait SOMASI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz