tirto.id - Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap Samin Tan, pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) menuai kritik. Sebab, vonis bebas pengusaha pemberi gratifikasi ke Anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih itu dinilai janggal.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang terdiri atas Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono menyatakan Samin Tan adalah korban pemerasan Eni Maulani Saragih yang membutuhkan uang untuk modal suaminya mengikuti Pilkada Temanggung.
Selain itu, majelis hakim menilai perbuatan Samin Tan selaku pemberi gratifikasi belum diatur dalam UU Tipikor. UU hanya mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak jujur dalam menerima gratifikasi dan tidak melaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari. Sehingga Eni diancam Pasal 12 b.
Pasal 12 b bukan delik suap melainkan gratifikasi, ujar Ketua Majelis Hakim Panji Surono saat membacakan pertimbangan putusan. Sehingga tidak mungkin perbuatan Samin Tan dipidanakan.
Samin Tan memberikan uang sebesar Rp5 miliar kepada Eni, agar politikus Partai Golkar itu mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT —anak usaha PT BLEM-- dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Sebelumnya Samin Tan dituntut 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juga subside 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. Samin Tan juga sempat buron dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) KPK sejak Mei 2020. Ia baru ditangkap KPK pada April 2021.
Jaksa KPK menggunakan Pasal 5 ayat 1 huruf a UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Putusan Hakim Janggal
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai keputusan hakim sangat janggal. Semestinya Samin Tan masih bisa dijerat pidana dengan menggunakan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 13 UU Tipikor.
“Jadi aturannya sudah jelas untuk menjerat pemberi suap, tidak perlu diragukan lagi. Apalagi pada sejumlah yurisprudensi kasus-kasus perkara suap lain, pemberi suap tetap bisa dipidana,” kata Alvin kepada reporter Tirto, Selasa (31/8/2021).
Apabila menggunakan Pasal 5 ayat (1), Samin Tan bisa dihukum penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta atau paling banyak Rp250 juta.
Sedangkan jika menggunakan Pasal 13, Samin Tan bisa dihukum penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp150 ribu; karena memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Alvin juga menyesali majelis hakim yang tidak mengeksplorasi kesepakatan antara Samin Tan dan Eni Maulani dalam konteks pemberi dan penerima suap. Alih-alih menyebut Samin Tan sebagai korban pemerasan Eni. Padahal Samin Tan memberikan uang kepada Eni secara sadar.
“Saya sulit sekali membayangkan, dengan kapasitas dan kekuasaan yang dimiliki Tan, dirinya hanya dianggap sebagai korban pemerasan,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mendukung KPK untuk mengajukan kasasi. Sebab ia menilai vonis majelis hakim untuk Samin Tan keliru.
Senada dengan Alvin, Zaenur berpandangan Samin Tan bisa dipidanakan dengan Pasal 5 ayat (1) hurf a dan b atau Pasal 13 UU Tipikor.
“Tidak tepat kalau mengatakan bahwa pemberi itu tidak bisa dijerat pidana. Itu bisa, tinggal rumusan mana yang memenuhi,” ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/8/2021).
Zaenur juga tak sependapat dengan pernyataan hakim menyebut Samin Tan sebagai korban perampasan. Sebab pasal yang digunakan Eni ialah pasal penerimaan gratifikasi.
Ia juga berharap KPK mengajukan kasasi dan hakim Mahkamah Agung memperbaiki vonis janggal ini.
"[Implikasinya vonis ini] akan menghilangkan rasa takut orang memberi gratifikasi. Gratifikasi bisa semakin menjamur. Tidak ada efek jera,” tukas Zaenur.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya masih menunggu dokumen putusan lengkap dari pengadilan. Ia meyakini KPK sudah cukup kuat mengumpulkan bukti sejak proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
“KPK berharap Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dapat segera mengirimkan putusan lengkapnya. Agar KPK dapat segera mempelajari pertimbangan putusan tersebut untuk dianalisa lebih lanjut sebagai bahan penyusunan memori kasasi,” ujar Ali dalam keterangan tertulis.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz