tirto.id - Eni Maulani Saragih, terdakwa suap PLTU Riau-1 dan gratifikasi menjalani sidang lanjutan dengan agenda tuntutan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 6 Februari. Perempuan kelahiran 13 Mei 1970 ini dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jaksa juga menuntut Eni membayar denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp10,35 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Uang ini merupakan akumulasi dari jumlah suap dan gratifikasi yang diduga diterima politikus Golkar ini.
Tak hanya itu, jaksa juga menolak permohonan status justice collaborator (JC) yang diajukan Eni. Alasan jaksa KPK, Eni merupakan pelaku utama dalam perkara suap PLTU Riau-1, sehingga dinilai tidak layak mendapat status JC.
“Terdakwa selaku anggota Komisi 7 DPR RI periode 2014-2019 merupakan pelaku utama dalam perkara ini,” kata Jaksa Lie Setiawan saat membacakan tuntutan.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4/2011 syarat untuk menjadi justice collaborator adalah mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, bersedia membantu bongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset hasil dari korupsi yang dilakukannya.
Sejauh ini, Eni memang telah memenuhi beberapa persyaratan itu. Misalnya, ia telah mengembalikan uang suap dan gratifikasi yang diterimanya. Sejak proses penyidikan hingga 1 Februari 2019, Eni sudah mengembalikan Rp4,05 miliar dan 10 ribu dolar Singapura.
Eni juga membongkar keterlibatan rekan partainya dalam kasus ini. Selain Idrus Marham [kini sudah terdakwa], Eni juga menyebut keterlibatan Setya Novanto, Airlangga Hartarto, hingga Ketua Fraksi Golkar di DPR RI Melchias Markus Mekeng.
Saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, pada 2 Januari 2019, Eni secara terang-terangan mengatakan jika dirinya hanya menjalankan perintah Mekeng. Menurut Eni, Mekeng lah yang memperkenalkan dirinya ke pemilik PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk, Samin Tan.
“Untuk membantu PT AKT [Asmin Koalindo Tuhup] di perusahaannya Bu Nenie [Nenie Afwani, Direktur PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk], saya diperintah oleh ketua fraksi saya, bapak [Melchias Markus] Mekeng. Ketua fraksi di Partai Golkar,” kata Eni kepada hakim.
Dalam kasus ini, Mekeng sudah pernah diperiksa KPK, pada pertengahan September 2018. Saat itu, Mekeng dicecar soal aliran dana dari Eni Saragih ke Munaslub Golkar. Akan tetapi, kepada awak media Mekeng membantah soal dugaan tersebut.
Namun, semua yang dilakukan Eni tidak membuat jaksa KPK mengabulkan permohonan status JC. Dalam tuntutan jaksa, sikap kooperatif dan keputusan Eni mengembalikan uang suap dan gratifikasi hanya membuat ia dituntut ringan.
Bantahan Eni: Saya Hanya Petugas Partai
Eni tak terima disebut jaksa sebagai aktor utama. Usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Eni menegaskan jika ia mendapat perintah dari Setya Novanto, ketua umum Golkar saat itu.
“Bagaimana saya dibilang pelaku utama? Saya enggak punya saham di PT Blackgold, saya enggak punya saham di PT Samantaka, saya hanya diperintah sebagai petugas partai,” kata Eni usai sidang, Rabu, 6 Februari 2019.
Eni juga beralasan, selama proses penyidikan hingga persidangan telah bersikap kooperatif. Hal itu ia tunjukkan dengan mengaku menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha, termasuk menyerahkan uang suap dan gratifikasi ke KPK.
Ia pun 'khawatir' kelak tidak akan ada yang mau mengajukan diri sebagai justice collaborator kalau sikap kooperatif dari tersangka korupsi tidak diapresiasi.
“Pimpinan KPK juga harus melihat bagaimana orang akan membuka semua, bekerja sama, kalau saya yang sudah membuka semua tidak dilihat sama sekali,” kata Eni membela diri.
ICW Sebut Eni Saragih Bukan Aktor Utama
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai jaksa KPK memiliki hak untuk menolak atau menerima status JC yang diajukan Eni.
Namun, kata Donal, jika dikaitkan dengan sejumlah fakta persidangan, ia menilai Eni bukan pelaku utama dalam kasus korupsi PLTU Riau-1. “Bahkan ia cenderung digerakkan atas perintah partai,” kata Donal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/1/2019) malam.
Donal menganggap jaksa KPK keliru besar jika menilai Eni adalah pelaku utama, sehingga seolah-olah dengan vonis yang dijatuhkan majelis hakim nanti, maka selesai juga kasus PLTU Riau-1 ini.
“KPK jangan sampai membonsai kasus ini hanya pada Enny saja,” kata Donal.
Pernyataan Donal itu cukup beralasan jika dikaitkan dengan sejumlah fakta persidangan. Sebab, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Sarmuji saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 8 Januari 2019 mengaku pernah menerima uang sebesar Rp713 juta dari Eni Saragih.
Uang itu diberikan Eni untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar yang digelar pada Desember 2017.
“Memang karena posisinya sebagai bendahara ada pemberian dari terdakwa yang dialokasikan untuk kepentingan steering commitee Munaslub,” kata Sarmuji ketika jaksa meminta konfirmasi soal pemberian duit dari Eni untuk keperluan Munaslub Golkar.
Sarmuji menjelaskan, uang dari Eni itu kemudian digunakan untuk pencetakan materi Munaslub sebesar Rp256 juta, honor tim verifikasi senilai Rp207 juta, dan uang pengganti transportasi dan akomodasi anggota steering committee non-anggota DPR sejumlah Rp250 juta.
Namun, dia mengklaim tidak tahu asal uang itu. Selain itu, Sarmuji menyatakan panitia Munaslub Golkar sudah mengembalikan uang Rp713 juta tersebut kepada KPK. Duit itu dikembalikan di tengah proses penyidikan kasus suap PLTU Riau-1.
Bantahan serupa pernah ditegaskan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, pada 30 Agustus 2018.
Saat itu, ia membantah soal pernyataan Eni Saragih yang menyebut terdapat perintah partai dalam kasus ini.
“Tentu Golkar itu, kan, tagline-nya bersih. Tidak ada perintah seperti itu," kata Airlangga, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, 30 Agustus 2018.
Airlangga juga memastikan tak ada aliran dana korupsi PLTU-1 Riau ke Munas Luar Biasa Golkar 2017.
“Munaslub dari hasil ketua OC maupun ketua panitia penyelenggara itu clear," kata Airlangga saat itu.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Mufti Sholih