Menuju konten utama

Tak Terima Disebut Pelaku Utama, Eni: Saya Hanya Petugas Partai

Eni Saragih membela bahwa dirinya hanya petugas partai dalam kasus suap PLTU Riau-1.

Tak Terima Disebut Pelaku Utama, Eni: Saya Hanya Petugas Partai
Terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau 1 Eni Maulani Saragih (kiri) menanggapi keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (15/1/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/pd.

tirto.id - Terdakwa Eni Maulani Sararagih menampik Jaksa KPK yang menyatakan dirinya merupakan pelaku utama dalam korupsi suap PLTU Riau-1 dan gratifikasi. Eni mengaku mendapat perintah dari Ketua Umum Golkar saat itu, Setya Novanto.

"Bagaimana saya dibilang pelaku utama? Saya enggak punya saham di PT Blackgold, saya enggak punya saham di PT Samantaka, saya hanya diperintah sebagai petugas partai," kata Eni usai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Rabu (6/1/2019).

Selain itu, Eni juga beralasan, selama proses penyidikan hingga persidangan telah bersikap kooperatif. Hal itu ia tunjukkan dengan mengaku menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha, termasuk menyerahkan uang suap dan gratifikasi ke KPK.

Oleh karena itu, ia mengaku kaget atas tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 8 tahun penjara. Ia pun 'khawatir' kelak tidak akan ada yang mau mengajukan diri jadi justice collaborator kalau sikap kooperatif dari tersangka korupsi tidak diapresiasi.

"Pimpinan KPK juga harus melihat bagaimana orang akan membuka semua, bekerja sama, kalau saya yang sudah membuka semua tidak dilihat sama sekali," kata Eni membela diri.

Jaksa KPK menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Eni dengan alasan politikus Partai Golkar itu adalah pelaku utama.

"Terdakwa selaku anggota komisi 7 DPR RI periode 2014-2019 merupakam pelaku utama dalam perkara ini," kata Jaksa Lie Setiawan saat membacakan tuntutan.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 syarat untuk menjadi justice collaborator adalah pelaku mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, bersedia membantu membongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset-aset hasil dari korupsi.

Kendati demikian, Jaksa tetap memberikan keringanan hukuman kepada Eni karena dianggap telah kooperatif dengan menyerahkan uang hasil kejahatannya ke KPK.

Tapi Jaksa KPK tetap menuntut Eni Maulani Saragih dengan hukuman 8 tahun penjara karena menerima suap terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1 dan menerima gratifikasi dari pengusaha minyak dan gas.

Jaksa menyatakan Eni Saragih telah bersalah karena menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Uang diduga diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa oleh Kotjo.

Selain itu Eni juga dikatakan telah menerima gratifikasi senilai Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah direktur perusahaan di bidang minyak dan gas.

Selain itu, Jaksa juga menuntut Eni membayar denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp10,35 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Uang itu merupakan akumulasi dari jumlah suap dan gratifikasi yang Eni terima.

"Diperhitungkan dengan uang yang telah disetorkan oleh terdakwa ke rekening penampungan KPK dan telah disita dalam perkara ini," kata Jaksa.

Sejauh ini Eni telah menyerahkan R 4,05 miliar dan 10 ribu dolar Singapura ke KPK.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Agung DH