Menuju konten utama

Menelaah Badan Pangan Nasional Era Jokowi di Tengah Sengkarut Impor

Badan Pangan Nasional yang memiliki kewenangan besar dinilai bisa memicu parpol maupun elite tertentu mengincar pucuk pimpinan.

Menelaah Badan Pangan Nasional Era Jokowi di Tengah Sengkarut Impor
Buruh tani membersihkan bulir padi di area persawahan di Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (22/6/2020). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/wsj.

tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi membentuk badan baru di bidang pertanian dengan nama Badan Pangan Nasional. Badan ini resmi dibentuk Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional per tanggal 29 Juli 2021. Badan ini akan fokus untuk penanganan pangan.

"Badan Pangan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan," demikian bunyi Pasal 2 Perpres 66 tahun 2021.

Badan ini dibentuk dan langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini bertugas untuk koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pelaksana pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan.

Setidaknya ada 9 pangan yang menjadi lingkup pemantauan, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional, yakni: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Kewenangan pun bisa bertambah sesuai ketetapan Presiden Jokowi.

Secara organisasi, Badan Pangan Nasional terbagi atas 3 kedeputian, satu sekretaris utama dan dibantu unsur pengawas selain Kepala Badan Pangan Nasional. Kedeputian pertama Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan yang bertugas sebagai koordinasi, perumus kebijakan, pengendalian ketersediaan pangan hingga stabilisasi harga pangan di bidang produsen dan konsumen;

Lalu ada Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi yang bertugas perumus kerawanan pangan dan gizi, mengendalikan kerawanan pangan, pengendalian pengelolaan bantuan pangan, hingga pengawas pemenuhan persyaratan gizi pangan dan penyusun hingga pemantau bidang kerawanan pangan dan gizi.

Ketiga adalah Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan. Deputi ini bertugas menyelenggarakan koordinasi, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganekaragaman konsumsi pangan dan pengawasan penerapan standar keamanan pangan yang beredar.

Perpres tersebut juga memberikan wewenang Kementerian Perdagangan dalam perumusan kebijakan dan penetapan kebijakan stabilisasi harga dan distribusi pangan dan perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan.

Selain Kementerian Perdagangan, kewenangan perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara di bidang pangan dan perumusan kebijakan dan penetapan Harga Pembelian Pemerintah dan rafaksi harga Kementerian Pertanian ikut didelegasikan ke badan ini.

Direspons Positif dengan Catatan

Sejumlah aktivis dan pemerhati pertanian menanggapi positif langkah Jokowi yang membentuk Badan Pangan Nasional. Salah satunya Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).

"Secara umum kami sangat mengapresiasi pembentuk BPN karena keberadaannya sangat penting dan mendukung penuh pengelolaan pangan yang lebih baik terutama pada tata kelola impor yang selama ini sengkarutnya luar biasa," kata Koordinator KRKP Said Abdullah saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (27/8/2021).

Ia mencontohkan soal penentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Pasal 28 dan 29 Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional untuk mengambil kebijakan importasi termasuk penentuan HPP yang selama ini menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.

Dengan kewenangan tersebut, kata Said, Badan Pangan Nasional memiliki kekuatan dan harusnya bebas dari intervensi pihak lain dalam membuat kebijakan terlebih keberadaannya langsung di bawah presiden.

Akan tetapi, Said mengatakan, KRKP punya beberapa catatan dalam pembentukan badan ini. Pertama, pembentukan badan ini terlambat karena sebetulnya badan tersebut sudah terbentuk sesuai Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012. Badan ini justru dibentuk dengan berbasis UU 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja.

Bagi KRKP, perbedaan dasar undang-undang penting karena pembentukan badan ini dikhawatirkan sebagai bagian dari filosofi investasi dan pasar dalam Undang-undang Cipta Kerja. Dengan demikian, badan ini dibuat untuk membuat produksi dalam negeri dan impor menjadi setara padahal filosofi UU Pangan adalah untuk menciptakan kemandirian pangan.

"Satu sisi, bisa jadi makin kuatnya pengaturan dan berkurang impor karena kuatnya kewenangan Badan Pangan Nasional ini. Atau bisa jadi malah sebaliknya, impor makin tinggi karena setaranya impor dengan produksi dalam negeri," kata Said.

Kedua, kata dia, adalah polemik data yang tidak dibereskan. Said tidak memungkiri Pasal 3 soal tugas dan fungsi, Badan Pangan Nasional ini dapat mengembangkan sistem informasi pangan. Akan tetapi, aturan tidak secara eksplisit dikatakan bahwa badan pangan ini menjadi pusat dari data tunggal dan dikelola melalui sistem informasi pangan.

Ketiga, KRKP melihat ada reduksi makna pangan. Perpres memang mengatur pangan dan gizi, tetapi klausul hanya dibatasi pada 9 pangan.

Selain mereduksi makna pangan, kata dia, juga memberikan tekanan pada keragaman pangan yang ada. Kekhawatiran terbesar tentu saja makin seragamnya pola pangan yang bisa menyebabkan kerentanan dan hilangnya pangan lokal yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan salah satu bentuk konkret gagasannya dengan sejumlah pihak saat masih bergabung dalam Tim Transisi Jokowi di periode pertama.

Badan yang sebelumnya digagas dengan nama Badan Otorita Pangan itu pun dibentuk berdasarkan amanah Undang-Undang Pangan. Kini, ia bersyukur badan yang digagas untuk menyelesaikan polemik pangan berhasil dibentuk.

"Kita bersyukur akhirnya terbentuk juga Badan Pangan Nasional karena ini penting sekali. Pertama, amanat undang-undang, yang kedua untuk mengatasi carut marut tata kelola pangan karena sementara ini yang bertanggung jawab nggak jelas. Kalau sekarang terkait pangan gampang nunjuknya dan itu harus di bawah presiden," kata Andreas kepada reporter Tirto, Jumat (27/8/2021).

Andreas menilai kehadiran Badan Pangan Nasional bisa menyelesaikan masalah kewenangan yang tersebar di sejumlah kementerian. Ia mencontohkan masalah holtikultura, seperti masalah bawang dan cabai. Saat ini, penentuan kuota Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) ditentukan Kementerian Pertanian, lalu Kementerian Perdagangan menerbitkan surat izin impor holtikultura.

Selain di bidang holtikultura, badan pangan bisa menyelesaikan polemik garam yang produksi berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan, sementara impor berdasarkan izin Kementerian Industri. Ia juga menilai permasalahan beras yang sebelumnya ditangani hingga tingkat rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian bisa selesai di badan ini.

Di sisi lain, kehadiran Badan Pangan Nasional bisa membuat Kementerian Pertanian fokus pada produksi. Ia beralasan, Kementerian Pertanian saat ini terbelah fokusnya antara fokus mendorong produksi pertanian dan tidak bermain dalam pusaran isu pangan.

Meski demikian, Andreas juga menyoroti beberapa poin kelemahan Badan Pangan Nasional ini. Pertama, badan pangan tidak mengatur jelas siapa yang menentukan kebijakan tarif nasional. Kemudian, ia menyayangkan Badan Pangan Nasional hanya mengurusi 9 cadangan pangan pokok yang hanya cadangan pemerintah sesuai pasal 9 Perpres tersebut.

"Kalau mengurusi cadangan pangan pemerintah saja atau mengurusi impor untuk cadangan pemerintah saja, ya sangat-sangat kecil dan tidak akan berdampak apa pun terhadap stabilisasi pangan yang impornya saja hampir 100 persen dikuasai oleh swasta," kata Andreas.

Ketiga, masih ada potensi tumpang tindih kewenangan. Ia mencontohkan masalah keamanan pangan yang kini masih dipegang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ia menyoalkan apakah Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM akan hilang atau tetap ada meski punya kesamaan wewenang.

Badan Pangan Nasional Powerful, Jadi Kursi Politis?

Andreas mengakui, Badan Pangan Nasional harus menjadi badan yang powerful dalam mengatur pangan. Ia mengatakan, masalah pangan harus ditangani dengan lembaga powerful karena bisa mempengaruhi politik nasional.

"Badan Pangan Nasional harus powerful, karena pangan itu amat sangat berpengaruh terhadap instabilitas politik. Dia harus powerful, amat sangat berpengaruh juga tata kelola pangan terhadap kesejahteraan petani," kata Andreas.

Ia juga mencontohkan polemik upaya mengimpor beras pada Maret 2021. Pemerintah berencana impor beras, sementara Indonesia masuk musim panen. Kehadiran Badan Pangan Nasional bisa menjadi upaya untuk menyelamatkan para petani di tengah gempuran impor.

"Badan Pangan Nasional harapan saya itu betul-betul menjadi badan yang powerful tidak hanya terkait stabilisasi pangan di Indonesia, tetapi juga memiliki peran besar juga, peran penting juga untuk peningkatan kesejahteraan petani," kata Andreas.

Oleh karena itu, Andreas berharap badan powerful ini bisa dipimpin oleh orang profesional dengan tanpa membawa bendera latar belakang pihak tertentu. Ia tidak memungkiri bahwa uang dan nasib rakyat ikut berpengaruh setelah Badan Pangan Nasional terbentuk sehingga perlu orang tepat dalam memimpin badan ini.

"Harapan kita itu betul-betul independen dan profesional karena kalau membawa bendera di belakangnya karena ini powerful menyangkut yang yang amat sangat besar, apalagi kalau nanti terkait impor, ya harus betul-betul bebas dari nuansa kepentingan-kepentingan seperti itu," kata Andreas.

Hal senada diungkapkan Said. Ia juga menekankan kepala Badan Pangan Nasional harus seseorang yang paham seluk-beluk soal pangan. Selain itu, ia berharap pimpinan Badan Pangan Nasional berlatar belakang bersih. Ia mengaku khawatir jika kursi pimpinan badan tersebut dipegang politikus atau jadi ajang bagi-bagi jabatan untuk pendukung Jokowi.

"Ini yang repot. Walaupun itu ada dan menjadi kewenangan presiden, seharusnya calonnya diumumkan ke publik untuk kemudian diberikan masukkan terkait track record-nya," kata Said.

Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam pun melihat bahwa Badan Pangan Nasional dibutuhkan Indonesia saat ini. Ia menilai, pembentukan badan ini bisa dimaklumi jika dengan alasan mengurangi ketergantungan impor pangan.

"Pembentukan Badan Pangan Nasional memang sebuah kebutuhan. Namun masalahnya, Presiden Jokowi saat ini tengah gencar melakukan perampingan lembaga negara. Dilihat dari sisi ini tentu kontraproduktif meski sebagai kebutuhan," kata Imam saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (27/8/2021).

"Jika ini terbentuk badan pangan perlu di dorong agar juga mengatasi ketergantungan impor pangan sehingga badan ini bisa mendukung arah menuju kedaulatan pangan," tutur Imam.

Di sisi lain, kewenangan yang besar ini bisa memicu parpol maupun elite tertentu untuk duduk di kursi ketua. Ia beralasan, pemilihan kepala badan bentukan Jokowi ini bisa karena dua pertimbangan, yakni pertimbangan kompetensi dan pertimbangan politis.

Ia tidak memungkiri Jokowi bisa menggunakan sebagai alat bagi-bagi kursi, apalagi di tengah polemik reshuffle setelah PAN masuk kabinet. Akan tetapi, ia yakin Jokowi akan menggunakan dua unsur tersebut sebagai pertimbangan menentukan kepala Badan Pangan Nasional.

"Jika unsur pertimbangan politik digunakan, maka potensi parpol atau relawan pendukung Jokowi potensial yang akan menduduki lembaga tersebut," kata Imam.

Baca juga artikel terkait BADAN PANGAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz