tirto.id - Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman mencurigai ada malapraktik yang berujung pada tindak pidana korupsi dalam sejumlah kebijakan impor pangan di era pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kecurigaan itu didasarkan pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga impor tahun 2015 s.d Semester I Tahun 2017.
Sejumlah komoditas yang diimpor, kata Rizal, berpotensi melanggar hukum karena tak memiliki kesesuaian persyaratan: tanpa analisis kebutuhan, diputuskan sepihak tanpa koordinasi, serta rekomendasi dari kementerian/lembaga yang berwenang.
Imbasnya, harga pangan yang diimpor dua kali lebih mahal dibandingkan harga internasional. Selisih harga itu diduga dinikmati importir dan pihak tertentu yang mendapatkan kuota impor.
Atas dasar itu, Rizal menyambangi kantor KPK dengan sebundel laporan berisi dugaan korupsi impor pangan pada Selasa siang, 23 Oktober lalu. Ia meminta komisi antirasuah menelusuri praktik lancung yang diduga merugikan negara dan perekonomian bangsa.
Laporan Rizal Ramli ke KPK itu menjadi semacam kipas yang membuat bara pertikaian soal kebijakan impor pangan di era pemerintahan Jokowi-JK kembali panas. Ini karena beberapa waktu lalu, Direktur Utama Bulog Budi Waseso dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sempat perang urat saraf soal impor beras sebesar 2 juta ton.
Akan tetapi, Enggar tak banyak merespons pertanyaan wartawan terkait masalah itu. Menurutnya, semua keputusan memberikan izin impor telah disetujui Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Menko Perekonomian).
Setali tiga uang, Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga enggan menjawab pertanyaan wartawan atas laporan tersebut. Ia berdalih, kewenangan impor bukan ranah Kementan dan ia hanya ingin fokus untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri.
"Saya enggak tahu itu, saya cuma bisa menanam-menanam. Kalau impor itu, kami ikut di rakor [rapat koordinasi] aja," kata Amran di Kementerian Pertanian, Rabu sore (24/10/2018) kemarin.
Sementara itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat tak khawatir dengan kebijakan impor pemerintah. Kata dia, impor bukan barang haram dan banyak dilakukan sejumlah negara untuk mencegah inflasi.
"Sudah lah impor itu bukan barang haram. Dari pada rakyat kecil susah. Kamu tahu di Filipina? Sama penyakitnya. Mereka enggak mau impor tahun ini. Dalam sebulan Agustus di atas 6 persen [inflasinya]," kata Darmin saat ditemui di kantornya, Rabu kemarin.
Patut Ditelusuri
Wakil Ketua Komisi VI Abdul Wachid menilai dugaan korupsi di sektor impor pangan yang dilaporkan Rizal Ramli patut dijadikan catatan. Menurutnya, masalah impor memang cukup pelik dan sangat potensial dijadikan celah untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok.
"Komisi VI sudah berjuang keras atas masalah ini, tapi tidak banyak didengar, kok. Dia [Kementerian Perdagangan] selalu ngomong masalah ini hasil rakortas dan ini hasil kesepakatan dengan para menteri, Macam-macam lah. Padahal impor semakin besar itu merugikan produksi dalam negeri dan itu menguras devisa negara," kata Wachid kepada reporter Tirto.
Politikus Gerindra ini juga menyampaikan, fraksinya pernah menginisiasi Panitia Khusus (Pansus) impor pangan pada awal tahun lalu. Hal itu ditengarai mudahnya pemerintah menggunakan instrumen impor ketimbang menggenjot produktivitas pangan dalam negeri.
Dia mencontohkan soal izin impor garam pada 2018. Aksi itu dilakukan setelah PP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, diteken Presiden Jokowi.
Pemberlakuan PP itu berbuntut dihilangkannya wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memberikan rekomendasi impor garam. Saat itu, kata Wachid, "Susi Pudjiastuti selaku menteri yang melindungi nelayan, dia minta 2,1 juta ton. Tapi Pemerintahan kan maksa sampai 3,7 juta ton. Ini kami ngomong bingung ada apa dengan impor? Kalau tidak ada apa-apa dengan impor, enggak mungkin [kisruh seperti itu]."
Dalih pemerintahan memuluskan kuota impor adalah untuk memenuhi kebutuhan harian untuk industri. Namun, dalam laporan Tirto pertengahan April lalu, terkuak indikasi kuat garam-garam impor industri merembes ke pasar umum.
Mengapa Impor Pangan Bengkak?
BPS pada pertengahan Juli 2018 mencatat peningkatan nilai impor barang konsumsi sepanjang Januari-Juni 2018 yang nilainya mencapai 8,18 miliar dolar AS, naik 21,64 persen secara year on year (yoy). Peningkatan impor barang konsumsi ini dipengaruhi impor bahan pangan yang membengkak sepanjang semester 1/2018.
Komoditas yang jadi penyumbang terbesar, kata Kepala BPS Suhariyanto, berasal dari komoditas pangan, seperti beras, gula, dan kedelai.
Untuk komoditas beras, misalnya, volume impornya mencapai angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, pada 2013, Indonesia mengeluarkan izin impor senilai 246 juta dolar AS dengan volume 472,66 ribu ton beras. Tahun berikutnya, impor beras meningkat menjadi 388,18 juta dolar AS atau setara dengan 844,16 ribu ton.
Pada 2015, nilai impor tidak meningkat namun masih tetap tinggi, yakni 351,60 juta dolar dengan volume 861,60 ribu ton. Pada 2016, meski pemerintah berencana menghentikan impor beras, izin tetap dikeluarkan dengan nilai sebesar 531,84 juta dolar AS atau setara dengan 1,2 juta ton beras.
Sementara pada 2017, impor dengan angka sementara senilai 143,21 juta dolar AS dengan volume 11,52 ribu ton. Data impor beras lima tahun belakangan tersebut menunjukkan besarnya kebutuhan beras domestik belum mampu dipenuhi produksi dalam negeri.
Suhariyanto menyampaikan, kurangnya pasokan beras dalam negeri disebabkan rendahnya produktivitas pertanian akibat konversi lahan sawah yang kian masif. Data BPS dan Badan Informasi Geospasial (BIG) mencatat, 650 ribu hektar sawah baku hilang akibat alih fungsi lahan sejak 2013.
Kini, hanya tersisa 7,1 juta hektar sawah baku dari yang sebelumnya seluas 7,75 juta hektar. Dari total luas sawah baku tersebut, Indonesia mampu memproduksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 55,54 juta ton. Jika dikonversi menjadi beras, jumlahnya menyusut jadi 32,42 juta ton.
Jika dibandingkan dengan angka konsumsi beras di tahun 2018 yang besarnya 29,6 juta ton, kata Suhariyanto, memang masih ada surplus sebanyak 2,85 juta ton beras. Namun, surplus dari selisih produksi dan konsumsi itu tidak dapat menjamin lancarnya ketersediaan stok beras di pasar. Sebab tak semua produksi beras itu akan sampai ke pasar-pasar.
"Sebagiannya akan disimpan para petani untuk keluarganya," kata Suharianto.
Imbasnya, kata dia, beras yang masuk ke Bulog makin berkurang dan untuk menjaga stabilitas harga di pasar, pemerintah mau tak mau harus kembali mengimpor.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz